Memetik Kata-kata Cinta dari Pohon Puisi
“GADISKU”
Oleh: Rendy Jean Satria
‘Akan kubakar
gunung saljumu
dengan api cintaku, hingga menjadi abu
Kemudian
lenyap dalam keabadian’
![]() |
Cover Buku Puisi Kyai Yuyun Wahyudin |
Pertengahan Juli Tahun 2004 silam, saat itu umur
saya masih 14 tahun dan beliau berumur 30 tahun. Untuk pertama kalinya saya
melihat sosoknya dari luar jendela rumahnya. Duduk di antara tumpukan
buku-buku, arsip-arsip, lembaran-lembaran Koran, dan barisan kitab-kitab yang
berserakan. Dua matanya hanya terpusat pada buku yang sedang dibacanya.
Kegaduhan anak-anak santri baru di luar rumahnya, tampak tidak membuatnya risih
atau terganggu. Dengan rambutnya yang sedikit acak, ikal, panjang, dan
pakaiannya yang hanya menggunakan kaos oblong, membuat saya penasaran saat itu.
Karena berbeda dari ustad-ustad lainnya.
Sesekali beliau menatap sesuatu dari bilik
gordin jendela. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin ia sedang membayangkan
Al-Ghazali, Attar, Sa’adi, Nizhami, Rummi, Firdausi, Hallaj, Syams Tabriz,
Aristoteles atau gurunya K.H Wahab Muhsin.
Lalu setelah itu bisa dipastikan ia akan duduk kembali dan termenung di
depan komputer tabungnya. Saya sering mengamati gerak-geriknya. Karena jarak
rumahnya dengan kobong yang saya tempati kala itu, hanyalah berjarak 10 meter.
Ingin menyapa tapi saya malu karena waktu itu saya baru saja masuk pesantren
Al-Quran Al-Falah 2 Nagreg. Sering kali
saya saat makan sore tiba, saya sengaja makan di dekat tangga depan rumahnya di
mana ia sering lewat dan saat itu saya pasti akan menyapanya dengan satu
anggukan kepala dan buru-buru menyalami tangannya. Tapi tetap saja, waktu itu
saya masihlah seorang bocah berumur 14 tahun yang malu-malu untuk bertanya
sesuatu kepadanya tentang berbagai displin keilmuan.
Ruang kerjanya tidak begitu besar, sederhana
tapi berisi. Di tembok-temboknya penuh dengan ratusan buku-buku, tampak sang
empunya rumah adalah seorang kutu buku tulen, yang menaruh minat besar pada
dunia kata-kata, dunia buku, dunia sastra tempat dimana kegelisahan menjadi
sangat indah. Kemudian hari akhirnya saya mengetahui namanya dari papan jadwal
pengajian rutin harian yang sering ditempel di majalah dinding asrama
pesantren. Di situ tertera nama beliau, Yuyun Wahyudin. Saya diberitahu oleh
kawan se-asrama, kalau orang yang sering saya tanyakan itu bernama Pak
Uyun. Di kemudian hari saya pun sering
mengunjunginya di kala senggang. Khususnya saat malam hari tiba, setelah
pengajian malam selesai. Diam-diam saya sering mengetuk pintu rumahnya. Dan
bertanya ihwal apapun, dari filsafat, tasawuf, dan puisi.
Keluasan ilmunya dalam kajian sastra Arab,
memudahkan Pak Uyun memasuki mutiara-mutiara hikmah di dalam kitab kuning yang
ditulis oleh para ulama beratus-ratus tahun lalu. Kajiannya yang mendalam
tentang kitab kuning, juga bahasa Arab, tak lepas dari kegilaannya beliau
terhadap ilmu pengetahuan yang ia serap dari beberapa kyai-kyai di pesantren
Jawa Barat. Lelaki yang lahir di Tasikmalaya, 42 tahun yang lalu itu, berguru
di kampung Ciomas dengan Ajengan Mumu yang sangat disegani. Setelah ia menyerap
mata air keilmuan Ajengan Mumu, Pak Uyun segera mengaji kembali di pesantren
K.H Wahab Mukshin Sukahideng, Tasikmalaya. Di pesantren Sukahideng ini, saya
rasa ia memulai menempa semangatnya dalam dunia tulis menulis. Termasuk puisi
dan mulai mengenal secara serius buku-buku puisi yang ditulis penyair Emha
Ainun Najib dan sajak-sajak W.S Rendra yang terbit tahun 90-an.
Belum puas, hanya belajar ngaji di pesantren,
Pak Uyun kembali menguji keilmuan sastra dan bahasa Arabnya di UIN Bandung.
Lalu akhirnya ia mengabdi di pesantren Al-Falah 2 Nagreg. Alam Tasikmalaya yang
puitis sekaligus hening membuat dirinya tumbuh menjadi seorang penyair. Untuk
merekam semua kenangan-kenangan itu, Pak Uyun sempat mengeluarkan buku puisi
berjudul “Nothing, Tafsir Nyanyian
Sunyi” pada tahun 2008 silam, buku puisi itu terbit secara edisi terbatas.
*
Yuyun Wahyudin, seorang guru yang sangat
berpengaruh kelak bagi perkembangan jalan kepenyairan saya dan sebuah nama yang
saya sering sebut di mana-mana. Sebagai “ajengan puisi” saya pertama. Guru yang
cukup bijak, istimewa, dan filosofis untuk saya. Cara pandangnya dalam melihat
sesuatu sangat toleran. Cara bertutur sangat santun, berilmu, dan berwawasan
luas. Sikapnya yang sering kali pendiam, mencerminkan sikap ketawadu’an, rendah
hati. Bacaan-bacaan tasawufnya, benar-benar mendarah daging kepada
sikap-sikapnya.
Secara pribadi, saya melihat Pak Uyun mempunyai
apa yang disebut dalam budaya pesantren dikenal istilah Khoriqul ‘Adah. Istilah tersebut biasanya berkenaan dengan sikap
hidup seorang santri yang nyentrik, aneh, dan diluar kebiasaan pada umumnya.
Berbeda dari para santri-santri kebanyakan. Saya sudah melihat ciri-ciri itu
pada beliau. Semenjak saya masih kelas 1 Aliyah. Rambutnya yang gondrong,
tangan yang sering dihiasi gelang karet, dan kegemarannya membaca kajian-kajian
filsafat dan puisi. Membuat saya betah berlama-lama ngobrol dan sorogan
dengan beliau. Malam hari adalah momen yang tepat bertemu dengan
orang-orang yang mempunyai sikap Khoriqul
‘Adah itu. Biasanya para santri yang mempunyai sikap Khoriqul ‘Adah, mempunyai bakat unik diluar kebiasaanya mengaji di
pesantren.
Ajengan Gus Miek dari pesantren Ploso Kediri, Gus Dur dari pesantren
Lombang, Gus Mus dari pesantren Rembang, Emha Ainun Najib dari Jogjakarta, KH.
Acep Zamzam Noor dari pesantren Cipasung, KH. Ahmad Faisal Imron (yang juga
sepupu Acep Zamzam) dari pesantren Ciparay Baitul Arqam, Ajengan Fauz Noor dari
pesantren Fauzan. Mereka adalah nama-nama yang indah bagi saya ketika saya
masih remaja. Beruntung bagi saya di antara mereka sebagiannya saya pernah
mengenal mereka secara dekat dan tinggal beberapa hari di pesantren mereka.
Selain sikap mereka yang nyeleneh, mereka juga masih setia mengajar di
pesantren mereka masing-masing dan jadi Kyai yang dihormati di kampungnya
masing-masing.
Mereka mempunyai perilaku-perilaku Khoriqul ‘Adah yang tidak dibuat-buat, melainkan mengalir dan ini
terbukti dari karomah-karomah mereka yang mempunyai santri ratusan bahkan
ribuan. Doa-doa mereka diharapkan, kedatangan mereka juga ditunggu-tunggu saat
memberikan ceramah. Nama-nama mereka pun dikenal luas secara nasional dan
internasional. Dan Yuyun Wahyudin adalah mata rantai terkini dari silsilah Khoriqul ‘Adah tersebut.
Yuyun Wahyudin adalah salah satu seorang
penyair yang lahir dari pesantren. Seorang ustad yang selama kehidupannya diisi
dengan mengajar, meneliti, membaca, dan menulis. Dan menulis puisi adalah salah
satu bagian dari hidupnya dan kini “ajengan puisi” saya tersebut menerbitkan
buku puisi GADISKU. Sebuah kumpulan puisi yang sarat dengan keindahan,
ketulusan, keiklasan yang kesemuanya bermuara pada satu hal yang paling tinggi
yaitu untuk mengangkat ‘piala cintanya’. Disamping beberapa puisi Yuyun
Wahyudin juga mengangkat isu-isu politik dan kasus sosial yang berkembang di
Indonesia.
Perpaduan antara metafora, pilihan kata-kata
dan tema saling menguatkan bangunan puisi-puisi dari Yuyun Wahyudin. Tak
muluk-muluk tapi mengena dan mempunyai arti tersendiri bagi sang penyairnya.
Membaca puisi Pak Uyun, Kadang kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan, kadang
juga sebuah kesedihan, kebahagiaan yang mendalam. Kejujuran sangat terasa
intens di dalam serpihan puisinya. Jujur dalam segi ungkapan akan membuat satu
kesatuan yang kuat dalam mendeskripsikan sesuatu yang puitis. Mari kita simak
bait pertama dari puisi Gadisku (2) :
Hari
itu
di
rumah Tuhan
Aku
menikahimu, gadisku
dengan
maskawin
sebuah
puisi
yang
kutulis
dalam
mimpi
(Puisi
Gadisku 2)
Segera pembaca diberi sinyalemen oleh sang
penyair, kalau puisi ini begitu manis, romantik, dan terbuka. Kata-kata dalam
puisi-puisi Yuyun Wahyudin, hadir begitu saja, tanpa ada penanda-penanda yang
menganggu, hadir sebagai suatu pengalaman yang kongkret. Yuyun Wahyudin,
pertama-tama terpukau dengan kecantikan seorang gadis. Semua itu hadir dalam
sebentuk pengalaman riil. Jadi tak heran, pengalaman estetik cintanya, itu
membuat malaikat cemburu:
Sementara
Malaikat
cemburu
melihat
kemesraan
kita
(Puisi
Gadisku 2)
Lalu, aku
lirik berusaha menjelaskan dan mempertahankan kepastiannya dalam mencintai
sosok gadis tersebut:
Karena
Hari
itu
di
rumah Tuhan
aku
membisikan
cinta
padamu
(Puisi
Gadisku 2)
Sebagai pencinta yang sedang dimabuk anggur
cinta, dalam pandangan Yuyun Wahyudin hanya tertuju pada sosok gadis di
hatinya. Kehidupan selain sang gadis, tak menarik perhatiannya. Pikirannya
terpusat padanya. Ia berusaha mencari pencerahan di dalamnya. Walau kadang
jalan yang ditempuh sunyi dan sepi. Dingin dan hangat. Penuh sangsi sekaligus
rawan patah hati. Ia takut kalau ada yang mengambil ‘hak paten’ cintanya itu.
Tapi, Yuyun Wahyudin seperti sudah paham betul tentang hidup yang ia kembarai.
setelah sekian lama
tak
bersua
terpisah
jarak waktu
Di
gerbong itu
kita
berdiri
tanpa
mempedulikan
ribuan
pasang
mata
orang
yang
memandang
penuh
kecurigaan
seakan
mereka
mau merampas
dirimu
dariku
(Puisi Kereta 1)
Seekor
semut hitam
jatuh
di pangkuan
kerudungmu
telah
membuatku
cemburu:
“Awas jangan sentuh kasihku
jika tak ingin bermusuhan
sebab tak seorang pun
akan ku ijinkan
menyentuhnya
selain diriku
sendiri”
(Cemburu
2)
Tak sampai di sana, kegelisahan Yuyun Wahyudin
juga semakin menjadi-jadi. Agaknya, bagi beliau selain sosok gadis ‘puitis’
itu, ada lagi yang membuatnya terpukau. Untuk mencapai puncak spiritual yaitu
keagungan dari Yang Maha Akbar, Yuyun Wahyudin membuat satu jembatan yang kuat.
Ia coba menjalin satu kawat ruhani antara sosok gadisnya dan sosok Tuhan. Mari
kita renungkan salah satu puisinya yang berjudul Mabuk Cinta:
Nikmatilah kegilaanmu
segera
karena telah
menganggap cinta sebagai tuhan
hingga kau terbangun
dari kegilaan mimpimu
‘Kegilaan’ dalam sebahagian
dari diksi-diksi puisi para penyair sufi di masa lampau adalah bagian dari
keindahan abadi dalam menemukan sosok Yang Maha Akbar yang juga berimbas pada
sikap hidup para penyair yang sufi, yang nyentrik, zuhud sekaligus aneh. Rupa-rupanya Yuyun Wahyudin terkena
‘virus kegilaan’ pada satu sosok yang paling misterius di jagat raya ini. Diksi-diksi anggur, mabuk, melodi, akal,
tarian, malaikat, dawai, sayap-sayap, bertaburan dalam beberapa puisi-puisi
Yuyun Wahyudin yang mencoba memberikan ‘ruh’ pada puisinya untuk segera menjadi
ayat-ayat hasrat, untuk menyapa-Nya,
menyalami-Nya dan berikrar sebagai seorang hamba :
Cintaku
padamu
Cinta
langit pada bumi
Rinduku
padamu
Rindu
siang pada matahari
Hasratku
padamu
Hasrat
Majnun pada Laila
Kesetianku
padamu
Kesetian
Rama pada Sinta
Tangisanku
untukmu
Tangisan
embun pada melati
Nyanyianku
untukmu
Nyanyian
hidup dan mati
(Ikrar
Cinta)
Cijawurah, Bandung 25 Februari 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar