Jumat, 17 Oktober 2014

Review Film Dokumenter: Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas  

  
Suatu Ketika di Tjidurian 19

Oleh Rendy Jean Satria


"Ketika sejarah dikubur
ingatlah, generasi masa depan
pasti akan membicarakannya lagi!"
Jean-Jacques Rousseau, pemikir klasik Perancis



Rumah itu dahulu kala, pernah ada puisi, cerpen, sketsa, lukisan dan artikel-artikel perjuangan yang diciptakan dengan darah dan air mata. Juga pernah  menyimpan kenangan tentang diskusi-diskusi kecil yang luar biasa, mengenai filsafat, ideologi, sastra dan seni. Di rumah itu dahulu kala, tempat semangat menjadi api. Kegelisahan, kecemasan, kelaparan, menjadi pejelajahan artistik yang luar biasa. Rumah itu, rumah Tjidurian (Cidurian) 19 berlokasi di  Jalan Tjidurian 19 Cikini, Jakarta pusat. Rumah milik  Oey Hay Djoen (Budayawan dan Pengurus Pusat Lekra) yang dijadikan sekertariat kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tempat kongkow-kongkownya seniman Lekra, tempat mereka menulis dan membaca sebuah keadaan zaman masa darurat. Lalu keadaan berubah setelah pemerintahan orde baru mengambil alih pemerintahan. Tiba-tiba seniman Lekra menjadi ditiadakan, dipenjarakan dan dimusuhi oleh orde baru. Termasuk rumah Tijdurian 19 berserta sejarahnya.

Seniman-seniman Lekra yang pernah berkarya di Tjidurian 19 seperti Martin Aleida, Putu Oka, Amrus Natalsya, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri Setiawan, nama-nama yang terekam dalam ingatan di masa-masa indah itu. Masa dimana mereka, pada akhirnya harus rela menjadi anak tiri di tanah airnya. Mereka mencintai Indonesia dengan cara mereka sendiri, cara penjelajahan artistik dan estetik mereka sendiri. Mereka manusia kreatif, yang harus ikhlas menerima kenyataan hari ini. Rumah dan kantor mereka di Tjidurian 19 dikubur dalam geliat politik yang bengis. Sejarah tentang rumah itu dihilangkan oleh tangan-tangan orde baru.

Seketika mereka hilang. Tapi sejarah mereka kembali hidup. Rumah mereka, kantor mereka yang pernah bersejarah itu, kembali diberi nyawa dengan sebuah film dokumenter berjudul Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas karya sutradara kreatif M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo. Sutradara film tersebut, M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo, kembali mengajak kita khususnya anak muda, generasi terkini untuk kembali menatap dan menginterupsi kembali agar kita mengenal sebuah sejarah yang telah dikubur hidup-hidup di tanah airnya sendiri.

Film dokumenter Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas, begitu tenang, begitu puitik, begitu pelan, begitu rapi, saat seniman-seniman Lekra diwawancarai proses kreatif saat berkantor dan berkarya di Tjidurian 19, ada sesuatu di mata mereka, saat mereka berbagi pengalaman di suatu waktu yang lampau. Ada kekesalan, ada kegelisahan, ada keindahan juga. Pengalaman puitik mereka, dibeberkan secara terbuka. Tak ada yang ditutupi. Tapi di mata mereka terselip rasa kebanggaan juga kemarahan terhadap masa itu. 

Film dokumenter Tjidurian 19 ini, dibagi beberapa sub (Mengenal Lekra, Menuju Tjidurian 19, Tjidurian 19, Dinamika Tjidurian, Tjidurian dan Revokusi, Lembar Kelam dan Yang Tersisa) dengan plot yang berjalan mengalir. Di bagian pertama, kita diajak untuk mengenal Lekra, masa-masa awal mereka menjadi seniman lalu mengenal Lekra, bersajak, menulis cerita, dan mengikuti beberapa perlombaan menulis. Di bagian ke dua, awal mula mereka menuju rumah Tjidurian 19 untuk tinggal dan berkarya di sana. Usia para seniman Lekra tersebut, rata-rata masih sangat muda saat mereka menetap di Tjidurian 19 dan kesan-kesan mereka bertemu sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Ada juga wawancara dengan Jane Luyke (istri Oey Hay Djoen) yang sudah sangat sepuh. Tapi masih menyimpan ingatan kuat tentang rumahnya yang dijadikan sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, lalu saat sang suami, Oey Hay Djoen, meminta izin kepadanya agar rumahnya dijadikan kantor budaya Lekra. 

Di bagian terakhir film dokumenter ini, bagian yang sangat menarik bagi saya. Saat beberapa seniman lekra tersebut mengungkapkan tentang keterbentukan identitas mereka menjadi seniman Lekra dan bangga menjadi bagian penting di Lekra. Amarzan Ismail Hamid misalnya, mengungkapkan "Mimpi-mimpi muda saya dibangun di Tjidurian, sebagian besar menjadi kenyataan" Lalu, Martin Aleida juga mengungkapkan dengan mata yang berlinang "Saya masuk ke pangkuan orang tua yang baik, yang bernama LEKRA".  Pada tahun 1966  rumah budaya  tempat seniman Lekra itu berkarya diambil alih fungsi oleh kodam jaya dan mess angkatan darat. Bangunan rumah tersebut dijual tanpa ada surat lengkap kepada seorang pengusaha. Pada pertengahan tahun 1990an, rumah Tjidurian benar-benar dirobohkan dan diganti menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya.

Data-data seperti foto, video arsip Nasional, dan lembaran-lembaran koran yang terbit di masa lalu, juga menambah dan mendukung kesan estetik tentang sejarah Tijdurian 19 di film tersebut. Semoga dengan adanya film dokumenter Tjidurian 19 ini, bisa membuka kembali bab- bab panas yang hilang itu. Menjadi sebuah sejarah yang dikenang dan diabadikan dalam ingatan kita semua. Bahwasannya, mereka para seniman Lekra pernah ada, pernah berjuang, pernah berkarya untuk tanah air dan revolusi dari Jalan Tijdurian 19.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar