Suatu Ketika di Tjidurian 19
Oleh Rendy Jean Satria
"Ketika
sejarah dikubur
ingatlah,
generasi masa depan
pasti akan
membicarakannya lagi!"
Jean-Jacques Rousseau, pemikir klasik
Perancis

Seniman-seniman Lekra yang pernah berkarya
di Tjidurian 19 seperti Martin Aleida,
Putu Oka, Amrus Natalsya, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri
Setiawan, nama-nama yang terekam dalam ingatan di masa-masa indah itu. Masa
dimana mereka, pada akhirnya harus rela menjadi anak tiri di tanah airnya.
Mereka mencintai Indonesia dengan cara mereka sendiri, cara penjelajahan
artistik dan estetik mereka sendiri. Mereka manusia kreatif, yang harus ikhlas
menerima kenyataan hari ini. Rumah dan kantor mereka di Tjidurian 19 dikubur
dalam geliat politik yang bengis. Sejarah tentang rumah itu dihilangkan oleh
tangan-tangan orde baru.
Seketika mereka hilang. Tapi sejarah mereka
kembali hidup. Rumah mereka, kantor mereka yang pernah bersejarah itu, kembali
diberi nyawa dengan sebuah film dokumenter berjudul Tjidurian 19, Rumah
Budaya yang Dirampas karya sutradara kreatif M Abduh Aziz dan Lasya F
Susatyo. Sutradara film tersebut, M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo, kembali
mengajak kita khususnya anak muda, generasi terkini untuk kembali menatap dan
menginterupsi kembali agar kita mengenal sebuah sejarah yang telah dikubur
hidup-hidup di tanah airnya sendiri.
Film dokumenter Tjidurian 19, Rumah
Budaya yang Dirampas, begitu tenang, begitu puitik, begitu pelan, begitu
rapi, saat seniman-seniman Lekra diwawancarai proses kreatif saat berkantor dan berkarya di Tjidurian 19, ada sesuatu di mata mereka, saat mereka berbagi pengalaman di suatu waktu yang lampau.
Ada kekesalan, ada kegelisahan, ada keindahan juga. Pengalaman puitik mereka, dibeberkan
secara terbuka. Tak ada yang ditutupi. Tapi di mata mereka terselip rasa kebanggaan juga kemarahan terhadap masa itu.
Film dokumenter Tjidurian 19 ini, dibagi beberapa sub (Mengenal Lekra, Menuju Tjidurian 19, Tjidurian 19, Dinamika Tjidurian, Tjidurian dan Revokusi, Lembar Kelam dan Yang Tersisa) dengan plot yang berjalan mengalir. Di bagian pertama, kita diajak untuk mengenal Lekra, masa-masa awal mereka menjadi seniman lalu mengenal Lekra, bersajak, menulis cerita, dan mengikuti beberapa perlombaan menulis. Di bagian ke dua, awal mula mereka menuju rumah Tjidurian 19 untuk tinggal dan berkarya di sana. Usia para seniman Lekra tersebut, rata-rata masih sangat muda saat mereka menetap di Tjidurian 19 dan kesan-kesan mereka bertemu sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Ada juga wawancara dengan Jane Luyke (istri Oey Hay Djoen) yang sudah sangat sepuh. Tapi masih menyimpan ingatan kuat tentang rumahnya yang dijadikan sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, lalu saat sang suami, Oey Hay Djoen, meminta izin kepadanya agar rumahnya dijadikan kantor budaya Lekra.
Di bagian terakhir film dokumenter ini, bagian yang sangat menarik bagi saya. Saat beberapa seniman lekra tersebut
mengungkapkan tentang keterbentukan identitas mereka menjadi seniman Lekra dan
bangga menjadi bagian penting di Lekra. Amarzan
Ismail Hamid misalnya, mengungkapkan "Mimpi-mimpi muda saya dibangun di
Tjidurian, sebagian besar menjadi kenyataan" Lalu, Martin Aleida juga
mengungkapkan dengan mata yang berlinang "Saya masuk ke pangkuan orang
tua yang baik, yang bernama LEKRA".
Pada tahun 1966 rumah
budaya tempat seniman Lekra itu
berkarya diambil alih fungsi oleh kodam
jaya dan mess angkatan darat. Bangunan rumah tersebut dijual tanpa ada surat
lengkap kepada seorang pengusaha. Pada pertengahan tahun 1990an, rumah
Tjidurian benar-benar dirobohkan dan diganti menjadi Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Tri Dharma Widya.
Data-data seperti foto, video arsip
Nasional, dan lembaran-lembaran koran yang terbit di masa lalu, juga menambah
dan mendukung kesan estetik tentang sejarah Tijdurian 19 di film tersebut. Semoga dengan adanya film dokumenter
Tjidurian 19 ini, bisa membuka kembali bab- bab panas yang hilang itu. Menjadi
sebuah sejarah yang dikenang dan diabadikan dalam ingatan kita semua.
Bahwasannya, mereka para seniman Lekra pernah ada, pernah berjuang, pernah
berkarya untuk tanah air dan revolusi dari Jalan Tijdurian 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar