Rabu, 30 Desember 2015

Ketika Penyair Jatuh Cinta


Aku hanya bisa mencintaimu
Dan mencintaimu

Sampai  hari ini, ketika kau dan aku
Tumbuh dalam pohon usia yang berbeda

Mungkin, kesetiaan tidak bisa dipaksakan
Tapi bisa diusahakan kehadirannya
Terlebih dulu harus diasah bentuknya

Kini, semua tergantung pada warna dan cuaca
Pada setiap pesan singkatku yang kuselipkan
Di lemari hatimu

Aku hanya bisa mencintaimu
Dan mencintaimu

Setidaknya aku punya alasan mengapa
Dan kenapa aku terlahir dan hidup?

2015.




Sabtu, 07 November 2015

Kita Berdua



Jalan lenggang dan basah
Irisan-irisan kesunyian

Angin malam kali ini
Menjilat tubuh kita
Lebih dingin

Selembar kartu rindu itu
Berguguran. Kau dan aku
Duduk dalam diam yang sama

Nanti dulu
Hujan belum berhenti, kekasih
Puisiku gemetar di matamu

Lalu, aku diamkan saja
Saat kau menatapku
Lebih lama di ruang tunggu

Cuaca pada ranting- ranting
Seakan bisu dan menerkam

Selebihnya cinta


2015






Minggu, 04 Oktober 2015

Masih di Sekitaran Dago


Padamu, kutulis kisah paling pasti
Dan di Bandung ini juga, tubuhku
Melayang-layang. Tak ada lagi airmata
Atau kisah berdarah-darah itu
Getar-getar pesona kembali tumbuh
Dan membawa berkah. Selanjutnya
Kesunyian menjadi penonton bagi
Perjalananku

“Kopi itu sederhana, teman kita
Saat kau dan aku bicara rindu”



2015

Riwayat Teman-temanku Dari Bandung



                        Bagaimana, kabar kesepian itu
                        dan wajahnya seperti apa?

Aku ingin kembali ke masa silam dan tersesat pada jalan
Waktu yang kau ciptakan dari airmata. Ingin melihat sekali lagi saat 
Peri Sandi meninju lampu merah di Perempatan Buah-Batu 
Saat matahari masih berkomplot dengan bayangan-bayangan merah 
Bertemulah sepasang kekasih di situ, Inaya yang tersipu malu-malu 
Di dalamnya aku temukan, Banten dan Sukabumi yang berkelok-kelok

Bagaimana, wajah masa lalu itu harus kugambarkan 
Dengan pensil warna atau dengan memakai adobe photoshop. 
Ada seekor puisi yang berjalan di kepalaku, saat Semmi Ikra
Meledak-ledak membaca puisi manisnya di taman-taman kebahagiaan 
Dan di dalamnya aku temukan 
                  Bali, Malang, Tasikmalaya dan kuda berwarna hitam 
Kacamata minus, cinta bertepuk sebelah tangan. Dan kereta-kereta
Yang membawa penumpang filsafat yang gelap. Sekaligus remang-remang 
Aku ingin itu, menjadi bingkai pada yang lahir dan mati

Lalu aku amati satu-satu, aktor-aktor teater yang melompat 
Dari panggung hitam ke panggung putih. Irwan Jamal  yang merah 
Menyeret-nyeret kepala metafora  ke dalam panggung. Berdiri di atas cermin
Wajahnya tersedu-sedu

Tak ada salahnya. Kalau banjir kata-kata di mataku tumpah
Dan menjadi kelelawar-kelelawar yang menganggu mimpiku selama ini
Kisah-kisah teman yang kusimpan dalam hardisk
Yang sewaktu-waktu akan hilang ditelan virus dari masa depan 
Tuttsssssssssss……mereka semua terbang, terbang dan terbang seperti  kapas 
Menelan kisah hidupku sebagai penyair paling sedu sedan 
Yang duduk-duduk manja di pinggiran Braga 

Menunggu matahari jatuh


2015

                          

Rabu, 30 September 2015

Kebun Rindu



Untukmu sudah kupersiapkan kebun itu
Yang kujaga setiap saat, setiap waktu
Aku tanami kebun itu dengan airmata
Dengan darah, dengan segala puisi
Mari, kita urus kebun itu bersama-sama 
Undanglah segala jenis kupu-kupu
Yang selama ini mengikutimu

Aku orangnya kini bisa menikmati kembali
Kereta awan yang bergerak menuju 
Lumbung harapan. Kebun rindu itu ingin kuurus 
Bersamamu. Agar setiap hari kebun itu menjadi 
Cindramata kehidupan kita berdua dan menatap
Kabut rebah di antara bunga-bunga masa depan

2015.

Sabtu, 26 September 2015

Membangun Kembali Kesunyian


                          dengan sengaja, aku benturkan kepalaku
                         dijidat matahari dan malamnya, aku menarik-narik
                         ekor rembulan 


Kepalaku dihiasi oleh kawat-kawat
Dentuman demi dentuman menghantui
Kedua kupingku. Aku menarik diri
Dari tata krama yang berlaku. Lagi-lagi
Kau memanggilku dengan teriakan paling keras
Dan ambigu. Lalu aku membangun kembali
Kesunyian yang sudah lama kuruntuhkan
Lama-lama aku membayangkan kau
Berubah menjadi srigala yang menerkamku
Dari setiap sisi

Aku pun menyambangi kisah-kisah
Di masa lalumu yang bagiku sama rumitnya
Seperti rumusan para kaum shopis
Lalu dengan apa lagi aku harus menghancurkan
Kesedihanku? Mungkin dengan sedikit ciuman
Basah dan pelukan jurus ular
Bisa mengobati seluruh rasa sakitku
Atau aku akan terjun bebas ke tubuh pualammu
Sampai kau menjerit memanggil nama-nama
Yang aneh dan busuk. Lalu dari mataku menetes
Bidadari-bidadari berukuran kecil tanpa kedua sayap

"Aku ingin cinta yang sebenarnya"  bunyi lonceng
Terdengar kejam di kupingku. Aku bermimpi
Menyusun ribuan kertas yang kurangkai menjadi
Perahu, yang kulayarkan untukmu tapi tak pernah
Sampai-sampai. Keagungan hanya milik para
Dewa-dewa yang mabuk di langit



2015

Selasa, 22 September 2015

Bagi yang Akan Datang

                                           

Aku telah menerimanya
Tusukan demi tusukan tepat mengenai dadaku
Yang sudah lama pensiun menyebut namamu
Ucapan-ucapan paling gelapku sudah aku lemparkan
Ke langit paling jauh

Biarlah, segala tentangmu
Dirawat oleh angin dan daun-daun
Bukan lagi oleh sajakku ini

Aku sudah pergi, menjauh
Saat pohon cintaku yang baru tumbuh
Kau gergaji 

Aku hanya ingin sujud malam ini
Memanjangkan imanku, melepaskan hasrat
Dan jatuh cinta pada keadaan

Lalu biarkanlah sajakku ini membentuk 
Kesunyian barunya dan  menulis perasaannya 
Di dinding- dinding api. Aku akan menunggu nomor 
Takdir selanjutnya, sambil memanen puisi
Bagi yang akan datang


2015


Selasa, 30 Juni 2015

Pada Mimpi Tidurmu


Pada kamu yang sedang tertidur
Baik-baiklah di dalam mimpimu
Ajaklah aku menemuimu di dalamnya
Walau di dunia nyata kita tak sering
Bertemu. Barangkali di mimpimu
Kita bisa saling mengucapkan
Cinta, berciuman dan pura-pura
Menjadi satu keluarga

Di dalam mimpi tak ada dosa
Kita bisa melebur dalam ranjang
Tak ada yang kehilangan
Tak ada air mata yang jatuh
Tak ada yang tersakiti

Jangan terlalu cepat terbangun
Sebab diam-diam aku ingin
Menjadi abadi di dalam mimpimu
Menggali kuburku di sana
Agar senantiasa kamu bisa
Mendoakanku, tanpa pernah kehilangan



Rabu, 27 Mei 2015

Tembang Merdu


Tumpukan kayu-kayu masa lalu
Ayat-ayat yang berjatuhan
Dari Arsy

Pohon rambutan, jati
Dan lain-lain. Rumah kayu
Tempat leluhur dilahirkan
Dan mendekap lukaku
Yang tak abadi

Matahari tak begitu jauh saat ini

Tak bisa kubayangkan
Suasana ini, pagi yang begitu biru

Surah-surah Muhammad
Menempel di sekujur imanku

Aku tak bisa menghentikan
Tembang-tembang merdu
Suara-suara hati, raba-raba iman
Dan pecahlah segala yang menyertai


2015



Kamis, 02 April 2015

Cipicung



deretan pohon, hutan piaraan
satu kolam memanjang
ikan-ikan berbicara tentang
rindu dan cinta di situ

suara-suara ayam kate
mengetuk-ngetuk dadaku
sesaat kemudian, tangis Nun
menyambut yang datang

warna langit yang pecah-pecah
menjadi hiasan bagi yang bangun

beberapa santri
mengaji asmaul husna
di shubuh yang mendung

aku tak lagi disekap
dan tak juga dibisiki
oleh hantu-hantu masa lalu

cintalah yang menciptakannya
agar tempat ini menjadi sorga kesekian

sekali lagi cintalah yang menjaga
tempat ini menjadi rumah bagimu

satu pintu terbuka,
jendela juga terbuka,
dan halaman masjid tua itu
menyapu dosaku pelan-pelan

di depanku puluhan makam-makam tua
tidur dalam instrumen kasih sayang

dan kita pun mungkin akan seperti itu
sendiri dalam liang lahat yang gelap
pada hari dimana keputusan dibuat


2015

Selasa, 31 Maret 2015

Malam Isbat


Kasmaranku padamu menjadi nisan-nisan kesabaran
Di kejauhan para kekasih menghayati jejak Ibrahim
Menarik diri dari keriuhan, mencari hurup-hurup yang
Ringan di lantai marmar rumahmu, di lampu yang remang-
Remang di antara surau-surau ada yang menceburkan diri
Dalam ayat-ayat kabut yang bergerak sedikit agak lamban
Dan riak air sungai jalan ini semakin dekat kepadamu

Kusentuh bulan isbat itu dengan tangan kananku
Dari malam ke malam, salam-salam terus berdatangan
Dari setiap cakrawala, dari wujud yang tidak terlihat
Sebuah rakaat pertama terjadi dan puisi-puisiku bertawaf
Menjadi bintik-bintik cahaya. Di halaman, tumpukan
Daun-daun kering menyimpan kepunahan waktu
Diam-diam maut bergerak cepat pada hari ini
Di sebuah kampung yang menuntunku bersujud
Yang mengerti bagaimana menyambut tamunya yang jauh

Di kejauhan lapisan cahaya meleleh
Merubah warna langit, merubah arah bintang
Menyelipkan isyarat demi isyarat untuk kita hayati
Jalan yang semakin sepi, udara yang semakin dingin
Dan bunyi putaran tasbih, membuka jalan untukmu
Dan aku tak bisa menolak kedatanganmu

#Salah satu puisi yang dimuat di Koran Indopos (Jakarta) 
Tanggal 29 Maret 2015