Selasa, 23 Desember 2014

Review Film Pendekar Tongkat Emas

Keputusan Cempaka dan Janji Elang

Oleh: Rendy Jean Satria



"If you seek truth you will not seek victory by dishonorable means,
and if you find truth you will become invincible".
(Epictetus, Filsuf Yunani Kuno)



Tidak perlu ragu-ragu untuk menonton film terbaru dari Mira Lesmana dan Riri Riza melalui rumah produksi Miles Film. Kali ini film terbaru Miles Film, dipercayai oleh sutradara muda berbakat Ifa Isfansyah. Genre yang unik dan berani ini, menghadirkan film silat yang belum sama sekali disentuh sebelumnya oleh Mira Lesmana dan Ifa Isfansyah dalam film-film mereka sebelumnya. Jadi bisa dikatakan film silat ini proyek pertama mereka. Pendekar Tongkat Emas, mungkin adalah film yang ditunggu-tunggu oleh para penggila film di Indonesia. Genre film silat ini, pun dibintangi oleh aktor dan aktris serius. Eva Celia (Dara), Cristine Hakim (Cempaka), Slamat Rahardjo (Dewan Datuk Bumi Persilatan), Darius Sinatrya (Naga Putih), Nicholas Saputra (Elang), Reza Rahardian (Biru), Tara Basro (Gerhana) dan aktor cilik Aria Kusuma (Sebagai Angin). Dari serentetan nama-nama aktor diatas pun, kita menjadi penasaran, karena para aktor-aktor tersebut sebelumnya belum pernah sama sekali bermain di film-film silat sebelumnya. Lagi-lagi, kepekaan mereka sebagai aktor benar-benar diuji dalam film Pendekar Tongkat Emas ini dan kejeniusan sang sutradara pun juga dipertaruhkan di film ini.

Film Pendekar Tongkat Emas, tidak hanya bercerita tentang sebuah perguruan silat Tongkat Emas, yang dipimpin oleh Guru Cempaka, dalam melatih ke empat muridnya, Biru, Dara, Angin dan Gerhana untuk mewarisi tongkat emas dan ilmu melingkar bumi. Sebuah Ilmu yang sangat sakti yang tidak boleh jatuh kepada orang yang tidak tepat. Tapi film Pendekar Tongkat Emas, juga mengajarkan tentang sebuah keputusan, keberanian dan pengabdian. Film yang berlatar belakang waktu masa lampu, mengambil setting di daerah Sumba Timur, yang eksotis, dengan unsur alam yang masih jernih dan indah.

Prolog film ini dibuka dengan alur cerita yang menegangkan. Yaitu keputusan Guru Cempaka,mewarisi tongkat emas kepada Dara. Dara pun menerima keputusan itu. Namun Biru, sebagai murid senior yang paling tinggi ilmunya di antara ke empat murid Cempaka. Tak terima dengan keputusan Cempaka. Dara dan Angin pun dibawa ke suatu tempat oleh Cempaka untuk berlatih ilmu tongkat emas. Di tengah perjalanan mereka, Biru dan Gerhana, ingin merebut tongkat emas itu dari Dara. Ditengah perebutan tongkat emas itu, Guru Cempaka merenggang nyawa dibunuh oleh Biru dan Gerhana karena membela Dara dan Angin. Dara dan Angin pun berhasil diselamatkan oleh Elang, mereka berdua terluka. Ditengah film ini, kita akhirnya bisa mengetahui siapa sosok misterius Elang sebenarnya. Ia adalah pewaris terakhir dari ilmu tongkat emas dan ilmu melingkar bumi. Tapi Elang telah berjanji untuk tidak mencampuri urusan perguruan silat tongkat emas, kepada sang ayah, Naga Putih yang tidak lain adalah suami dari Cempaka. Keputusan Cempaka, janji Elang, kesetiaan Dara dan Angin, dan penghianatan Biru dan Gerhana, menciptakan alur yang dramatis dan menimbulkan efek-efek kejutan.

Kejeniusan Ifa Isfansyah dalam meramu film silat ini, patut diapresiasi. Gerakan-gerakan silat yang cepat, saling berkelindan dengan sinematografi yang cukup mumpuni dengan arahan teks skenario dari Jujur Prananto. Musik dari Erwin Gutawa juga mampu memberikan efek-efek puitik di dalam film ini.  Kerja kreatif yang dikerjakan oleh Miles Film ini, memberikan dampak progresif, semangat kreatif untuk perkembangan ke depan film Indonesia. Mira Lesmana, sang yang punya ide jenius ini, hanya ingin memberitahu kepada khalayak, kalau sineas Indonesia juga mampu memberikan tontonan film silat yang bermutu, elegan dan indah. Dan ini dimulai dari film silat Pendekar Tongkat Emas. Well, bagi mereka yang belum menonton film Pendekar Tongkat Emas, harus segera ditonton, karena akting silat dari Nicholas Saputra (Elang) dan Reza Rahardian (Biru) saat mereka beradu silat mati-matian di akhir film, sangat dinanti-nantikan.
 
Desember, 2014




Selasa, 16 Desember 2014

Jurnal Sajak Edisi 6


Dua puisi Rendy Jean Satria dimuat di Jurnal Sajak Edisi 6
Berjudul: "Dari Kota Lama dan Curug Cinulang"

Jurnal Sajak Edisi 4


Satu puisi Rendy Jean Satria, dimuat di Jurnal Sajak Edisi 4, 
berjudul: "Surat Cinta Buat Penyanyi Dangdut Tasikmalaya"

Rabu, 29 Oktober 2014

Review Film ANNABELLE

ANNABELLE

Oleh Rendy Jean Satria



Boneka itu hidup. Boneka itu punya kekuatan gaib. Boneka itu dikuasai Iblis. Boneka itu meminta jiwa yang telah menemukannya. Boneka itu bernama Annabelle, yang menjadi boneka berhantu yang paling legendaris di Amerika. Rupa-rupanya sutradara Amerika tidak pernah bosan memunculkan kembali sosok boneka Annabelle, untuk menghantui para penonton setianya. Film Annabelle yang diproduksi oleh Warner Bros. Pictures (2014), mampu menghipnotis kembali para penontonnya. Film yang berdurasi kurang dari 2 jam tersebut, di setiap adegan-adegannya selalu memunculkan efek-efek kejutan, efek musik yang mencekam, dan beberapa kali selalu ada efek yang tak terduga.

Munculnya iblis yang menguasai boneka Annabelle juga muncul hanya di saat adegan tertentu, memunculkan satu kejutan tersendiri. Penonton tidak diberi jeda untuk duduk tenang dibangkunya. Film Annabele yang disutradarai John R. Leonetti, mampu memberikan rasa horror yang lumayan asin, rasa seram khas Amerika. Tirai yang tertiup. Bunyi mesin jahit. Lift yang tidak bisa naik. Bangku goyang. Bayangan-bayangan yang datang sekelabat lalu menghilang dan bunyi pintu yang digedor-gedor di sebuah apertemen. Film Annabelle yang dibintangi oleh Annabelle Wallis (Mia Form) dan Ward Horton (John Form), bermain cukup dramatik dan berkarakter, juga mampu menciptakan suspense-suspense yang baik saat harus berhadapan dengan boneka berhantu Annebelle.

Film ini bermula, ketika Mia dan John sedang menunggu kelahiran anak pertamanya, yang diberi nama Leah. Awalnya keluarga kecil itu hidup sewajarnya, sampai di suatu waktu John memberikan hadiah boneka yang paling diinginkan oleh Mia. Mia, yang mempunyai hobi mengoleksi boneka-boneka, sangat terkejut ketika John memberikan boneka Annabelle. Tak lama setelah boneka itu dipajang. Terjadilah malapetaka dan kesialan di dalam keluarga mereka. Kejadian-kejadian senantiasa mengusik mereka. Sampai di suatu malam, terjadilah adegan yang paling ditunggu-tunggu itu. Rumah Mia dan John disantroni oleh dua orang gila, dari keluarga Higgins yang mengikuti aliran sesat, pemuja iblis, mereka mencoba membunuh Mia dan John. Annabelle Higgins yang mencoba mengambil boneka Annabelle milik Mia itu ternyata bunuh diri di depan boneka Annabelle dan terjadilah setelah itu adegan-adegan terkutuk yang mengusik keluarga John Form. Walaupun saya sedikit kecewa pada adegan klimaksnya. Yang terasa hambar dan biasa-biasa saja.

Untungnya film ini didukung oleh Sinematografi yang baik oleh James Kniest, yang memberikan bahasa-bahasa gambar yang mencekam sekaligus menciptakan suasana yang benar-benar horror. Film Annebelle, yang dirilis di Amerika dan menjadi box office, memunculkan persepsi kita  tentang film-film horror di barat, yang dibuat dengan detail dan serius pasti akan menjadi film yang baik dan bagus. Indonesia dengan segala macam film-film hantunya harus belajar banyak tentang bagaimana membuat alur cerita, efek musik, dan karakteristik cerita hantu itu sendiri,

2014.







Selasa, 28 Oktober 2014

Kegelisahan Lucky Kuswandi Dalam Film-filmnya

Oleh Rendy Jean Satria


"Belajarlah dua sudut pandang
Timur dan Barat. Lalu lihatlah
Apa yang terjadi dalam kehidupanmu!"
Nietzsche, filsuf klasik Jerman


Lucky Kuswandi. Filmmaker muda Indonesia. Mengemban pendidikan di Amerika Serikat. Corak pandangnya adalah corak pandang antara timur dan barat. Dua pandangan yang begitu artistik dan estetik. Kehidupan intelektualnya di Amerika, begitu sangat mempengaruhi film-filmnya. Anak muda ini. Anak muda yang gelisah, cemas dengan gejala-gejala yang terjadi di Indonesia Lucky, sadar betul dengan hal itu. Kesadaran yang dikemudian hari membentuk kerangka berpikirnya, kerangka film-filmnya. Madame X, Selamat Pagi, Malam, A Letter of Unprotected Memories, Black Cherry, Stil, Nona Nyonya?   dengan menyebut beberapa judul. Adalah film-filmnya, yang tidak hanya sebagai hiburan atau tontonan. Tapi sebagai daya upaya untuk mengkritik gejala-gejala sosial di Indonesia.

Yang tadi saya katakan di awal tulisan. Lucky adalah gabungan antara dua corak pandang timur dan barat. Gejala sosial yang terjadi di Indonesia, ia gambarkan dalam bahasa gambar yang begitu mumpuni, skrip yang puitis, dan gambar-gambar yang begitu artistik. Lucky di dalam setiap filmnya, sangat  memperhatikan unsur-unsur art yang membuat filmnya begitu estetik. Film-film Lucky Kuswandi, penuh warna, nyentrik, nyeleneh dan menohok. Filmnya tidak mengapung. Tapi berdiri sendiri. Selalu ada efek kejutan disetiap plot cerita filmya. Begitu bunyi, begitu riuh sekaligus sunyi, seperti diksi-diksi puisi. Film Madame X (Kalyana Shira) di tahun 2010. Dimana Film tersebut  pernah memenangkan penghargaan 48th Golden Horse Awards yang digelar di Tapei Golden Horse Film Festival 2011. Sempat juga diputar di Hongkong. Madame X, adalah film komedi fantasi. Penuh sindiran sekaligus begitu absurd. Unsur absurditas dalam film Madame X, begitu kental, begitu menyala.  

Berbeda dengan film Madame X, di dalam Selamat Pagi, Malam, (Kepompong Gendut, 2014) Judul yang begitu puitik, sekaligus sastrawi. Di film terbaru itu, Lukcy banyak memuat unsur drama yang begitu realis sekaligus sarkas. Bercerita tentang tiga orang perempuan. Tiga orang perempuan dengan kompleksitas permasalahannya. Yang mempertanyakan identitas. Tentang hidup. Dan seketika hidup mereka bertiga, berubah di luar rencana, semua berubah di kota metropolis Jakarta di suatu malam yang riuh. Malam, menurut tafsir Lucky, yang saya perhatikan, adalah ketika matahari tenggelam dimana malam menjadi semacam pengaduan tentang jatidiri manusia-manusia kota. Yang tadinya baik, berubah menjadi munafik. Begitu sebaliknya. Lucky dengan film terbarunya itu, sedang berfilsafat tentang kehidupan masyarakat urban yang begitu membutuhkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tak terduga. Keceriaan yang begitu sakit.

Filmmaker muda ini, setidaknya telah memberikan andil besar untuk perkembangan film Indonesia kontemporer. Di zaman yang serba cepat ini, dan dengan segala kecanggihan-kecanggihannya, dengan segala atribut-atribut permasalahannya, Lucky dengan cepat membaca tafsir tentang itu semua. Woody Allen, filmmaker asal Amerika, pernah berujar saya bergerak, zaman bergerak, film saya pun bergerak. Begitu indah perkataan Woody Allen, tersebut. Lucky dan filmnya saya kira terus bergerak di antara zaman yang serba absurd ini. Lucky bergerak mengikuti peta yang terjadi di Indonesia, dari konflik politik, diskriminasi, agama, budaya dan pencarian identitas.  Kelak film-film Lucky Kuswandi akan menjadi penting di suatu waktu yang akan datang dan akan lahir dari tangannya film-film barunya yang begitu indah, begitu art, begitu filosofis.

2014.


Jumat, 17 Oktober 2014

Review Film Dokumenter: Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas  

  
Suatu Ketika di Tjidurian 19

Oleh Rendy Jean Satria


"Ketika sejarah dikubur
ingatlah, generasi masa depan
pasti akan membicarakannya lagi!"
Jean-Jacques Rousseau, pemikir klasik Perancis



Rumah itu dahulu kala, pernah ada puisi, cerpen, sketsa, lukisan dan artikel-artikel perjuangan yang diciptakan dengan darah dan air mata. Juga pernah  menyimpan kenangan tentang diskusi-diskusi kecil yang luar biasa, mengenai filsafat, ideologi, sastra dan seni. Di rumah itu dahulu kala, tempat semangat menjadi api. Kegelisahan, kecemasan, kelaparan, menjadi pejelajahan artistik yang luar biasa. Rumah itu, rumah Tjidurian (Cidurian) 19 berlokasi di  Jalan Tjidurian 19 Cikini, Jakarta pusat. Rumah milik  Oey Hay Djoen (Budayawan dan Pengurus Pusat Lekra) yang dijadikan sekertariat kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tempat kongkow-kongkownya seniman Lekra, tempat mereka menulis dan membaca sebuah keadaan zaman masa darurat. Lalu keadaan berubah setelah pemerintahan orde baru mengambil alih pemerintahan. Tiba-tiba seniman Lekra menjadi ditiadakan, dipenjarakan dan dimusuhi oleh orde baru. Termasuk rumah Tijdurian 19 berserta sejarahnya.

Seniman-seniman Lekra yang pernah berkarya di Tjidurian 19 seperti Martin Aleida, Putu Oka, Amrus Natalsya, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri Setiawan, nama-nama yang terekam dalam ingatan di masa-masa indah itu. Masa dimana mereka, pada akhirnya harus rela menjadi anak tiri di tanah airnya. Mereka mencintai Indonesia dengan cara mereka sendiri, cara penjelajahan artistik dan estetik mereka sendiri. Mereka manusia kreatif, yang harus ikhlas menerima kenyataan hari ini. Rumah dan kantor mereka di Tjidurian 19 dikubur dalam geliat politik yang bengis. Sejarah tentang rumah itu dihilangkan oleh tangan-tangan orde baru.

Seketika mereka hilang. Tapi sejarah mereka kembali hidup. Rumah mereka, kantor mereka yang pernah bersejarah itu, kembali diberi nyawa dengan sebuah film dokumenter berjudul Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas karya sutradara kreatif M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo. Sutradara film tersebut, M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo, kembali mengajak kita khususnya anak muda, generasi terkini untuk kembali menatap dan menginterupsi kembali agar kita mengenal sebuah sejarah yang telah dikubur hidup-hidup di tanah airnya sendiri.

Film dokumenter Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas, begitu tenang, begitu puitik, begitu pelan, begitu rapi, saat seniman-seniman Lekra diwawancarai proses kreatif saat berkantor dan berkarya di Tjidurian 19, ada sesuatu di mata mereka, saat mereka berbagi pengalaman di suatu waktu yang lampau. Ada kekesalan, ada kegelisahan, ada keindahan juga. Pengalaman puitik mereka, dibeberkan secara terbuka. Tak ada yang ditutupi. Tapi di mata mereka terselip rasa kebanggaan juga kemarahan terhadap masa itu. 

Film dokumenter Tjidurian 19 ini, dibagi beberapa sub (Mengenal Lekra, Menuju Tjidurian 19, Tjidurian 19, Dinamika Tjidurian, Tjidurian dan Revokusi, Lembar Kelam dan Yang Tersisa) dengan plot yang berjalan mengalir. Di bagian pertama, kita diajak untuk mengenal Lekra, masa-masa awal mereka menjadi seniman lalu mengenal Lekra, bersajak, menulis cerita, dan mengikuti beberapa perlombaan menulis. Di bagian ke dua, awal mula mereka menuju rumah Tjidurian 19 untuk tinggal dan berkarya di sana. Usia para seniman Lekra tersebut, rata-rata masih sangat muda saat mereka menetap di Tjidurian 19 dan kesan-kesan mereka bertemu sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Ada juga wawancara dengan Jane Luyke (istri Oey Hay Djoen) yang sudah sangat sepuh. Tapi masih menyimpan ingatan kuat tentang rumahnya yang dijadikan sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, lalu saat sang suami, Oey Hay Djoen, meminta izin kepadanya agar rumahnya dijadikan kantor budaya Lekra. 

Di bagian terakhir film dokumenter ini, bagian yang sangat menarik bagi saya. Saat beberapa seniman lekra tersebut mengungkapkan tentang keterbentukan identitas mereka menjadi seniman Lekra dan bangga menjadi bagian penting di Lekra. Amarzan Ismail Hamid misalnya, mengungkapkan "Mimpi-mimpi muda saya dibangun di Tjidurian, sebagian besar menjadi kenyataan" Lalu, Martin Aleida juga mengungkapkan dengan mata yang berlinang "Saya masuk ke pangkuan orang tua yang baik, yang bernama LEKRA".  Pada tahun 1966  rumah budaya  tempat seniman Lekra itu berkarya diambil alih fungsi oleh kodam jaya dan mess angkatan darat. Bangunan rumah tersebut dijual tanpa ada surat lengkap kepada seorang pengusaha. Pada pertengahan tahun 1990an, rumah Tjidurian benar-benar dirobohkan dan diganti menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya.

Data-data seperti foto, video arsip Nasional, dan lembaran-lembaran koran yang terbit di masa lalu, juga menambah dan mendukung kesan estetik tentang sejarah Tijdurian 19 di film tersebut. Semoga dengan adanya film dokumenter Tjidurian 19 ini, bisa membuka kembali bab- bab panas yang hilang itu. Menjadi sebuah sejarah yang dikenang dan diabadikan dalam ingatan kita semua. Bahwasannya, mereka para seniman Lekra pernah ada, pernah berjuang, pernah berkarya untuk tanah air dan revolusi dari Jalan Tijdurian 19.





Rabu, 15 Oktober 2014

KICK FEST 2014

Sedikit keluar dari rutinitas, mengunjungi hingar bingar. 
Terpaksa? Ya, mungkin. 
Namun, ada hal-hal baru yang kadang harus kita tau, walaupun tidak ingin. 


Kesan-kesan saya ke pameran clothing terbesar se-Asia Tenggara, Kick Fest 2014 di Bandung, bisa dibaca di sini.

Aku Tak Terkapar


Kukumpulkan ranting-ranting namamu
Yang berserakan di lantai masa lalu. Lalu,
Aku nyalakan api sebesar matahari,
Dan mengundang para pesakitan untuk melihat
Pembakaran sebuah nama yang pernah mendiami
Dada seorang penyair yang linglung, yang lupa
Jalan pulang “Apa kau sungguh-sungguh ingin
Membakar nama itu?” ucap sosok api

“Undanglah prajuritku, kalau kau
Secara mendadak, berganti pikiran” ujar air
Di lubuk malam itu

Aku tak terkapar, karena sebuah nama
Yang memandangi seluruh tubuhku dengan cinta
Yang menggusungku pada perjalanan semak belukar
Dan hari-hari yang terasa sesak karena sebuah omelan
Yang itu-itu juga.

2014

 *puisi saya ini dimuat di Koran Pikiran Rakyat 
edisi 12 Oktober 2014


Selasa, 09 September 2014

Kepada Penyair Asia


Aku melangkah menujumu, menjaga kata-katamu
meresapinya dalam hening, membawanya ke tempat teduh
dan kuceritakan kepada gadis-gadis Sunda di tanahku
akan kusebar abu kata-katamu bersama angin dari tenggara
di bawah langit yang lugu, hamparan sawah yang mengajarkan
keikhlasan dan bukit-bukit yang terlihat bimbang. Jauh sebelum
aku lahir, aku hanya menerka.  Akankah kau bersajak lagi
tentang itu semua?

Dengarkan aku bersajak, adakalanya pertemuan kita
direstui hujan, ditandai dengan kelahiran sajak, September
yang gelisah, kutarik nafasku perlahan-lahan hingga terasa
sesak dadaku, sesekali aku mendehem mendengar rahasia timur
yang teduh, mistis dan santun

Di tanah ini, terhampar negeri puisi, lebih eksotis dari Andalusia
dan lebih gelisah dari kota-kota tua di Eropa. Aku melangkah
sekali lagi kepadamu dengan kegelisahan yang diwarisi
olehmu


2014



Minggu, 07 September 2014

Dhuha




Dhuha di mulut cahaya
Sebatang jarum
Menyelinap

Dalam diri
Dalam jiwa

Kota ini telah terbakar
Oleh satu lilin
Oleh satu syair
Oleh satu nama

Siapa yang mengenal-Nya
Berarti bisa mengenal
Ayat waktu

Mungkin ini stasiun
Tempat pertanyaan dan jawaban
Pulang, ke kotanya masing-masing

Sang pencipta
Siramilah aku dengan air itu

Agar aku bisa dicium
Oleh bibir angin 


2014

Kamis, 14 Agustus 2014

Review Film: Sebelum Pagi Terulang Kembali


Kejujuran Versus Idealisme

Oleh Rendy Jean Satria


"Selamat datang kebenaran
selamat pergi kepalsuan"
Allen Ginsberg,Penyair Amerika    




Add caption
Pagi adalah suci. Pagi adalah fondasi awal untuk membangun peradaban identitas pertama. Pagi adalah kejujuran saat kita melihat wajah kita di cermin sebelum beraktifitas. Ada semacam kegeregetan dan kegelisahan, saat kita menyaksikan Film Sebelum Pagi Terulang Kembali, yang diproduksi oleh Cangkir Kopi Production bekerjasama dengan KPK, untuk mengiterupsi gejala-gejala akut korupsi, kebohongan, intrik dan konspirasi di Indonesia. Film ini semacam jawaban, untuk kembali kita menyadari ada hal yang harus kita lawan di sekitar kita, di lingkungan kita, di kanan-kiri kita, di depan-belakang kita, bahwasannya korupsi bisa terjadi di lingkungan keluarga sendiri. Film Sebelum Pagi Terulang Kembali yang disutradarai oleh Lasja F Susatyo, merekam segala aktifitas korup di lingkungan keluarga, yang berimbas pada keretakan harmonisasi. 

Film ini bercerita tentang Yan (Alex Komang) pejabat pemerintah yang mempunyai prinsip kejujuran dalam dirinya, menolak disuap, menolak untuk melakukan korupsi, dan tetap menjalankan hidup yang sederhana, Yan mempunyai Istri bernama Ratna (Nungki Kusumastuti), seorang dosen filsafat yang mempunyai pandangan teoritis, tentang salah dan benar, yang mempelajari ilmu etika, ilmu epistomologi dan ilmu logika. Yan dan Ratna, memiliki tiga orang anak; Firman (Teuku Rifnu Wikana), Satria (Fauzi Baadila), dan Dian (Adinia Wirasti), yang ketiga anaknya tersebut mempunyai kompleksitas permasalahan yang berbeda-beda, tapi mempunyai satu keterkaitan yang kelak akan merubah kehangatan di dalam keluarga mereka. Kemunculan Hasan (Ibnu Jamil) yang menjadi kekasih Dian, adalah jawaban pertama tentang kehancuran keluarga ini dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran dan keterbukaan. Seketika suasana menjadi suram dan gelap. Kontruksi nilai-nilai kejujuran tiba-tiba menjadi hancur dan menjadi sampah

Film ini, begitu sederhana sekaligus filosofis, kita tidak perlu mengerenyitikan mata kita saat menyaksikan film ini. Dari awal sampai akhir, film Sebelum Pagi Terulang Kembali, begitu berjalan secara realis dengan plot cerita yang begitu rapi dan hati-hati. M. Abduh Aziz, produser sekaligus konseptor ide cerita tersebut, paham betul dan sadar betul, bahwa film ini harus bisa menjadi mercusuar pencerahan bagi masyarakat Indonesia, untuk segera menghentikan gejala-gejala korupsi di lingkungan terdekat kita, terutama di dalam keluarga kita. Bahwasannya segala macam aktifitas konsumerisme dan materalisme hanya berakhir pada kejatuhan. Tema keluarga dalam film ini, begitu sangat dinamis dan bernas. Nilai-nilai kejujuran Yan sebagai kepala keluarga, bertabrakan dan pecah begitu saja, ketika Yan harus berhadapan dengan pandangan individualisme dan idealisme anak-anaknya. Ratna, sang istri, kemudian menjadi absurd di film ini, sebagai dosen filsafat, yang saban hari bergelut dengan rumusan ilmu-ilmu logika, dan ilmu-ilmu etika, tidak bisa berbuat banyak ketika pandangan filsafatnya hanya menjadi penonton ketika anaknya Firman (Teuku Rifnu Wikana) dan Satria (Fauzi Baadillah) tertangkap KPK. Well, Film Sebelum Pagi Terulang Kembali, harus menjadi fenomena awal dalam industri perfilman kita, agar bahwasannya media film, harus menjadi bagian inti, bagian garda depan, dalam menyuarakan gerakan anti korupsi!


2014.