Kasmaranku padamu menjadi nisan-nisan kesabaran
Di kejauhan para kekasih menghayati
jejak Ibrahim
Menarik diri dari keriuhan, mencari
hurup-hurup yang
Ringan di lantai marmar rumahmu, di
lampu yang remang-
Remang di antara surau-surau ada
yang menceburkan diri
Dalam ayat-ayat kabut yang bergerak
sedikit agak lamban
Dan riak air sungai jalan ini
semakin dekat kepadamu
Kusentuh bulan isbat itu dengan
tangan kananku
Dari malam ke malam, salam-salam
terus berdatangan
Dari setiap cakrawala, dari wujud
yang tidak terlihat
Sebuah rakaat pertama terjadi dan
puisi-puisiku bertawaf
Menjadi bintik-bintik cahaya. Di
halaman, tumpukan
Daun-daun kering menyimpan
kepunahan waktu
Diam-diam maut bergerak cepat pada
hari ini
Di sebuah kampung yang menuntunku
bersujud
Yang mengerti bagaimana menyambut
tamunya yang jauh
Di kejauhan lapisan cahaya meleleh
Merubah warna langit, merubah arah
bintang
Menyelipkan isyarat demi isyarat
untuk kita hayati
Jalan yang semakin sepi, udara yang
semakin dingin
Dan bunyi putaran tasbih, membuka
jalan untukmu
Dan aku tak bisa menolak
kedatanganmu
#Salah satu puisi yang dimuat di Koran Indopos (Jakarta)
Tanggal 29 Maret 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar