Selasa, 28 Oktober 2014

Kegelisahan Lucky Kuswandi Dalam Film-filmnya

Oleh Rendy Jean Satria


"Belajarlah dua sudut pandang
Timur dan Barat. Lalu lihatlah
Apa yang terjadi dalam kehidupanmu!"
Nietzsche, filsuf klasik Jerman


Lucky Kuswandi. Filmmaker muda Indonesia. Mengemban pendidikan di Amerika Serikat. Corak pandangnya adalah corak pandang antara timur dan barat. Dua pandangan yang begitu artistik dan estetik. Kehidupan intelektualnya di Amerika, begitu sangat mempengaruhi film-filmnya. Anak muda ini. Anak muda yang gelisah, cemas dengan gejala-gejala yang terjadi di Indonesia Lucky, sadar betul dengan hal itu. Kesadaran yang dikemudian hari membentuk kerangka berpikirnya, kerangka film-filmnya. Madame X, Selamat Pagi, Malam, A Letter of Unprotected Memories, Black Cherry, Stil, Nona Nyonya?   dengan menyebut beberapa judul. Adalah film-filmnya, yang tidak hanya sebagai hiburan atau tontonan. Tapi sebagai daya upaya untuk mengkritik gejala-gejala sosial di Indonesia.

Yang tadi saya katakan di awal tulisan. Lucky adalah gabungan antara dua corak pandang timur dan barat. Gejala sosial yang terjadi di Indonesia, ia gambarkan dalam bahasa gambar yang begitu mumpuni, skrip yang puitis, dan gambar-gambar yang begitu artistik. Lucky di dalam setiap filmnya, sangat  memperhatikan unsur-unsur art yang membuat filmnya begitu estetik. Film-film Lucky Kuswandi, penuh warna, nyentrik, nyeleneh dan menohok. Filmnya tidak mengapung. Tapi berdiri sendiri. Selalu ada efek kejutan disetiap plot cerita filmya. Begitu bunyi, begitu riuh sekaligus sunyi, seperti diksi-diksi puisi. Film Madame X (Kalyana Shira) di tahun 2010. Dimana Film tersebut  pernah memenangkan penghargaan 48th Golden Horse Awards yang digelar di Tapei Golden Horse Film Festival 2011. Sempat juga diputar di Hongkong. Madame X, adalah film komedi fantasi. Penuh sindiran sekaligus begitu absurd. Unsur absurditas dalam film Madame X, begitu kental, begitu menyala.  

Berbeda dengan film Madame X, di dalam Selamat Pagi, Malam, (Kepompong Gendut, 2014) Judul yang begitu puitik, sekaligus sastrawi. Di film terbaru itu, Lukcy banyak memuat unsur drama yang begitu realis sekaligus sarkas. Bercerita tentang tiga orang perempuan. Tiga orang perempuan dengan kompleksitas permasalahannya. Yang mempertanyakan identitas. Tentang hidup. Dan seketika hidup mereka bertiga, berubah di luar rencana, semua berubah di kota metropolis Jakarta di suatu malam yang riuh. Malam, menurut tafsir Lucky, yang saya perhatikan, adalah ketika matahari tenggelam dimana malam menjadi semacam pengaduan tentang jatidiri manusia-manusia kota. Yang tadinya baik, berubah menjadi munafik. Begitu sebaliknya. Lucky dengan film terbarunya itu, sedang berfilsafat tentang kehidupan masyarakat urban yang begitu membutuhkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tak terduga. Keceriaan yang begitu sakit.

Filmmaker muda ini, setidaknya telah memberikan andil besar untuk perkembangan film Indonesia kontemporer. Di zaman yang serba cepat ini, dan dengan segala kecanggihan-kecanggihannya, dengan segala atribut-atribut permasalahannya, Lucky dengan cepat membaca tafsir tentang itu semua. Woody Allen, filmmaker asal Amerika, pernah berujar saya bergerak, zaman bergerak, film saya pun bergerak. Begitu indah perkataan Woody Allen, tersebut. Lucky dan filmnya saya kira terus bergerak di antara zaman yang serba absurd ini. Lucky bergerak mengikuti peta yang terjadi di Indonesia, dari konflik politik, diskriminasi, agama, budaya dan pencarian identitas.  Kelak film-film Lucky Kuswandi akan menjadi penting di suatu waktu yang akan datang dan akan lahir dari tangannya film-film barunya yang begitu indah, begitu art, begitu filosofis.

2014.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar