Oleh Rendy Jean Satria
Di saat itu entah kenapa saya merasa terhipnotis dengan kalimat-kalimat dari
buku puisi itu. Bahasanya jernih, penuh humor dan unik, sekaligus puitik. Satu
halaman, dua halaman, tiga halaman, empat halaman dan selanjutnya saya larut
dan terbawa ke dalam metafora-metafora Agus R Sarjono. Puisinya penuh
perlambang, persona dan citra visual. Dialog-dialog dalam puisinya juga terkesan
tak biasa, bagi pembaca seusia saya (15 tahun) waktu itu. Puisi Agus banyak
berdialog dengan benda-benda yang Agus hidupkan dengan humor hitam. Benda-benda
itu diberi nyawa oleh Agus, dan sesekali benda-benda itu mengeluh, kesakitan
dan kesepian. Puisi-puisinya sangat ganjil, ucap saya dalam hati. Di dalam kata
pengantar buku puisi itu, Agus R Sarjono, sempat membocorkan "sebenarnya, saya ingin menulis sajak
dengan gaya dan tema yang lain". Dan salah satu puisi Agus R Sarjono, yang
sering saya takbirkan dan saya sukai, yang sering saya bacakan untuk para
santri-santri putri adalah puisi yang berjudul "Saat Untuk Cinta" Karena saya mempunyai bakat improv, semasa
menjadi santri, saya sering improv membaca sajak indah itu, "Inilah waktu
untuk dunia yang halus dan malam syahdu. Rumah yang tentram, teh manis keemasan
dan air putih yang bening. Piano gemerincing seperti uang logam berjatuhan dari
kantung celana masa kanak-kanak kita. Inilah waktu untuk kicau burung dan
kupu-kupu"
Dan semenjak saya jatuh cinta dengan sajak-sajak Agus R Sarjono, otomatis
saya pun memburu tulisan-tulisannya selanjutnya, termasuk yang ada di majalah
sastra horison. Waktu itu, saya belum tahu sama sekali, kalau ternyata penyair Agus
R Sarjono, berdomisili di Cimanggis, Depok, yang jarak rumahnya hanya berjarak 1
kilo meter dari rumah saya. Saya baru ngeh ketika setelah lulus
pesantren, saat saya masuk STSI Bandung (Agus R Sarjono, juga salah satu staf pengajarnya di STSI). Saya baru tahu dari alamat para dosen
yang tercantum di buku saku untuk mahasiswa baru waktu itu. Ini suatu kebetulan. Dan saya bahagia dengan
kebetulan itu. Ternyata penyair ini tinggal satu kecamatan sama saya, begitu
kira-kira saya bicara dalam hati. Setidaknya dengan peristiwa kebetulan itu,
saya bisa lebih dekat melihat aktifitasnya sebagai penyair. Seperti yang pernah
diucapkan Jorge Luis Borges, penyair muda yang berbakat, pasti akan bertemu
dengan penyair senior yang berbakat. Ia akan diketemukan oleh hal-hal di dalam
dan di luar puisi. Semenjak saat itu, saya jadi banyak belajar dari Agus R Sarjono. Perkataan dari beliau yang saya ingat dan saya terapkan betul adalah "Seorang penyair yang baik, adalah ia menulis dengan kejujuran"
Dan dari sembilan tahun yang lalu, semenjak saya
bertemu secara imajiner dengan Agus R Sarjono, sampai saat ini, hampir setiap
waktu saya mengunjungi dan mampir ke rumah beliau. Berbicara tentang
perkembangan hal-hal yang mengenai puisi. Kesan pertama kali menyambangi ruang
kerja puisi penyair Agus R Sarjono adalah suasana puitik kepenyairan terasa
sekali. Energi puisi. Saya mempunyai moment saat pertama kali berkunjung ke
rumahnya:
Saat empat tahun yang lalu
pertama kali berkunjung ke rumah sang penyair. Waktu itu malam, Depok sedang diguyur
hujan. Saat masuk ke ruang kerja kepenyairannya. Buku-buku berderet, sebagian
dibiarkan menumpuk di lantai, di meja, di sofa, di ruang tamu. Terdengar musik
jazz yang agak sendu, dari pojok meja kerja sang penyair. Tiga bungkus rokok
filter dan satu bungkus marlboro, tampak berantakan di meja kerjanya. Puntung-puntung
rokoknya memenuhi asbak. Beberapa
piagam, piala, penghargaan dan poster-poster acara kepenyairan berderet sejajar
di atas rak buku. Buku puisi terjemahan dari penyair dunia seperti Derrek
Walccot dan Remco Campert, ada di dekat komputernya dan dibiarkan terbuka. Satu rak khusus juga penuh oleh buku-buku puisi dari penyair dunia, seperti buku penyair Sylvia Plath, Breyten Breytenbach, Pablo Neruda, Octavio Pazz, W.B Yeats, Wole Soyinka, Walt Whitman. Tampak dari itu semuanya, Agus R Sarjono adalah pembaca tekun perkembangan puisi dunia. Di sisi kiri depan ada dua buah bingkai foto penyair dunia yang sedikit agak
miring terpasang di tembok-tembok. Sesekali sang
penyair itu, melantunkan sajak-sajak cinta Chairil Anwar di depan komputernya. Selebihnya kadang
dengan tatapan sendu ia melamun ke luar jendela, yang halamannya dipenuhi
rumput-rumput segar. Hujan waktu itu masih bertahan. Dan sang penyair itu, sangat
dalam menarik sebatang rokok filternya. Seperti ada yang dipikirkannya. Entah
apa. Ruangan itu, bukan ruangan biasa. Ruangan itu, ruangan milik seorang
penyair!
2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar