Rabu, 29 Oktober 2014

Review Film ANNABELLE

ANNABELLE

Oleh Rendy Jean Satria



Boneka itu hidup. Boneka itu punya kekuatan gaib. Boneka itu dikuasai Iblis. Boneka itu meminta jiwa yang telah menemukannya. Boneka itu bernama Annabelle, yang menjadi boneka berhantu yang paling legendaris di Amerika. Rupa-rupanya sutradara Amerika tidak pernah bosan memunculkan kembali sosok boneka Annabelle, untuk menghantui para penonton setianya. Film Annabelle yang diproduksi oleh Warner Bros. Pictures (2014), mampu menghipnotis kembali para penontonnya. Film yang berdurasi kurang dari 2 jam tersebut, di setiap adegan-adegannya selalu memunculkan efek-efek kejutan, efek musik yang mencekam, dan beberapa kali selalu ada efek yang tak terduga.

Munculnya iblis yang menguasai boneka Annabelle juga muncul hanya di saat adegan tertentu, memunculkan satu kejutan tersendiri. Penonton tidak diberi jeda untuk duduk tenang dibangkunya. Film Annabele yang disutradarai John R. Leonetti, mampu memberikan rasa horror yang lumayan asin, rasa seram khas Amerika. Tirai yang tertiup. Bunyi mesin jahit. Lift yang tidak bisa naik. Bangku goyang. Bayangan-bayangan yang datang sekelabat lalu menghilang dan bunyi pintu yang digedor-gedor di sebuah apertemen. Film Annabelle yang dibintangi oleh Annabelle Wallis (Mia Form) dan Ward Horton (John Form), bermain cukup dramatik dan berkarakter, juga mampu menciptakan suspense-suspense yang baik saat harus berhadapan dengan boneka berhantu Annebelle.

Film ini bermula, ketika Mia dan John sedang menunggu kelahiran anak pertamanya, yang diberi nama Leah. Awalnya keluarga kecil itu hidup sewajarnya, sampai di suatu waktu John memberikan hadiah boneka yang paling diinginkan oleh Mia. Mia, yang mempunyai hobi mengoleksi boneka-boneka, sangat terkejut ketika John memberikan boneka Annabelle. Tak lama setelah boneka itu dipajang. Terjadilah malapetaka dan kesialan di dalam keluarga mereka. Kejadian-kejadian senantiasa mengusik mereka. Sampai di suatu malam, terjadilah adegan yang paling ditunggu-tunggu itu. Rumah Mia dan John disantroni oleh dua orang gila, dari keluarga Higgins yang mengikuti aliran sesat, pemuja iblis, mereka mencoba membunuh Mia dan John. Annabelle Higgins yang mencoba mengambil boneka Annabelle milik Mia itu ternyata bunuh diri di depan boneka Annabelle dan terjadilah setelah itu adegan-adegan terkutuk yang mengusik keluarga John Form. Walaupun saya sedikit kecewa pada adegan klimaksnya. Yang terasa hambar dan biasa-biasa saja.

Untungnya film ini didukung oleh Sinematografi yang baik oleh James Kniest, yang memberikan bahasa-bahasa gambar yang mencekam sekaligus menciptakan suasana yang benar-benar horror. Film Annebelle, yang dirilis di Amerika dan menjadi box office, memunculkan persepsi kita  tentang film-film horror di barat, yang dibuat dengan detail dan serius pasti akan menjadi film yang baik dan bagus. Indonesia dengan segala macam film-film hantunya harus belajar banyak tentang bagaimana membuat alur cerita, efek musik, dan karakteristik cerita hantu itu sendiri,

2014.







Selasa, 28 Oktober 2014

Kegelisahan Lucky Kuswandi Dalam Film-filmnya

Oleh Rendy Jean Satria


"Belajarlah dua sudut pandang
Timur dan Barat. Lalu lihatlah
Apa yang terjadi dalam kehidupanmu!"
Nietzsche, filsuf klasik Jerman


Lucky Kuswandi. Filmmaker muda Indonesia. Mengemban pendidikan di Amerika Serikat. Corak pandangnya adalah corak pandang antara timur dan barat. Dua pandangan yang begitu artistik dan estetik. Kehidupan intelektualnya di Amerika, begitu sangat mempengaruhi film-filmnya. Anak muda ini. Anak muda yang gelisah, cemas dengan gejala-gejala yang terjadi di Indonesia Lucky, sadar betul dengan hal itu. Kesadaran yang dikemudian hari membentuk kerangka berpikirnya, kerangka film-filmnya. Madame X, Selamat Pagi, Malam, A Letter of Unprotected Memories, Black Cherry, Stil, Nona Nyonya?   dengan menyebut beberapa judul. Adalah film-filmnya, yang tidak hanya sebagai hiburan atau tontonan. Tapi sebagai daya upaya untuk mengkritik gejala-gejala sosial di Indonesia.

Yang tadi saya katakan di awal tulisan. Lucky adalah gabungan antara dua corak pandang timur dan barat. Gejala sosial yang terjadi di Indonesia, ia gambarkan dalam bahasa gambar yang begitu mumpuni, skrip yang puitis, dan gambar-gambar yang begitu artistik. Lucky di dalam setiap filmnya, sangat  memperhatikan unsur-unsur art yang membuat filmnya begitu estetik. Film-film Lucky Kuswandi, penuh warna, nyentrik, nyeleneh dan menohok. Filmnya tidak mengapung. Tapi berdiri sendiri. Selalu ada efek kejutan disetiap plot cerita filmya. Begitu bunyi, begitu riuh sekaligus sunyi, seperti diksi-diksi puisi. Film Madame X (Kalyana Shira) di tahun 2010. Dimana Film tersebut  pernah memenangkan penghargaan 48th Golden Horse Awards yang digelar di Tapei Golden Horse Film Festival 2011. Sempat juga diputar di Hongkong. Madame X, adalah film komedi fantasi. Penuh sindiran sekaligus begitu absurd. Unsur absurditas dalam film Madame X, begitu kental, begitu menyala.  

Berbeda dengan film Madame X, di dalam Selamat Pagi, Malam, (Kepompong Gendut, 2014) Judul yang begitu puitik, sekaligus sastrawi. Di film terbaru itu, Lukcy banyak memuat unsur drama yang begitu realis sekaligus sarkas. Bercerita tentang tiga orang perempuan. Tiga orang perempuan dengan kompleksitas permasalahannya. Yang mempertanyakan identitas. Tentang hidup. Dan seketika hidup mereka bertiga, berubah di luar rencana, semua berubah di kota metropolis Jakarta di suatu malam yang riuh. Malam, menurut tafsir Lucky, yang saya perhatikan, adalah ketika matahari tenggelam dimana malam menjadi semacam pengaduan tentang jatidiri manusia-manusia kota. Yang tadinya baik, berubah menjadi munafik. Begitu sebaliknya. Lucky dengan film terbarunya itu, sedang berfilsafat tentang kehidupan masyarakat urban yang begitu membutuhkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tak terduga. Keceriaan yang begitu sakit.

Filmmaker muda ini, setidaknya telah memberikan andil besar untuk perkembangan film Indonesia kontemporer. Di zaman yang serba cepat ini, dan dengan segala kecanggihan-kecanggihannya, dengan segala atribut-atribut permasalahannya, Lucky dengan cepat membaca tafsir tentang itu semua. Woody Allen, filmmaker asal Amerika, pernah berujar saya bergerak, zaman bergerak, film saya pun bergerak. Begitu indah perkataan Woody Allen, tersebut. Lucky dan filmnya saya kira terus bergerak di antara zaman yang serba absurd ini. Lucky bergerak mengikuti peta yang terjadi di Indonesia, dari konflik politik, diskriminasi, agama, budaya dan pencarian identitas.  Kelak film-film Lucky Kuswandi akan menjadi penting di suatu waktu yang akan datang dan akan lahir dari tangannya film-film barunya yang begitu indah, begitu art, begitu filosofis.

2014.


Jumat, 17 Oktober 2014

Review Film Dokumenter: Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas  

  
Suatu Ketika di Tjidurian 19

Oleh Rendy Jean Satria


"Ketika sejarah dikubur
ingatlah, generasi masa depan
pasti akan membicarakannya lagi!"
Jean-Jacques Rousseau, pemikir klasik Perancis



Rumah itu dahulu kala, pernah ada puisi, cerpen, sketsa, lukisan dan artikel-artikel perjuangan yang diciptakan dengan darah dan air mata. Juga pernah  menyimpan kenangan tentang diskusi-diskusi kecil yang luar biasa, mengenai filsafat, ideologi, sastra dan seni. Di rumah itu dahulu kala, tempat semangat menjadi api. Kegelisahan, kecemasan, kelaparan, menjadi pejelajahan artistik yang luar biasa. Rumah itu, rumah Tjidurian (Cidurian) 19 berlokasi di  Jalan Tjidurian 19 Cikini, Jakarta pusat. Rumah milik  Oey Hay Djoen (Budayawan dan Pengurus Pusat Lekra) yang dijadikan sekertariat kantor Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), tempat kongkow-kongkownya seniman Lekra, tempat mereka menulis dan membaca sebuah keadaan zaman masa darurat. Lalu keadaan berubah setelah pemerintahan orde baru mengambil alih pemerintahan. Tiba-tiba seniman Lekra menjadi ditiadakan, dipenjarakan dan dimusuhi oleh orde baru. Termasuk rumah Tijdurian 19 berserta sejarahnya.

Seniman-seniman Lekra yang pernah berkarya di Tjidurian 19 seperti Martin Aleida, Putu Oka, Amrus Natalsya, Amarzan Ismail Hamid, S. Anantaguna, Hersri Setiawan, nama-nama yang terekam dalam ingatan di masa-masa indah itu. Masa dimana mereka, pada akhirnya harus rela menjadi anak tiri di tanah airnya. Mereka mencintai Indonesia dengan cara mereka sendiri, cara penjelajahan artistik dan estetik mereka sendiri. Mereka manusia kreatif, yang harus ikhlas menerima kenyataan hari ini. Rumah dan kantor mereka di Tjidurian 19 dikubur dalam geliat politik yang bengis. Sejarah tentang rumah itu dihilangkan oleh tangan-tangan orde baru.

Seketika mereka hilang. Tapi sejarah mereka kembali hidup. Rumah mereka, kantor mereka yang pernah bersejarah itu, kembali diberi nyawa dengan sebuah film dokumenter berjudul Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas karya sutradara kreatif M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo. Sutradara film tersebut, M Abduh Aziz dan Lasya F Susatyo, kembali mengajak kita khususnya anak muda, generasi terkini untuk kembali menatap dan menginterupsi kembali agar kita mengenal sebuah sejarah yang telah dikubur hidup-hidup di tanah airnya sendiri.

Film dokumenter Tjidurian 19, Rumah Budaya yang Dirampas, begitu tenang, begitu puitik, begitu pelan, begitu rapi, saat seniman-seniman Lekra diwawancarai proses kreatif saat berkantor dan berkarya di Tjidurian 19, ada sesuatu di mata mereka, saat mereka berbagi pengalaman di suatu waktu yang lampau. Ada kekesalan, ada kegelisahan, ada keindahan juga. Pengalaman puitik mereka, dibeberkan secara terbuka. Tak ada yang ditutupi. Tapi di mata mereka terselip rasa kebanggaan juga kemarahan terhadap masa itu. 

Film dokumenter Tjidurian 19 ini, dibagi beberapa sub (Mengenal Lekra, Menuju Tjidurian 19, Tjidurian 19, Dinamika Tjidurian, Tjidurian dan Revokusi, Lembar Kelam dan Yang Tersisa) dengan plot yang berjalan mengalir. Di bagian pertama, kita diajak untuk mengenal Lekra, masa-masa awal mereka menjadi seniman lalu mengenal Lekra, bersajak, menulis cerita, dan mengikuti beberapa perlombaan menulis. Di bagian ke dua, awal mula mereka menuju rumah Tjidurian 19 untuk tinggal dan berkarya di sana. Usia para seniman Lekra tersebut, rata-rata masih sangat muda saat mereka menetap di Tjidurian 19 dan kesan-kesan mereka bertemu sastrawan besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Bakri Siregar, Rivai Apin dan Utuy Tatang Sontani. Ada juga wawancara dengan Jane Luyke (istri Oey Hay Djoen) yang sudah sangat sepuh. Tapi masih menyimpan ingatan kuat tentang rumahnya yang dijadikan sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, sekretariat untuk seniman-seniman Lekra dan awal mula saat mereka pindah ke Jalan Tjidurian 19, lalu saat sang suami, Oey Hay Djoen, meminta izin kepadanya agar rumahnya dijadikan kantor budaya Lekra. 

Di bagian terakhir film dokumenter ini, bagian yang sangat menarik bagi saya. Saat beberapa seniman lekra tersebut mengungkapkan tentang keterbentukan identitas mereka menjadi seniman Lekra dan bangga menjadi bagian penting di Lekra. Amarzan Ismail Hamid misalnya, mengungkapkan "Mimpi-mimpi muda saya dibangun di Tjidurian, sebagian besar menjadi kenyataan" Lalu, Martin Aleida juga mengungkapkan dengan mata yang berlinang "Saya masuk ke pangkuan orang tua yang baik, yang bernama LEKRA".  Pada tahun 1966  rumah budaya  tempat seniman Lekra itu berkarya diambil alih fungsi oleh kodam jaya dan mess angkatan darat. Bangunan rumah tersebut dijual tanpa ada surat lengkap kepada seorang pengusaha. Pada pertengahan tahun 1990an, rumah Tjidurian benar-benar dirobohkan dan diganti menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Tri Dharma Widya.

Data-data seperti foto, video arsip Nasional, dan lembaran-lembaran koran yang terbit di masa lalu, juga menambah dan mendukung kesan estetik tentang sejarah Tijdurian 19 di film tersebut. Semoga dengan adanya film dokumenter Tjidurian 19 ini, bisa membuka kembali bab- bab panas yang hilang itu. Menjadi sebuah sejarah yang dikenang dan diabadikan dalam ingatan kita semua. Bahwasannya, mereka para seniman Lekra pernah ada, pernah berjuang, pernah berkarya untuk tanah air dan revolusi dari Jalan Tijdurian 19.





Rabu, 15 Oktober 2014

KICK FEST 2014

Sedikit keluar dari rutinitas, mengunjungi hingar bingar. 
Terpaksa? Ya, mungkin. 
Namun, ada hal-hal baru yang kadang harus kita tau, walaupun tidak ingin. 


Kesan-kesan saya ke pameran clothing terbesar se-Asia Tenggara, Kick Fest 2014 di Bandung, bisa dibaca di sini.

Aku Tak Terkapar


Kukumpulkan ranting-ranting namamu
Yang berserakan di lantai masa lalu. Lalu,
Aku nyalakan api sebesar matahari,
Dan mengundang para pesakitan untuk melihat
Pembakaran sebuah nama yang pernah mendiami
Dada seorang penyair yang linglung, yang lupa
Jalan pulang “Apa kau sungguh-sungguh ingin
Membakar nama itu?” ucap sosok api

“Undanglah prajuritku, kalau kau
Secara mendadak, berganti pikiran” ujar air
Di lubuk malam itu

Aku tak terkapar, karena sebuah nama
Yang memandangi seluruh tubuhku dengan cinta
Yang menggusungku pada perjalanan semak belukar
Dan hari-hari yang terasa sesak karena sebuah omelan
Yang itu-itu juga.

2014

 *puisi saya ini dimuat di Koran Pikiran Rakyat 
edisi 12 Oktober 2014