Bermula Dari Depok
Oleh Rendy Jean
Satria
![]() |
Antologi Puisi Bersama, Para Penyair Muda Depok, 2015 |
Bermainlah dengan
suasana kesunyian, kesepian dan sesekali bergabunglah dengan keriuhan kota.
Resapi kedatangan metafora-metafora yang mendadak datang seperti Wahyu dari
langit. Tapi sayangnya, sekitar 150 penyair dan puisi karya mereka yang masuk
ke meja saya untuk diseleksi banyak ambigunya ketimbang kejujurannya saat
menulis puisi dan alhasil tidak kesemua puisi itu harus masuk ke dalam antologi
Malam Puisi Depok. Hanya sekitar 48 puisi yang saya pilih dan Selvi untuk
dimasukkan dalam antologi bersama Malam Puisi Depok. 48 Puisi yang saya pilih
saya rasa cukup berpotensi untuk perkembangan jalan kepenyairan mereka
selanjutnya.
Saya selalu
terkesan dengan para penyair yang menulis puisinya dengan cinta, kejujuran dan
keiklasan, saya selalu mangap kalau melihat puisi yang semacam itu, semisalnya
saya beri contoh keindahan puisi yang jujur dan jernih dari penyair garda depan
era Romantik, Lord Byron "Dia
berjalan dengan indahnya, laksana malam. Di tengah udara jernih dan langit
bertabur bintang. Dan semua yang terbaik dari terang dan kelam. Berpadu dalam
sosok dan matanya;Sehingga berpendar lembut di cahaya temaram. Dan awan
menghalangi hari kerontang"(Dalam puisi Dia Berjalan Dengan Indahnya).
Penyair harus
bisa mengajak intuisinya, hatinya dan pikirannya, menciptakan satu kesatuan
puisi yang terjalin, antara tema maupun tubuh puisi itu sendiri. Alhasil, kita
akan melihat puisi yang berhasil, adalah puisi yang selalu akan diingat oleh
para pembacanya sampai kapanpun, dan sebaliknya puisi yang dengan gizi yang
buruk, tidak akan bertahan lama, ia akan ditelan waktu. Dan selanjutnya tak
pernah ada.
48 puisi hasil
seleksi yang saya pilih dengan Selvi, untuk antologi buku Malam Puisi Depok,
masing-masing mempunyai karakternya masing-masing, walaupun di antaranya masih
kesulitan dalam menjaga rima, diksi, metrum, ketukan atau bunyi. Dan yang
terpenting dari itu, mereka yang telah terpilih mempunyai semangat yang luar
biasa untuk menghasilkan puisi, ini yang membuat saya terkesan, karena
kebanyakan dari mereka hidup di kota serius seperti Jakarta, Depok, Bekasi, dan
Bogor sebagian dari penyair tersebut ada yang bekerja di kantor swasta, menjadi
ibu rumah tangga, karyawan, bisnismen, buruh, dan guru. Di tengah kesibukan
mereka, mereka masih menulis puisi. Ini sangat dasyat dan luar biasa. Puisi
hidup di tengah-tengah aktifitas mereka yang padat.
***
Saya mengamati
dengan serius, puisi-puisi yang masuk dan yang terpilih, dengan maksimal. Dan
beberapa di antara penyair yang terpilih sebagiannya akan saya bahas di catatan
pengantar ini. Puisi pertama berjudul "Kotak"
karya Novia Nathania,adalah salah satu puisi yang menarik hati saya,
kalimat-kalimatnya jernih dan mengalir. Kata-kata dibiarkan menemukan ujungnya dan
Novia, berhasil menjaga rima puisi ini tetap stabil dan bermakna. Sebagai
contoh berikut cuplikan puisinya yang berjudul Kotak "Sebuah kotak biru
tertinggal di depan pintu. Gadis kecil bertopi jingga lewat mengadu.
Siapa? Siapa yang membawanya? Apa malaikat bersayap hitam?
Apa setan bertongkat emas?..............."
Lain halnya dengan
Novia, Diyan Lestari dengan judul puisinya "Malam di Kopi Bar"mencoba menghadirkan suasana sang Aku lirik di
tengah-tengah kesunyiannya di sebuah kafe, menciptakan letupan-letupan dramatis
di dalam bait-bait puisinya, "Kusentuh pipimu yang merah ranum dengan
belati. Puisimu tersedu-sedu di kafe ini lalu kugantungkan cahaya. Malam
merambat jadi jalan-jalan panjang, tak berpeta, tak bertujuan, tak tentu arah"
Sang
Aku lirik, dibiarkan melebur dengan kesepiannya yang merajalela, dan tentu saja
sang Aku lirik menjelaskan dengan jernih apa yang terjadi pada akhirnya " Waktuku
mungkin sudah habis, menggenggam jarimu kelak" Diyan Lestari pada puisinya tersebut, bermain
visual suasana, yang acap kali dilakukan oleh para penyair-penyair liris
terdahulu. Puisi ini cukup mengesankan. Saya sarankan untuk Diyan Lestari,
membaca karya-karya puisi dari penyair perempuan Elizabeth Bishop (Amerika) dan
puisi-puisi indah dari Anna Akhmatova (Rusia).
Kekuatan judul pada sebuah puisi juga bisa menarik
hati pembaca, judul yang sedikit berbau prosais dengan judul panjang-panjang
juga terlihat pada puisi Andri K Wahab, berjudul " Malam ini Betapa Ombak
Melaut Di dadaku" dan "Tiap Sore Hujan
Turun di Kotamu Memakai Baju Baru" puisi Andri K Wahab, sebenarnya
biasa-biasa saja. Karena Andri bisa menjaga ketenangan dalam menjaga
keseimbangan antar bait, puisi ini berhasil diloloskan.
Selanjutnya, ada puisi berjudul "Tujuh Rima"
dari Rara Iswayudi, penyair perempuan
asal Depok yang masih sangat muda ini berhasil membuat saya terkesan pada
puisinya. Puisi Tujuh Rima, menggunakan jenis tipograf puisi memanjang ke
bawah, tipograf seperti yang dituliskan oleh Rara Iswayudi, pernah dilakukan
oleh penyair W. S Rendra dalam
puisi-puisinya yang berjudul, Rumah Andreas, Doa Orang Lapar, dan Amsal
Seorang Santu, dengan menyebut beberapa puisi. Tipograf memanjang kebawah, tanpa ada jeda
ditengah-tengahnya harus dilakukan dengan jeli dalam memainkan kata-kata,
memainkan isi naratif pada puisinya agar cerita menjadi mengalir. Rara saya
kira cukup berhasil memoleskan kejeliannya untuk menghasilkan sebuah puisi yang
syahdu ini. Puisi berjudul
"Cie" dari Alra Ramadhan dan puisi
berjudul "Nasi Goreng" dari Sarah CH dan juga puisi berjudul
"Pasar Minggu Itu Kamu" karya Andy juga melakukan hal yang sama, dan
menciptakan kesan dalam puisi mereka
dengan cara naratif.
Di samping banyaknya penyair dalam buku ini yang
menuliskan tema-tema rindu, cinta yang bertepuk sebelah tangan, kehilangan
identitas, kesunyian dan juga pencarian diri. Ada beberapa puisi yang menurut
saya agak berbeda dan berani dalam mengeksplor bahasanya menjadi telanjang,
cuek dan tajam ini terdapat dalam puisi berjudul "Kembung Buntung
Bingung" karya Rahmi Budiyanti, penyair perempuan yang enerjik ini menuliskan kalimat-kalimatnya dengan
sangat obsesif erotisme yang meluap-luap
seperti dalam cuplikan puisinya ini "Tersisa raga yang haus ketelanjangan, menikmati satu yang menjepit
selangkangan. Main tindih-tindihan. Main kuda-kudaan. Main anjing-anjingan"
Puisi ini cukup menarik, karena satu ditulis
oleh perempuan dan kedua ia menulis dengan kejujuran, tanpa muluk-muluk, tanpa
simbol-simbol yang gelap. Saya cukup menaruh harapan untuk Rahmi Budiyanti di
masa depan, untuk lanjut dalam menulis puisi dan saya sarankan untuknya agar
membaca karya penyair Perempuan dunia seperti
karya-karya Sylvia Plath atau penyair perempuan legendaris asal Yunani,
yaitu Sappho.
***
Dalam kasus perpuisian dunia, yang paling
membingungkan para pembaca atau peneliti adalah ketidakjelasan seorang penyair
dalam memainkan simbol-simbol yang ambigu dan tak tentu makna di dalam
karya-karya puisi, yang acap kali sering meruntuhkan estetika yang sudah
dibangun sedemikian rupa. Puisi berjudul "Tengku Birahi" karya Salman
Alkatiri, saya kira hampir terjatuh dalam kerangka yang saya katakan di atas.
Salman seperti ingin mengungkapkan sesuatu tapi tak sampai-sampai, karena ia
terlalu banyak bermain simbol-simbol yang Salman sendiri kebingungan coba kita simak-simak cuplikan puisinya
tersebut "Aku mendengar
akar pohon kehidupan berteriak-teriak dari balik punggung sang durjana.
berontak ingin meludahi saripati tanah yang begitu menggoda. Aku mengecap
naluri ketaksaan dari sayap-sayap malaikat
malang" kata akar,
punggung, durjana, sayap-sayap, malaikat menjadi terkesan dipaksakan dan di
kalimat selanjutnya Salman, bukannya bertobat malah kedodoran.
Saya memberikan apresiasi untuk puisi "Tengku Birahi" karena Salman seperti berusaha betul, memainkan simbol-simbol dalam puisinya. Sama halnya dengan Salman, puisi dari Muhammad Ridwan berjudul "Perjalanan Sunyi", dan puisi dari "Sejawat Yang Kandas” karya Rena Kharisman juga melakukan hal serupa. Cerewet dalam bermain simbol-simbol. Coba dech, untuk Salman, Ridwan dan Rena saya sarankan untuk membaca puisi-puisi simbolik dari penyair asal Perancis, yaitu Charles Baudelaire. Karena dalam sejarah perpuisian simbolik yang dipimpin oleh Arthur Rimbaud pada paruh pertama abad 20, seperti yang diungkapkan Grimferrer , puisi simbolik muncul sebagai pencarian murni yang estetik.
Selanjutnya
saya mencoba berenang ke lautan imajinasi puisi-puisi dari Santy Ruby
"Kita", Alra Ramadhan "Ditelepon Tak diangkat-angkat", Imam
Permana "Sebatang Lagi" dan Ivanasha
Adani Prasetianti "Perlahan" puisi mereka tersebut sangat
syahdu dan sedikit mengejutkan, karena kalimat-kalimatnya yang orisinil dan
saat membaca puisi tersebut saya tidak seperti diteror seperti puisi Salman,
Ridwan, dan Rena di atas.
Saya menikmati
puisi mereka, misalnya pada puisi Shanty Ruby ada satu cuplikan puisi yang
berbunyi seperti ini " Aku, si ceroboh yang suka lupa meletakan kata,
berceceran di sekitar kakimu, berguguran menempel di rambutmu dan itu jadi
alasanku melingkarimu dengan lengan" puisi dari Shanty Ruby ini saya
kira cukup berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut oleh Shanty Ruby. Ini puisi
yang saya kira menarik. Suasana terbangun, metafora terjaga dan kegelisahan
sang penyair juga digambarkan dengan jelas.
Puisi Ivanasha
Adani Prasetianti juga cukup melukiskan suasana cinta yang begitu hangat, jelas
dan greget seperti dalam cuplikan puisinya ini, "Rindu, jatuhkanlah
gerimis pada mataku daripada kau gigilkan aku, kian hebat, ketika aku, tak juga
sampai pada lenggannya" jelas dan padat. Saya deg-degan membacanya.
Tiba-tiba di
saat saya sedang membaca karya Shanty, Alra, Imam, dan Ivanasha itu, saya
kedatangan satu puisi berjenis klasik, puisi ini berjudul "Cermin
Mati" karya Mamaw, jujur saya suka puisi Mamaw ini. Pertama jenis puisi
ini harus benar-benar konsentrasi saat menulisnya. Karena kekuatannya pada
unsur bunyi dan metrum, lalu yang kedua dari 150 puisi yang ngirim ke saya,
hanya puisi Mamaw yang berbeda karakter dari puisi-puisi yang masuk.
Jenis puisi
Mamaw, adalah salah satu bentuk jenis puisi pada era zaman Pujangga Baru, jenis
puisi yang trend pada tahun 1930 s/d 1940 era dimana penyair Indonesia Amir
Hamzah menghasilkan puisi merdunya berjudul "Buah Rindu" dan
"Nyanyi Sunyi", era dimana Penyair Sanusi Pane menghasilkan puisi
syahdunya berjudul "Puspa Mega" dan "Madah Kelana". Mari
kita simak cuplikan puisi "Cermin Mati" karya Mamaw.
.............................................
hinalah raga disadur
malam,
gelap gulita larut dalam kelam,
terombang ambing riuh kepala,
jiwa terjaga bernyala-nyala,
tak ada hamba yang murni,
pada dunia berlumpur tirani,
nyali menjadi bisa,
tubuh terlelap lupa rasa,
.........................................
gelap gulita larut dalam kelam,
terombang ambing riuh kepala,
jiwa terjaga bernyala-nyala,
tak ada hamba yang murni,
pada dunia berlumpur tirani,
nyali menjadi bisa,
tubuh terlelap lupa rasa,
.........................................
Di saat sedang asyik-asyiknya membaca puisi Mamaw, tiba-tiba saya
bertemu satu puisi yang membuat saya greget, yaitu puisi berjudul
"Hujan" karya YudithTri Susetio, puisi ini, bisa saya katakan puisi
berjenis ganda, bercampur aduk, bertipograf prosais, dalam hati saya
bertanya-tanya, si penyair ini, agak cerewet dalam melukiskan suasana puisinya. Pembentukan
Tiprografnya juga kurang menarik, unsur puitiknya menjadi cair dan apa adanya.
Tapi kekuatan puisi Yudith Tri Susetio, terletak pada nafas puisinya yang
panjang seperti seorang pelari yang tak kenal istirahat. "Kata maaf yang sejatinya sakti sudah
tak lagi mengobati luka di hati. Kata cinta yang sejatinya hangat sudah tidak
lagi menghangatkan. Alih-alih mencairkan.
Ooh, hati mereka yang sama-sama kosong.
Menunggu diisi hujan.
Hujan kurang ajar" .
***
'
'Sedemikian
susah menulis puisi tentang kerinduan yang benar-benar melukiskan rindu pada
satu tujuan, satu harapan. Bisa-bisa tercebur pada kalimat -kalimat yang miskin
makna", ujar Penyair kenamaan dari United Kingdom, Alfred Tennyson. Tapi
sepanjang pengamatan saya, ada juga satu dua buah puisi yang menurut pengamatan
saya berhasil dalam melukiskan kerinduan yang sebenarnya, rindu menggebu-ngebu dan tidak basi.
Puisi karya
Rivai Hamzah, berjudul "Rindu, Masih Salahmu" citraan-citraan diksi
terjaga dalam rancang bangun suasana, begini bunyi puisinya " Mencintaimu membutuhkan ketabahan, seperti pohon-pohon yang pasrah
ditebas tukang kayu. Dibuatnya batang pohon
menjadi apa saja; rumah, puisi serta rindu. Aku ialah pohon di halaman
rindumu "
Dan juga
terlihat jelas pada puisi Azizah
"Ditubuhmu, Aku Berlindung" Di tubuhmu aku berlindung. Di matamu
aku terjatuh. Di bibirmu aku berlabuh. Semua itu karena perkara rindu. Yang tak
pernah hilang darimu." dan
diselesaikan dengan baik oleh puisi "Trilogi Kasih Sepanjang Hari"
karya Imamoko dengan cuplikan puisinya yang manis " Berbincang
denganmu, Kekasih. Seperti air mengalir menuruni dedaunan. Bersenda gurau denganmu, Kekasih seperti semilir angin membuat ilalang menari" Di dalam puisi Rivai, Azizah dan Imamoko tidak ada hal yang
dibuat-buat, mereka seperti menulis dengan hati dan pikiran yang terjaga.
Mungkin.
Saya ingin
katakan puisi yang bagus, adalah puisi yang benar-benar kita alami dan kita
rasakan suasananya. Agar puisi tersebut bisa hidup dan bernyawa. Ini saya
rasakan terlihat pada puisi liris berjudul "Kisah Sepi di Stasiun
Tugu" karya Astrajingga, saat membaca puisi karya Astra, saya bisa
merasakan suasana visual yang dilukiskan oleh Astra, puisi ini menjadi hidup
karena Astra menuliskannya sebagai berikut
"Sederetan bangku peron Stasiun Tugu
pasrah menyandarkan rindu dari lelah tunggu.
"kita mau kemana?" tanya tiket di balik jaket.
"terserah laju kereta saja." jawabku sekenanya,
pasrah menyandarkan rindu dari lelah tunggu.
"kita mau kemana?" tanya tiket di balik jaket.
"terserah laju kereta saja." jawabku sekenanya,
sambil merogoh sabar di saku kemeja."
Puisi karya Astra
menjadi hidup karena saat menuliskan
puisi ini tubuh Astra menyatu pada suasana stasiun Tugu. Ia betul-betul
merasakan kesepian yang mencekam di sebuah kota yang jauh dari rumah
asalnya. Hal ini juga saya rasakan
engahnya pada puisi berjudul "Di bawah Langit Malam Jakarta" karya
Gilang. Berbeda dengan Astrajingga yang kesepian di sebuah kota yang jauh.
Puisi Al-Muhtadi
berjudul "Hening pada Tanah yang Terluka" adalah kegelisahan Al-Muhtadi.
Al-Muhtadi merasakan dengan batinnya,
peperangan yang terjadi di Palestina saat para pasukan Muslim melawan kebengisan
zionis-zionis Israel. Puisi ini, puisi kontekstual,
berbicara tentang kekinian yang masih berlaku secara historis sampai
kapanpun. Al-Muhtadi melihat dengan
kacamata puisinya, tentang sebuah pembantaian, pembunuhan, dan peperangan di
Palestina, dengan kepekaannya sebagai penyair. Ia tidak menuliskan tentang
rindu, atau bersunyi-sunyi ria, tapi ia mencoba merasakan apa yang penduduk
Palestina rasakan. Al-Muhtadi berucap dalam cuplikan puisinya sebagai berikut" Batu-batu
melayang di udara, di atas tanah, di atas perih, di atas segala merah yang memutih".
Dengan kepekaan
intuisinya Al-Muhtadi melihat peperangan di Palestina sebagai apa yang ia
tuliskan " Walau
mungkin Bumi terlalu sempit bagi lapangnya dada kami. Biarlah dari surga kan menetes air yang menyejukkan duka kami" Karena Al-Muhtadi
sepertinya tertarik dengan apa yang terjadi di Palestina. Saya sarankan untuk
Al-Muhtadi membaca karya-karya puisi kenamaan dari Syria, yaitu Nizar
Qabbani. Karakter puisi Nizar Qabbani, sangat indah sekaligus murung dalam menceritakan
tentang Yerusalem lewat karyanya, mari sedikit kita simak cuplikan puisi
penyair Syria, Nizar Qabbani " Aku bertanya
tentang Muhammad dan Kristus Oh Yerusalem, aroma nabi. Jalur terpendek antara
bumi dan langit. Oh Yerusalem, benteng hukum. Seorang anak yang indah dengan
jari hangus dan mata putus asa" (dalam puisi berjudul Yerusalem). Wow. Walaupun penyair Al-Muhtadi bertubuh kekar, berambut cepak, sering nge-gym dan terlihat maskulin. Tapi sesungguhnya, hatinya sangat melankolis.
Sebelum menutup
catatan pengantar singkat ini, saya ingin katakan untuk para penggagas Malam
Puisi Depok, ini sesuatu yang indah dan puitis, menciptakan buku puisi di kota
kita sendiri. Menghadirkan suasana hangat puisi di antara deretan mall-mall,
supermarket, restoran, kafe dan toko elektronik yang berjubel tanpa ampun dan
puisi hadir di celah-celah bangunan yang kokoh itu. Setidaknya, puisi sampai
kapanpun dan dimana pun tetap terus dibaca, didiskusikan dan diamalkan. Dan
sekali lagi selamat kepada mereka yang terpilih. Selamat hidup di dalam
puisi-puisimu dan sebagai penutup, saya akan akhiri dengan puisi menjelang
tidur, satu judul puisi indah dari penyair favorit saya dari Skotlandia, Robert Burns (1759-1796)
A Red, Red Rose
O my Luve's like
the melodie
That's sweetly
play'd in tune.
As fair art thou,
my bonnie lass,
So deep in luve
am I:
And I will luve
thee still, my dear,
Till a' the seas
gang dry:
Till a' the seas
gang dry, my dear,
And the rocks
melt wi' the sun:
I will luve thee
still, my dear,
While the sands
o' life shall run.
And fare thee
well, my only Luve
And fare thee
well, a while!
And I will come
again, my Luve,
Tho' it were ten
thousand mile.
Salam hangat!
Cimanggis, Depok
19 Januari 2015
Malam Hari, 00.56 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar