Selasa, 31 Maret 2015

Malam Isbat


Kasmaranku padamu menjadi nisan-nisan kesabaran
Di kejauhan para kekasih menghayati jejak Ibrahim
Menarik diri dari keriuhan, mencari hurup-hurup yang
Ringan di lantai marmar rumahmu, di lampu yang remang-
Remang di antara surau-surau ada yang menceburkan diri
Dalam ayat-ayat kabut yang bergerak sedikit agak lamban
Dan riak air sungai jalan ini semakin dekat kepadamu

Kusentuh bulan isbat itu dengan tangan kananku
Dari malam ke malam, salam-salam terus berdatangan
Dari setiap cakrawala, dari wujud yang tidak terlihat
Sebuah rakaat pertama terjadi dan puisi-puisiku bertawaf
Menjadi bintik-bintik cahaya. Di halaman, tumpukan
Daun-daun kering menyimpan kepunahan waktu
Diam-diam maut bergerak cepat pada hari ini
Di sebuah kampung yang menuntunku bersujud
Yang mengerti bagaimana menyambut tamunya yang jauh

Di kejauhan lapisan cahaya meleleh
Merubah warna langit, merubah arah bintang
Menyelipkan isyarat demi isyarat untuk kita hayati
Jalan yang semakin sepi, udara yang semakin dingin
Dan bunyi putaran tasbih, membuka jalan untukmu
Dan aku tak bisa menolak kedatanganmu

#Salah satu puisi yang dimuat di Koran Indopos (Jakarta) 
Tanggal 29 Maret 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar