Senin, 06 November 2017

Kata Pengantar Untuk Para Penyair Muda Depok


Bermula Dari Depok


Oleh Rendy Jean Satria

Antologi Puisi Bersama, Para Penyair Muda Depok, 2015
Saat saya sedang menulis catatan pengantar ini, yang saya bayangkan adalah puisi-puisi mereka yang masuk dalam antologi buku Malam Puisi Depok tersebut, dikemudian hari terus berkembang dan berani dalam mengekplorasi bahasa. Berani dalam memainkan metafor, dan bisa menjaga ketukan-ketukan nada di dalam puisi-puisi mereka selanjutnya. Menambah bahan referensi buku puisi yang berkualitas dan tidak serta merta menulis puisi yang terkesan asal, dan begitu adanya. Puisi harus diresapi kehadirannya, keheningannya, kegelisahannya, dan kejujurannya. Kejujuran dalam menulis puisi, adalah hak mutlak bagi seorang penyair muda, khususnya para penyair yang masuk dalam antologi Malam Puisi Depok ini. Tulislah sesuatu dengan jujur, tak muluk-muluk, tak cerewet dan ambigu.

Bermainlah dengan suasana kesunyian, kesepian dan sesekali bergabunglah dengan keriuhan kota. Resapi kedatangan metafora-metafora yang mendadak datang seperti Wahyu dari langit. Tapi sayangnya, sekitar 150 penyair dan puisi karya mereka yang masuk ke meja saya untuk diseleksi banyak ambigunya ketimbang kejujurannya saat menulis puisi dan alhasil tidak kesemua puisi itu harus masuk ke dalam antologi Malam Puisi Depok. Hanya sekitar 48 puisi yang saya pilih dan Selvi untuk dimasukkan dalam antologi bersama Malam Puisi Depok. 48 Puisi yang saya pilih saya rasa cukup berpotensi untuk perkembangan jalan kepenyairan mereka selanjutnya.

Saya selalu terkesan dengan para penyair yang menulis puisinya dengan cinta, kejujuran dan keiklasan, saya selalu mangap kalau melihat puisi yang semacam itu, semisalnya saya beri contoh keindahan puisi yang jujur dan jernih dari penyair garda depan era Romantik, Lord Byron  "Dia berjalan dengan indahnya, laksana malam. Di tengah udara jernih dan langit bertabur bintang. Dan semua yang terbaik dari terang dan kelam. Berpadu dalam sosok dan matanya;Sehingga berpendar lembut di cahaya temaram. Dan awan menghalangi hari kerontang"(Dalam puisi Dia Berjalan Dengan Indahnya).

Penyair harus bisa mengajak intuisinya, hatinya dan pikirannya, menciptakan satu kesatuan puisi yang terjalin, antara tema maupun tubuh puisi itu sendiri. Alhasil, kita akan melihat puisi yang berhasil, adalah puisi yang selalu akan diingat oleh para pembacanya sampai kapanpun, dan sebaliknya puisi yang dengan gizi yang buruk, tidak akan bertahan lama, ia akan ditelan waktu. Dan selanjutnya tak pernah ada.


48 puisi hasil seleksi yang saya pilih dengan Selvi, untuk antologi buku Malam Puisi Depok, masing-masing mempunyai karakternya masing-masing, walaupun di antaranya masih kesulitan dalam menjaga rima, diksi, metrum, ketukan atau bunyi. Dan yang terpenting dari itu, mereka yang telah terpilih mempunyai semangat yang luar biasa untuk menghasilkan puisi, ini yang membuat saya terkesan, karena kebanyakan dari mereka hidup di kota serius seperti Jakarta, Depok, Bekasi, dan Bogor sebagian dari penyair tersebut ada yang bekerja di kantor swasta, menjadi ibu rumah tangga, karyawan, bisnismen, buruh, dan guru. Di tengah kesibukan mereka, mereka masih menulis puisi. Ini sangat dasyat dan luar biasa. Puisi hidup di tengah-tengah aktifitas mereka yang padat.

***

Saya mengamati dengan serius, puisi-puisi yang masuk dan yang terpilih, dengan maksimal. Dan beberapa di antara penyair yang terpilih sebagiannya akan saya bahas di catatan pengantar ini.  Puisi pertama berjudul "Kotak" karya Novia Nathania,adalah salah satu puisi yang menarik hati saya, kalimat-kalimatnya jernih dan mengalir. Kata-kata dibiarkan menemukan ujungnya dan Novia, berhasil menjaga rima puisi ini tetap stabil dan bermakna. Sebagai contoh berikut cuplikan puisinya yang berjudul Kotak "Sebuah kotak biru tertinggal di depan pintu. Gadis kecil bertopi jingga lewat mengadu. Siapa? Siapa yang membawanya? Apa malaikat bersayap hitam? Apa setan bertongkat emas?..............."

Lain halnya dengan Novia, Diyan Lestari dengan judul puisinya "Malam di Kopi Bar"mencoba menghadirkan suasana sang Aku lirik di tengah-tengah kesunyiannya di sebuah kafe, menciptakan letupan-letupan dramatis di dalam bait-bait puisinya, "Kusentuh pipimu yang merah ranum dengan belati. Puisimu tersedu-sedu di kafe ini lalu kugantungkan cahaya. Malam merambat jadi jalan-jalan panjang, tak berpeta, tak bertujuan, tak tentu arah" Sang Aku lirik, dibiarkan melebur dengan kesepiannya yang merajalela, dan tentu saja sang Aku lirik menjelaskan dengan jernih apa yang terjadi pada akhirnya  " Waktuku mungkin sudah habis, menggenggam jarimu kelak"  Diyan Lestari pada puisinya tersebut, bermain visual suasana, yang acap kali dilakukan oleh para penyair-penyair liris terdahulu. Puisi ini cukup mengesankan. Saya sarankan untuk Diyan Lestari, membaca karya-karya puisi dari penyair perempuan Elizabeth Bishop (Amerika) dan puisi-puisi indah dari Anna Akhmatova (Rusia).

Kekuatan judul pada sebuah puisi juga bisa menarik hati pembaca, judul yang sedikit berbau prosais dengan judul panjang-panjang juga terlihat pada puisi Andri K Wahab, berjudul " Malam ini Betapa Ombak Melaut Di dadaku" dan "Tiap Sore Hujan Turun di Kotamu Memakai Baju Baru" puisi Andri K Wahab, sebenarnya biasa-biasa saja. Karena Andri bisa menjaga ketenangan dalam menjaga keseimbangan antar bait, puisi ini berhasil diloloskan.

Selanjutnya, ada puisi berjudul "Tujuh Rima" dari  Rara Iswayudi, penyair perempuan asal Depok yang masih sangat muda ini berhasil membuat saya terkesan pada puisinya. Puisi Tujuh Rima, menggunakan jenis tipograf puisi memanjang ke bawah, tipograf seperti yang dituliskan oleh Rara Iswayudi, pernah dilakukan oleh penyair  W. S Rendra dalam puisi-puisinya yang berjudul, Rumah Andreas, Doa Orang Lapar, dan Amsal Seorang Santu, dengan menyebut beberapa puisi.  Tipograf memanjang kebawah, tanpa ada jeda ditengah-tengahnya harus dilakukan dengan jeli dalam memainkan kata-kata, memainkan isi naratif pada puisinya agar cerita menjadi mengalir. Rara saya kira cukup berhasil memoleskan kejeliannya untuk menghasilkan sebuah puisi yang syahdu ini.  Puisi berjudul "Cie" dari Alra Ramadhan  dan puisi berjudul "Nasi Goreng" dari Sarah CH dan juga puisi berjudul "Pasar Minggu Itu Kamu" karya Andy juga melakukan hal yang sama, dan menciptakan kesan dalam  puisi mereka dengan cara naratif.

Di samping banyaknya penyair dalam buku ini yang menuliskan tema-tema rindu, cinta yang bertepuk sebelah tangan, kehilangan identitas, kesunyian dan juga pencarian diri. Ada beberapa puisi yang menurut saya agak berbeda dan berani dalam mengeksplor bahasanya menjadi telanjang, cuek dan tajam ini terdapat dalam puisi berjudul "Kembung Buntung Bingung" karya Rahmi Budiyanti, penyair perempuan yang enerjik  ini menuliskan kalimat-kalimatnya dengan sangat obsesif erotisme  yang meluap-luap seperti dalam cuplikan puisinya ini "Tersisa raga yang haus ketelanjangan, menikmati satu yang menjepit selangkangan. Main tindih-tindihan. Main kuda-kudaan. Main anjing-anjingan"  Puisi ini cukup menarik, karena satu ditulis oleh perempuan dan kedua ia menulis dengan kejujuran, tanpa muluk-muluk, tanpa simbol-simbol yang gelap. Saya cukup menaruh harapan untuk Rahmi Budiyanti di masa depan, untuk lanjut dalam menulis puisi dan saya sarankan untuknya agar membaca karya penyair Perempuan dunia seperti  karya-karya Sylvia Plath atau penyair perempuan legendaris asal Yunani, yaitu Sappho.

***

Dalam kasus perpuisian dunia, yang paling membingungkan para pembaca atau peneliti adalah ketidakjelasan seorang penyair dalam memainkan simbol-simbol yang ambigu dan tak tentu makna di dalam karya-karya puisi, yang acap kali sering meruntuhkan estetika yang sudah dibangun sedemikian rupa. Puisi berjudul "Tengku Birahi" karya Salman Alkatiri, saya kira hampir terjatuh dalam kerangka yang saya katakan di atas. Salman seperti ingin mengungkapkan sesuatu tapi tak sampai-sampai, karena ia terlalu banyak bermain simbol-simbol yang Salman sendiri kebingungan  coba kita simak-simak cuplikan puisinya tersebut "Aku mendengar akar pohon kehidupan berteriak-teriak dari balik punggung sang durjana. berontak ingin meludahi saripati tanah yang begitu menggoda. Aku mengecap naluri ketaksaan dari sayap-sayap malaikat malang" kata akar, punggung, durjana, sayap-sayap, malaikat menjadi terkesan dipaksakan dan di kalimat selanjutnya Salman, bukannya bertobat malah kedodoran.

Saya memberikan apresiasi untuk puisi "Tengku Birahi" karena Salman seperti berusaha betul, memainkan simbol-simbol dalam puisinya. Sama halnya dengan Salman, puisi dari Muhammad Ridwan berjudul "Perjalanan Sunyi", dan puisi dari "Sejawat Yang Kandas” karya Rena Kharisman juga melakukan hal serupa. Cerewet dalam bermain simbol-simbol. Coba dech, untuk Salman, Ridwan dan Rena saya sarankan untuk membaca puisi-puisi simbolik dari penyair asal Perancis, yaitu Charles Baudelaire. Karena dalam sejarah perpuisian simbolik yang dipimpin oleh Arthur Rimbaud pada paruh pertama abad 20, seperti yang diungkapkan Grimferrer , puisi simbolik muncul sebagai pencarian murni yang estetik.

Selanjutnya saya mencoba berenang ke lautan imajinasi puisi-puisi dari Santy Ruby "Kita", Alra Ramadhan "Ditelepon Tak diangkat-angkat", Imam Permana "Sebatang Lagi" dan Ivanasha Adani Prasetianti "Perlahan" puisi mereka tersebut sangat syahdu dan sedikit mengejutkan, karena kalimat-kalimatnya yang orisinil dan saat membaca puisi tersebut saya tidak seperti diteror seperti puisi Salman, Ridwan, dan Rena  di atas.

Saya menikmati puisi mereka, misalnya pada puisi Shanty Ruby ada satu cuplikan puisi yang berbunyi seperti ini " Aku, si ceroboh yang suka lupa meletakan kata, berceceran di sekitar kakimu, berguguran menempel di rambutmu dan itu jadi alasanku melingkarimu dengan lengan" puisi dari Shanty Ruby ini saya kira cukup berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut oleh Shanty Ruby. Ini puisi yang saya kira menarik. Suasana terbangun, metafora terjaga dan kegelisahan sang penyair juga digambarkan dengan jelas.

Puisi Ivanasha Adani Prasetianti juga cukup melukiskan suasana cinta yang begitu hangat, jelas dan greget seperti dalam cuplikan puisinya ini, "Rindu, jatuhkanlah gerimis pada mataku daripada kau gigilkan aku, kian hebat, ketika aku, tak juga sampai pada lenggannya" jelas dan padat. Saya deg-degan membacanya. 

Tiba-tiba di saat saya sedang membaca karya Shanty, Alra, Imam, dan Ivanasha itu, saya kedatangan satu puisi berjenis klasik, puisi ini berjudul "Cermin Mati" karya Mamaw, jujur saya suka puisi Mamaw ini. Pertama jenis puisi ini harus benar-benar konsentrasi saat menulisnya. Karena kekuatannya pada unsur bunyi dan metrum, lalu yang kedua dari 150 puisi yang ngirim ke saya, hanya puisi Mamaw yang berbeda karakter dari puisi-puisi yang masuk.

Jenis puisi Mamaw, adalah salah satu bentuk jenis puisi pada era zaman Pujangga Baru, jenis puisi yang trend pada tahun 1930 s/d 1940 era dimana penyair Indonesia Amir Hamzah menghasilkan puisi merdunya berjudul "Buah Rindu" dan "Nyanyi Sunyi", era dimana Penyair Sanusi Pane menghasilkan puisi syahdunya berjudul "Puspa Mega" dan "Madah Kelana". Mari kita simak cuplikan puisi "Cermin Mati" karya Mamaw.
.............................................
hinalah raga disadur malam,
gelap gulita larut dalam kelam,
terombang ambing riuh kepala,
jiwa terjaga bernyala-nyala,

tak ada hamba yang murni,
pada dunia berlumpur tirani,
nyali menjadi bisa,
tubuh terlelap lupa rasa,

.........................................

Di saat sedang asyik-asyiknya membaca puisi Mamaw, tiba-tiba saya bertemu satu puisi yang membuat saya greget, yaitu puisi berjudul "Hujan" karya YudithTri Susetio, puisi ini, bisa saya katakan puisi berjenis ganda, bercampur aduk, bertipograf prosais, dalam hati saya bertanya-tanya, si penyair ini, agak cerewet dalam melukiskan suasana puisinya. Pembentukan Tiprografnya juga kurang menarik, unsur puitiknya menjadi cair dan apa adanya. Tapi kekuatan puisi Yudith Tri Susetio, terletak pada nafas puisinya yang panjang seperti seorang pelari yang tak kenal istirahat.  "Kata maaf yang sejatinya sakti sudah tak lagi mengobati luka di hati. Kata cinta yang sejatinya hangat sudah tidak lagi menghangatkan. Alih-alih mencairkan.

Ooh, hati mereka yang sama-sama kosong.
Menunggu diisi hujan.
Hujan kurang ajar" .

        
***
            '
'Sedemikian susah menulis puisi tentang kerinduan yang benar-benar melukiskan rindu pada satu tujuan, satu harapan. Bisa-bisa tercebur pada kalimat -kalimat yang miskin makna", ujar Penyair kenamaan dari United Kingdom, Alfred Tennyson. Tapi sepanjang pengamatan saya, ada juga satu dua buah puisi yang menurut pengamatan saya berhasil dalam melukiskan kerinduan yang sebenarnya, rindu  menggebu-ngebu dan tidak basi.

Puisi karya Rivai Hamzah, berjudul "Rindu, Masih Salahmu" citraan-citraan diksi terjaga dalam rancang bangun suasana, begini bunyi puisinya " Mencintaimu membutuhkan ketabahan, seperti pohon-pohon yang pasrah ditebas tukang kayu. Dibuatnya batang pohon  menjadi apa saja; rumah, puisi serta rindu. Aku ialah pohon di halaman rindumu "

Dan juga terlihat jelas pada  puisi Azizah "Ditubuhmu, Aku Berlindung" Di tubuhmu aku berlindung. Di matamu aku terjatuh. Di bibirmu aku berlabuh. Semua itu karena perkara rindu. Yang tak pernah hilang darimu."  dan diselesaikan dengan baik oleh puisi "Trilogi Kasih Sepanjang Hari" karya Imamoko dengan cuplikan puisinya yang manis " Berbincang denganmu, Kekasih. Seperti air mengalir menuruni dedaunan. Bersenda gurau denganmu, Kekasih seperti semilir angin  membuat ilalang menari" Di dalam puisi Rivai, Azizah dan Imamoko tidak ada hal yang dibuat-buat, mereka seperti menulis dengan hati dan pikiran yang terjaga. Mungkin.

Saya ingin katakan puisi yang bagus, adalah puisi yang benar-benar kita alami dan kita rasakan suasananya. Agar puisi tersebut bisa hidup dan bernyawa. Ini saya rasakan terlihat pada puisi liris berjudul "Kisah Sepi di Stasiun Tugu" karya Astrajingga, saat membaca puisi karya Astra, saya bisa merasakan suasana visual yang dilukiskan oleh Astra, puisi ini menjadi hidup karena Astra menuliskannya sebagai berikut

"Sederetan bangku peron Stasiun Tugu
pasrah menyandarkan rindu dari lelah tunggu.
"kita mau kemana?" tanya tiket di balik jaket.
"terserah laju kereta saja." jawabku sekenanya,
sambil merogoh sabar di saku kemeja."

Puisi karya Astra menjadi hidup  karena saat menuliskan puisi ini tubuh Astra menyatu pada suasana stasiun Tugu. Ia betul-betul merasakan kesepian yang mencekam di sebuah kota yang jauh dari rumah asalnya.  Hal ini juga saya rasakan engahnya pada puisi berjudul "Di bawah Langit Malam Jakarta" karya Gilang. Berbeda dengan Astrajingga yang kesepian di sebuah kota yang jauh.

Puisi Al-Muhtadi berjudul "Hening pada Tanah yang Terluka" adalah kegelisahan Al-Muhtadi. Al-Muhtadi merasakan dengan batinnya,  peperangan yang terjadi di Palestina saat para pasukan Muslim melawan kebengisan zionis-zionis Israel.  Puisi ini, puisi kontekstual, berbicara tentang kekinian yang masih berlaku secara historis sampai kapanpun.  Al-Muhtadi melihat dengan kacamata puisinya, tentang sebuah pembantaian, pembunuhan, dan peperangan di Palestina, dengan kepekaannya sebagai penyair. Ia tidak menuliskan tentang rindu, atau bersunyi-sunyi ria, tapi ia mencoba merasakan apa yang penduduk Palestina rasakan. Al-Muhtadi berucap dalam cuplikan puisinya sebagai berikut" Batu-batu melayang di udara, di atas tanah, di atas perih, di atas segala merah yang memutih".

Dengan kepekaan intuisinya Al-Muhtadi melihat peperangan di Palestina sebagai apa yang ia tuliskan " Walau mungkin Bumi terlalu sempit bagi lapangnya dada kami. Biarlah dari surga kan menetes air yang menyejukkan duka kami" Karena Al-Muhtadi sepertinya tertarik dengan apa yang terjadi di Palestina. Saya sarankan untuk Al-Muhtadi membaca karya-karya puisi kenamaan dari Syria, yaitu Nizar Qabbani. Karakter puisi Nizar Qabbani, sangat indah sekaligus murung dalam menceritakan tentang Yerusalem lewat karyanya, mari sedikit kita simak cuplikan puisi penyair Syria, Nizar Qabbani " Aku bertanya tentang Muhammad dan Kristus Oh Yerusalem, aroma nabi. Jalur terpendek antara bumi dan langit. Oh Yerusalem, benteng hukum. Seorang anak yang indah dengan jari hangus dan mata putus asa" (dalam puisi berjudul Yerusalem). Wow. Walaupun penyair Al-Muhtadi bertubuh kekar, berambut cepak, sering nge-gym dan terlihat maskulin. Tapi sesungguhnya, hatinya sangat melankolis.
      
Sebelum menutup catatan pengantar singkat ini, saya ingin katakan untuk para penggagas Malam Puisi Depok, ini sesuatu yang indah dan puitis, menciptakan buku puisi di kota kita sendiri. Menghadirkan suasana hangat puisi di antara deretan mall-mall, supermarket, restoran, kafe dan toko elektronik yang berjubel tanpa ampun dan puisi hadir di celah-celah bangunan yang kokoh itu. Setidaknya, puisi sampai kapanpun dan dimana pun tetap terus dibaca, didiskusikan dan diamalkan. Dan sekali lagi selamat kepada mereka yang terpilih. Selamat hidup di dalam puisi-puisimu dan sebagai penutup, saya akan akhiri dengan puisi menjelang tidur, satu judul puisi indah dari penyair favorit saya dari Skotlandia,  Robert Burns (1759-1796)

A Red, Red Rose

O my Luve's like the melodie
That's sweetly play'd in tune.

As fair art thou, my bonnie lass,
So deep in luve am I:
And I will luve thee still, my dear,
Till a' the seas gang dry:


Till a' the seas gang dry, my dear,
And the rocks melt wi' the sun:
I will luve thee still, my dear,
While the sands o' life shall run.

And fare thee well, my only Luve
And fare thee well, a while!
And I will come again, my Luve,
Tho' it were ten thousand mile.


Salam hangat!


Cimanggis, Depok
19 Januari 2015
 Malam Hari, 00.56 WIB.


         


       




              

            
             

       








Tidak ada komentar:

Posting Komentar