Minggu, 01 Oktober 2017

Pengantar Untuk Buku Puisi Kyai Yuyun Wahyudin

Memetik Kata-kata Cinta dari Pohon Puisi “GADISKU”

Oleh: Rendy Jean Satria


Akan kubakar gunung saljumu
dengan api cintaku, hingga menjadi abu
Kemudian lenyap dalam keabadian’
Cover Buku Puisi Kyai Yuyun Wahyudin
Pertengahan Juli Tahun 2004 silam, saat itu umur saya masih 14 tahun dan beliau berumur 30 tahun. Untuk pertama kalinya saya melihat sosoknya dari luar jendela rumahnya. Duduk di antara tumpukan buku-buku, arsip-arsip, lembaran-lembaran Koran, dan barisan kitab-kitab yang berserakan. Dua matanya hanya terpusat pada buku yang sedang dibacanya. Kegaduhan anak-anak santri baru di luar rumahnya, tampak tidak membuatnya risih atau terganggu. Dengan rambutnya yang sedikit acak, ikal, panjang, dan pakaiannya yang hanya menggunakan kaos oblong, membuat saya penasaran saat itu. Karena berbeda dari ustad-ustad lainnya.

Sesekali beliau menatap sesuatu dari bilik gordin jendela. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin ia sedang membayangkan Al-Ghazali, Attar, Sa’adi, Nizhami, Rummi, Firdausi, Hallaj, Syams Tabriz, Aristoteles atau gurunya K.H Wahab Muhsin.  Lalu setelah itu bisa dipastikan ia akan duduk kembali dan termenung di depan komputer tabungnya. Saya sering mengamati gerak-geriknya. Karena jarak rumahnya dengan kobong yang saya tempati kala itu, hanyalah berjarak 10 meter. Ingin menyapa tapi saya malu karena waktu itu saya baru saja masuk pesantren Al-Quran Al-Falah 2 Nagreg.  Sering kali saya saat makan sore tiba, saya sengaja makan di dekat tangga depan rumahnya di mana ia sering lewat dan saat itu saya pasti akan menyapanya dengan satu anggukan kepala dan buru-buru menyalami tangannya. Tapi tetap saja, waktu itu saya masihlah seorang bocah berumur 14 tahun yang malu-malu untuk bertanya sesuatu kepadanya tentang berbagai displin keilmuan.

Ruang kerjanya tidak begitu besar, sederhana tapi berisi. Di tembok-temboknya penuh dengan ratusan buku-buku, tampak sang empunya rumah adalah seorang kutu buku tulen, yang menaruh minat besar pada dunia kata-kata, dunia buku, dunia sastra tempat dimana kegelisahan menjadi sangat indah. Kemudian hari akhirnya saya mengetahui namanya dari papan jadwal pengajian rutin harian yang sering ditempel di majalah dinding asrama pesantren. Di situ tertera nama beliau, Yuyun Wahyudin. Saya diberitahu oleh kawan se-asrama, kalau orang yang sering saya tanyakan itu bernama Pak Uyun.  Di kemudian hari saya pun sering mengunjunginya di kala senggang. Khususnya saat malam hari tiba, setelah pengajian malam selesai. Diam-diam saya sering mengetuk pintu rumahnya. Dan bertanya ihwal apapun, dari filsafat, tasawuf, dan puisi. 

Keluasan ilmunya dalam kajian sastra Arab, memudahkan Pak Uyun memasuki mutiara-mutiara hikmah di dalam kitab kuning yang ditulis oleh para ulama beratus-ratus tahun lalu. Kajiannya yang mendalam tentang kitab kuning, juga bahasa Arab, tak lepas dari kegilaannya beliau terhadap ilmu pengetahuan yang ia serap dari beberapa kyai-kyai di pesantren Jawa Barat. Lelaki yang lahir di Tasikmalaya, 42 tahun yang lalu itu, berguru di kampung Ciomas dengan Ajengan Mumu yang sangat disegani. Setelah ia menyerap mata air keilmuan Ajengan Mumu, Pak Uyun segera mengaji kembali di pesantren K.H Wahab Mukshin Sukahideng, Tasikmalaya. Di pesantren Sukahideng ini, saya rasa ia memulai menempa semangatnya dalam dunia tulis menulis. Termasuk puisi dan mulai mengenal secara serius buku-buku puisi yang ditulis penyair Emha Ainun Najib dan sajak-sajak W.S Rendra yang terbit tahun 90-an.  

Belum puas, hanya belajar ngaji di pesantren, Pak Uyun kembali menguji keilmuan sastra dan bahasa Arabnya di UIN Bandung. Lalu akhirnya ia mengabdi di pesantren Al-Falah 2 Nagreg. Alam Tasikmalaya yang puitis sekaligus hening membuat dirinya tumbuh menjadi seorang penyair. Untuk merekam semua kenangan-kenangan itu, Pak Uyun sempat mengeluarkan buku puisi berjudul “Nothing, Tafsir Nyanyian Sunyi” pada tahun 2008 silam, buku puisi itu terbit secara edisi terbatas.

*        

Yuyun Wahyudin, seorang guru yang sangat berpengaruh kelak bagi perkembangan jalan kepenyairan saya dan sebuah nama yang saya sering sebut di mana-mana. Sebagai “ajengan puisi” saya pertama. Guru yang cukup bijak, istimewa, dan filosofis untuk saya. Cara pandangnya dalam melihat sesuatu sangat toleran. Cara bertutur sangat santun, berilmu, dan berwawasan luas. Sikapnya yang sering kali pendiam, mencerminkan sikap ketawadu’an, rendah hati. Bacaan-bacaan tasawufnya, benar-benar mendarah daging kepada sikap-sikapnya.

Secara pribadi, saya melihat Pak Uyun mempunyai apa yang disebut dalam budaya pesantren dikenal istilah Khoriqul ‘Adah. Istilah tersebut biasanya berkenaan dengan sikap hidup seorang santri yang nyentrik, aneh, dan diluar kebiasaan pada umumnya. Berbeda dari para santri-santri kebanyakan. Saya sudah melihat ciri-ciri itu pada beliau. Semenjak saya masih kelas 1 Aliyah. Rambutnya yang gondrong, tangan yang sering dihiasi gelang karet, dan kegemarannya membaca kajian-kajian filsafat dan puisi. Membuat saya betah berlama-lama ngobrol dan sorogan  dengan beliau. Malam hari adalah momen yang tepat bertemu dengan orang-orang yang mempunyai sikap Khoriqul ‘Adah itu. Biasanya para santri yang mempunyai sikap Khoriqul ‘Adah, mempunyai bakat unik diluar kebiasaanya mengaji di pesantren. 

Ajengan Gus Miek dari pesantren Ploso Kediri, Gus Dur dari pesantren Lombang, Gus Mus dari pesantren Rembang, Emha Ainun Najib dari Jogjakarta, KH. Acep Zamzam Noor dari pesantren Cipasung, KH. Ahmad Faisal Imron (yang juga sepupu Acep Zamzam) dari pesantren Ciparay Baitul Arqam, Ajengan Fauz Noor dari pesantren Fauzan. Mereka adalah nama-nama yang indah bagi saya ketika saya masih remaja. Beruntung bagi saya di antara mereka sebagiannya saya pernah mengenal mereka secara dekat dan tinggal beberapa hari di pesantren mereka. Selain sikap mereka yang nyeleneh, mereka juga masih setia mengajar di pesantren mereka masing-masing dan jadi Kyai yang dihormati di kampungnya masing-masing. 

Mereka mempunyai perilaku-perilaku Khoriqul ‘Adah yang tidak dibuat-buat, melainkan mengalir dan ini terbukti dari karomah-karomah mereka yang mempunyai santri ratusan bahkan ribuan. Doa-doa mereka diharapkan, kedatangan mereka juga ditunggu-tunggu saat memberikan ceramah. Nama-nama mereka pun dikenal luas secara nasional dan internasional. Dan Yuyun Wahyudin adalah mata rantai terkini dari silsilah Khoriqul ‘Adah tersebut.


*

Yuyun Wahyudin adalah salah satu seorang penyair yang lahir dari pesantren. Seorang ustad yang selama kehidupannya diisi dengan mengajar, meneliti, membaca, dan menulis. Dan menulis puisi adalah salah satu bagian dari hidupnya dan kini “ajengan puisi” saya tersebut menerbitkan buku puisi GADISKU. Sebuah kumpulan puisi yang sarat dengan keindahan, ketulusan, keiklasan yang kesemuanya bermuara pada satu hal yang paling tinggi yaitu untuk mengangkat ‘piala cintanya’. Disamping beberapa puisi Yuyun Wahyudin juga mengangkat isu-isu politik dan kasus sosial yang berkembang di Indonesia.

Perpaduan antara metafora, pilihan kata-kata dan tema saling menguatkan bangunan puisi-puisi dari Yuyun Wahyudin. Tak muluk-muluk tapi mengena dan mempunyai arti tersendiri bagi sang penyairnya. Membaca puisi Pak Uyun, Kadang kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan, kadang juga sebuah kesedihan, kebahagiaan yang mendalam. Kejujuran sangat terasa intens di dalam serpihan puisinya. Jujur dalam segi ungkapan akan membuat satu kesatuan yang kuat dalam mendeskripsikan sesuatu yang puitis. Mari kita simak bait pertama dari puisi Gadisku (2) :

Hari itu
di rumah Tuhan
Aku menikahimu, gadisku
dengan maskawin
sebuah puisi
yang kutulis
dalam mimpi
(Puisi Gadisku 2)        

Segera pembaca diberi sinyalemen oleh sang penyair, kalau puisi ini begitu manis, romantik, dan terbuka. Kata-kata dalam puisi-puisi Yuyun Wahyudin, hadir begitu saja, tanpa ada penanda-penanda yang menganggu, hadir sebagai suatu pengalaman yang kongkret. Yuyun Wahyudin, pertama-tama terpukau dengan kecantikan seorang gadis. Semua itu hadir dalam sebentuk pengalaman riil. Jadi tak heran, pengalaman estetik cintanya, itu membuat malaikat cemburu:

Sementara
Malaikat
cemburu melihat
kemesraan kita
(Puisi Gadisku 2)

Lalu, aku lirik berusaha menjelaskan dan mempertahankan kepastiannya dalam mencintai sosok gadis tersebut:

Karena
Hari itu
di rumah Tuhan
aku membisikan
cinta padamu
(Puisi Gadisku 2)

Sebagai pencinta yang sedang dimabuk anggur cinta, dalam pandangan Yuyun Wahyudin hanya tertuju pada sosok gadis di hatinya. Kehidupan selain sang gadis, tak menarik perhatiannya. Pikirannya terpusat padanya. Ia berusaha mencari pencerahan di dalamnya. Walau kadang jalan yang ditempuh sunyi dan sepi. Dingin dan hangat. Penuh sangsi sekaligus rawan patah hati. Ia takut kalau ada yang mengambil ‘hak paten’ cintanya itu. Tapi, Yuyun Wahyudin seperti sudah paham betul tentang hidup yang ia kembarai.

setelah sekian lama
tak bersua
terpisah jarak waktu
Di gerbong itu
kita berdiri
tanpa mempedulikan
ribuan pasang
mata orang
yang memandang
penuh kecurigaan
seakan mereka
mau merampas dirimu
dariku
(Puisi Kereta 1)

Seekor semut hitam
jatuh di pangkuan
kerudungmu
telah membuatku
cemburu:

Awas jangan sentuh kasihku
jika tak ingin bermusuhan
sebab tak seorang pun
akan ku ijinkan
menyentuhnya
selain diriku
sendiri
(Cemburu 2)

Tak sampai di sana, kegelisahan Yuyun Wahyudin juga semakin menjadi-jadi. Agaknya, bagi beliau selain sosok gadis ‘puitis’ itu, ada lagi yang membuatnya terpukau. Untuk mencapai puncak spiritual yaitu keagungan dari Yang Maha Akbar, Yuyun Wahyudin membuat satu jembatan yang kuat. Ia coba menjalin satu kawat ruhani antara sosok gadisnya dan sosok Tuhan. Mari kita renungkan salah satu puisinya yang berjudul Mabuk Cinta:

Nikmatilah kegilaanmu segera
karena telah menganggap cinta sebagai tuhan
hingga kau terbangun
dari kegilaan mimpimu

‘Kegilaan’ dalam sebahagian dari diksi-diksi puisi para penyair sufi di masa lampau adalah bagian dari keindahan abadi dalam menemukan sosok Yang Maha Akbar yang juga berimbas pada sikap hidup para penyair yang sufi, yang nyentrik, zuhud sekaligus aneh. Rupa-rupanya Yuyun Wahyudin terkena ‘virus kegilaan’ pada satu sosok yang paling misterius di jagat raya ini.  Diksi-diksi anggur, mabuk, melodi, akal, tarian, malaikat, dawai, sayap-sayap, bertaburan dalam beberapa puisi-puisi Yuyun Wahyudin yang mencoba memberikan ‘ruh’ pada puisinya untuk segera menjadi ayat-ayat hasrat, untuk menyapa-Nya, menyalami-Nya dan berikrar sebagai seorang hamba :

Cintaku padamu
Cinta langit pada bumi

Rinduku padamu
Rindu siang pada matahari

Hasratku padamu
Hasrat Majnun pada Laila

Kesetianku padamu
Kesetian Rama pada Sinta

Tangisanku untukmu
Tangisan embun pada melati

Nyanyianku untukmu
Nyanyian hidup dan mati
(Ikrar Cinta)

Cijawurah, Bandung 25 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar