Minggu, 31 Desember 2017

Epilog Untuk Naked Poems


7 Perasaan yang Berakhir Pada Ranjang Puisi

Oleh: Rendy Jean Satria


Ketika seorang kawan menghubungi saya untuk memberikan epilog pada antologi buku ‘Naked Poems’ yang ditulis 7 penyair muda yang aktif di dunia Twitter. Bandung, sedang dingin, karena baru saja turun hujan dan saya baru saja menikmati kumpulan puisi dari penyair terpenting Ukraina Bohdan Ihor Antonych di kediaman saya, yang terletak di dataran pegunungan. Karena persediaan kopi serius saya sudah habis, saya pun mengurungkan dulu membaca draft naskah Naked Poems. Karena persoalan keresahan yang sering datang mendadak dan baris akhir puisi yang sedang saya tulis, tak kunjung bisa diselesaikan.

Barulah beberapa minggu kemudian ketika narasi puisi enerjik Bohdan Ihor Antonych meresap seluruhnya dan kopi hitam saya mulai tersedia,. Saya kembali menekuni kumpulan Naked Poems ini dengan hati yang sedikit tenang, lenggang dan fokus. Kadang-kadang membaca puisi orang lain, dibutuhkan tenaga dan perasaan yang stabil, seperti sebuah asmara.

Kembali pada kumpulan Naked Poems yang ditulis oleh Dendy Andhika  Ivanasha, Schatzii, Amaasiapa, Rara Iswahyudi, Amyrhiby dan Dean Arif Pranata. Saat membaca judul kumpulan puisi ini, saya sudah bisa menduga arah narasi puisi ini akan bermuara kemana. Saat membaca judul kumpulan puisi ini juga, saya teringat dengan beberapa penyair dari Kanada, yang pernah menggelorakan semangat Puisi-Puisi Telanjang (Naked Poems Generation) di eranya, tahun 1960an.

Cover Antologi Naked Poems
Semangat generasi sastra Naked Poems dari para penyair Kanada cukup populer di masanya dan sampai terdengar gaungnya di negara-negara Eropa lainnya. Mengangkat tema hasrat seksual, ranjang penuh keringat, selangkangkan yang bobol, ceceran sperma di atas sprei, ciuman tanpa henti, mabuk akan tubuh, tentunya kata-kata tersebut sangat akrab pada gerakan Naked Poems di Kanada. Gerakan yang melawan sensor, dan menandingi persona agung puisi-puisi liris.

Lola Lemire Tostevin salah satu seorang penyair dan penulis feminis ini adalah bagian dari generasi penyair Naked Poems, yang 4 tahun lalu baru menerbitkan kumpulan puisi terbarunya ‘Singed Wings’ yang didalamnya berisi tema-tema internasional dengan sentuhan imaji ala Naked Poems. Puisi bertemakan seksual ternyata masih bernafas di Eropa.

Saya tidak tahu, apakah kumpulan puisi Naked Poems yang ditulis 7 penyair muda yang aktif di Twitter ini terinspirasi dari sana atau gerakan puisi-puisi bertemakan ketelanjangan dan selangkangan semacam ini di Twitter sedang trend dan hits, untuk menarik perhatian publik maya, entahlah. Yang jelas saya cukup senang akan hadirnya kumpulan Naked Poems yang ditulis oleh 7 penyair muda ini. Karena setidaknya puisi masih terus dibicarakan, dituliskan, dibacakan di antara gegap gempita dunia media sosial. Puisi di Indonesia pun harus berbagai tempat duduk dengan dunia yang serba canggih di era millenial. Walau kadang-kadang tempat duduknya agak sempit dan berdesakan.

*
Di antara 7 penyair yang ada pada kumpulan Naked Poems ini, ada 2 atau 3 penyair yang sudah pernah saya baca puisinya sebelumnya, selebihnya saya baru mengenalnya. Perasaan yang ada di benak saya, saat membaca puisi-puisi semacam ini, apakah mereka menyadari filosofis dari apa yang mereka tulis. Ruang hasrat yang dileburkan menjadi moment puitis, keindahan yang suram, dan permainan diksi-diksi seksual yang bertaburan atau puisi-puisi mereka hanya sekedar angin dikala malam, deru kendaraan di siang hari, dan selintas burung-burung di udara. Dengan kata lain hanya sebagai pelengkap pada perjalanan kesusastraan era millenial. Semoga saja, mereka benar-benar serius dalam gerakan Puisi Telanjang ini.

Karena bagaimanapun menulis puisi-puisi semacam ini harus penuh kehatian-hatian, sabar dalam memilih metafor, melebur pada setiap peristiwa, menjaga musikalitas, menentukan diksi, untuk menghidupkan kata-kata. Karena apabila tidak puisi – puisi semacam ini akan bias dan tergerus. Tak menjadi apa-apa. Kosong seperti coretan-coretan tangan di dalam kamar mandi sekolah. Tapi saya percaya 7 penyair muda Naked Poems ini akan memberikan kesegaran yang lain dalam perjalanan puisi Indonesia di era millennial.

Namun yang perlu saya sampaikan, tidak semua puisi-puisi dalam antologi ini menunjukan karakteristik dari gerakan Naked Poems. Tapi ada beberapa puisi-puisi yang menarik perhatian saya, karena kekuatan bangunan puitiknya, lebih sabar memilih diksi maupun metafora dan memperlihatkan citra gerakan Naked Poems yang tepat. Seperti puisi berikut ini:

BASAH

Tak ada yang lebih indah
dari ciuman berujung basah.
Tak ada yang lebih tabah
dari cinta sebatas kisah.

Dan kita,
halaman satu yang tak akan ada selanjutnya.

dapp, 2016.

Puisi Dendy di atas cukup menarik perhatian saya. Karena kekuatan rima akhirnya dan kekuatan rancang peristiwa di dalam puisi ‘Basah’ itu akan membuat pembaca akan berimajinasi. Tanpa disadari, Dendy menjaga kedalaman puisinya. Ketimbang puisi-pusi Dendy lainnya yang terlihat bicara luarannya saja, namun tak mampu menjaga kedalaman hasrat jiwanya yang liar, seperti puisinya yang berjudul ‘Libido’ yang langsung membuat saya sedikit mengerutkan kening dan langsung menyereput secangkir kopi Luwak saya sampai habis.

LIBIDO

Di sela-sela selangkang
kita patuh pada nafsu
libido yang terkekang
tak tertahan bak umpatan peluru

Sementara
lupakanlah waktu
biar setiap detak
yang melewati detik
itu punya kau dan aku.

dapp, 2016.

Lain halnya dengan Dendy. Puisi-puisi Ivanasha sudah pernah saya baca sebelum ini. Ivanasha, sebenarnya penyair muda perempuan yang cukup menjanjikan, kalau dia bisa menjaga konsistensinya dalam urusan menulis puisi.  Saya ingin mengutip cuplikan puisinya di bawah ini:

MEMBISIK NAMAMU

Di atas tubuhmu
Aku mau jadi puisi
Yang basah menggelinjang
Kau sayang-sayang
Penuh tegang dan
ketegangan.
Aku mau jadi lumat
Di tombakmu
Hingga tamat.
…………………..

Inilah yang saya maksudkan di atas, menulis puisi gaya Naked Poems perlu kehatian-hatian dalam menjaga unsur di dalam puisi, yakni metafora. ‘Metafora adalah bagian yang tak bisa dihilangkan dalam menulis sajak’ ujar Leight Hunt, penyair besar Inggris Raya, beratus-ratus tahun silam.  Dan Ivanasha, mampu menjaga ritme puisinya tersebut dengan memberikan sentuhan imaji yang segar, sehat dan bertenaga. ‘Aku mau jadi lumat, di tombakmu hingga tamat’ adalah sebaris kata-kata yang mempesona saya. Alat kelamin tidak dia tulis dengan seronok, melainkan diganti dengan kata Tombak yang sangat identik Tajam, Panjang dan Kuat.

Sungguh keliaran momen puitis  seorang perempuan. Saya hanya bisa mendoakan, semoga Ivanasha kelak mempunyai seorang kekasih yang memiliki benda ‘ajaib’ itu seperti halnya tombak. Karena Ivanasha ingin menjadi puisi yang pasrah dan basah di atas tubuh lelaki.

Kalau Ivanasha ingin menjadi puisi yang pasrah di atas tubuh. Puisi Schatzii lebih nyinyir. Seseorang yang dirundung duka dan patah hati yang panjang. Tak berujung. Sebuah percintaan yang liar. Puisinya lahir dengan menggunakan idiom-idiom yang sederhana, namun mengena, seperti pada cuplikan puisinya di bawah ini:

Aku ingin menangis meraung – raung
Di hadapanmu,
Kemudian teriak
Bahwa aku cemburu
Dengan Ia yang masih saja kau beri hangatmu

Saat menulis puisi, seorang penyair harus membebaskan rasa jujurnya, termasuk rasa jujur yang paling intim mengenai apa yang terjadi dengan kejiwaannya. Kedalamanan seorang penyair dalam merenung peristiwa yang ia alami bisa memberikan efek puisi yang cukup mempesona, menusuk dan masuk ke relung hati para pembacanya.

Saya melihat kemungkinan ini pada puisi-puisi yang ditulis Amaasiapa yang baru pertama kali saya baca puisi dari perempuan asal Sukabumi ini. Amasiapa sangat menjaga ruang dalam dan ruang luar pada narasi puisinya yang cukup panjang. Melankolia yang tak bisa disembunyikan dan tak terelakan. Puisinya menjadi semacam pesta percintaan liar yang sangat terobsesif pada satu objek. Seperti pada beberapa bait puisinya di bawah ini:

5.

" Peluklah tubuhku seperti tak ada tubuh lain yang kau inginkan
Dan ciumlah bibirku seperti kau dalam kehausan yang panjang."

7.

"Di ruang ini
kudapati kesepian sebagai cahaya
jalan menuju ibukota tubuhmu
di sana tumbuh puisi-puisi yang rela merawat kesepianku.

8.

"Kau tak akan mengira di antara tubuh dan puisi-puisi telanjang,
selalu ada kesedihan dan luka yang dalam."


‘Kesedihan dan luka yang dalam’, pada puisi Amasiapa di atas akan berakhir pada kecemasan yang berakhir sedu sedan di ranjang-ranjang puisi. Peleburan ini menjadi ruang bawah sadar seorang penyair Naked Poems. Membiarkan tubuhnya, menjadi puisi, menjadi Kata, lalu menjadi Kita yang berakhir pada kenikmatan tubuh-tubuh yang kerap kali ia temui. Ini yang terlihat jelas pada puisi-puisi liris Rara Iswahyudi seorang penyair perempuan asal Depok yang jalan kepenyairannya cukup saya perhatikan selama ini.  
Puisi-puisi Rara umumnya adalah pertemuan ia dengan banyak sosok lelaki, lawan bicara, teman percintaan. Kendati sesekali merujuk pada seseorang yang benar-benar ia cintai. Saya kutip satu puisi Rara, seutuhnya di bawah ini:

MELEPAS KECEMASAN

aku mengikat tubuhku pada kecemasan
menatap haru biru hasratku
di kedalaman resahku
berandai-andai akankah kulepaskan

cemasku mati dinyala liarmu
saat kau magut lembut bibirku
nyentuh syahdu buah dadaku
hingga kudedahkan untukmu

aku seketika buta akan cemas
saat kau tak henti menghujam pukasku
dengan zakarmu yang ngeras
sampai keringat saling menderas

Jakarta, 2017

Lain Rara, lain Amyrhiby. Puisi-puisi Amyrhiby cenderung benar-benar telanjang. Ia merasakan segala sensasi yang memabukan hasratnya untuk dijadikan tema puisinya. Kekuatan puisinya terletak pada penceritaannya yang begitu feminin. Amy, begitu juga Rara, saya sudah mengenal puisinya jauh sebelum ini. Amy, mempunyai pola ungkap naratif-linear yang menggebu-gebu, namun tetap mempunyai daya tarik tersendiri. Puisi-puisi Amy berada pada fase ambang kesedihan dan kegembiraan yang ia alami sendiri, seperti cuplikan puisinya di bawah ini:

Masih terngiang kisah semalam, saat kau merasa mabuk kepayang
Cinta kita tak berkesudahan. Menjelajah seisi ruang. Sofa kayu, benches put
hingga tebal si hambal permadani telah kita cicipi satu per satu.
Meski ranjang abu selalu menjadi tempat favoritmu.
Seakan tiada lelah kita bercumbu.

Kalau di dalam puisi-puisi Amyrhiby ada momen puitis yang begitu feminin. Lainya halnya pada puisi – puisi Dean Arif Pranata. Saya menemukan keliaran yang absurd. Puisi Dean sebenarnya menarik pada pemilihan judul Apartemen Waktu, semua judul puisinya diberi penanda jam, penanda dimana peristiwa percintaan absurd yang ia alami dan mungkin tidak ia alami sama sekali berlangsung. Namun pada isi puisi, Dean harus mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih dalam dan lebih sabar dalam menentukan setiap kata yang ia tuliskan. Kelak Dean akan menemukan apa yang saya maksudnya di atas. Saya kutip cuplikan puisinya yang cukup saya sukai:

20.06
……………………………..
Masuk kekamarku, buka bajumu
Mendekat, terserah, perlahan atau terburu-buru
Bantu tanggalkan baju
Jangan lupa untuk kecup juga bibirku yang kering namun manis karena nikotin
Tanggalkan juga dalamanmu
Biarkan jemariku masuk ke dalam tubuhmu

Saya cukup berbahagia dengan terbitnya kumpulan Naked Poems ini yang ditulis oleh 7 penyair muda yang dilahirkan oleh perkembangan media sosial.  Mereka semua mempunyai energi puitik yang luar biasa, untuk menghidupkan perpuisian Indonesia lewat jaringan media sosial. Bagaimanapun, “The Poetry  Of The Earth Is Never Dead” tulis John Keats, penyair besar Inggris, benar kiranya. Puisi di bumi tidak akan pernah mati. Puisi akan tetap bernapas sampai akhir zaman!


Bandung, Juli 2017


Sabtu, 30 Desember 2017

TTM & Manteos Dalam Pentas Menggendong Sandal Hello Kitty


Oleh Rendy Jean Satria




Pertunjukan Teater di Teras Cikapundung (8/10)

Di amphi teater. Di antara jembatan merah dan rimbun pepohonan. Sungai Citarum yang hening di malam itu, menjadi penuh oleh sorotan lampu-lampu artistik. Penonton mulai berdatangan dari atas. Satu jam lalu, hujan berhenti. Pagelaran teater segera dimulai di Teras Cikapundung. Masih dalam event Seni Bandung#1. Kelompok Teater Tarian Mahesa (TTM) & Kelompok Teater Kampung Manteos (Manteos), berkolaborasi untuk mementaskan drama berjudul ‘Menggendong Sandal Hello Kitty’ (8/10) yang disutradarai langsung oleh Gusjur Mahesa, dengan asisten sutradara Suyadi, aktor muda berbakat. Judul drama yang cukup imut, seksi sekaligus penuh dengan tanda tanya. Judul yang akan membuat siapapun penasaran. Termasuk saya, yang selalu resah melihat pertunjukan sebuah drama. Namun, saya cukup terhibur dengan pertunjukan TTM & Manteos. Terhibur dalam artian yang sesungguhnya.



Menggendong Peristiwa Kota Hari Ini

Drama Menggendong Sandal Hello Kitty, sejatinya banyak menginterupsi persoalan isu kota. Kota yang mereka tinggali, semakin membuat mereka tidak nyaman, gelisah dan  mengkhawatirkan. Para aktor, yang berjumlah 30an. Bersuara bukan dalam hening, atau sunyi. Mereka bersuara, dengan riuh, nakal dan penuh hentakan-hentakan dalam membidik pemerintah kota.  Teknik naskah ini, tidak naratif.  Banyak peristiwa yang meluber di panggung amphi teater malam itu, dengan meloncat-loncat, persis seperti tulisan ini.
Kemiskinan, banjir, lingkungan, agama, politik, penggusuran, persoalan keluarga dan korupsi. Isu-isu kota tersebut menjadi  satu blek,  di atas panggung. Aktor-aktor bergerak dari satu sisi ke sisi lain dengan cepat. Lontaran-lontaran dialog dari awal sampai akhir, mempunyai tenaganya masing-masing. ‘apa sih agama’ ‘agama itu tidak bisa jatuh’ ‘yang jatuh umatnya’ ‘jangan korupsi’ ‘otakmu bolong, hatimu kosong’ ‘mending gelo daripada korupsi’ ‘mama, aku menemukan pohon’ ‘jadilah jujur’ ‘jangan buang sampah sembarangan’ ‘pembangunan dimana-mana’ ‘kenapa saya yang menang’ ‘jadilah orang yang beriman’ dan masih banyak lagi, dialog yang mempertemukan kritisisme dan kedalaman, berakhir pada kalimat ‘tidurlah, bermimpilah’. Mengerikan dan masih penuh tanda tanya.


Keluarga Hello Kitty, Simbol Perlawanan

Keluarga Hello Kitty, yang berjumlah tiga orang. Papa (Suyadi), mama (Irda) dan anaknya, bernama Kitty (Keykey). Menjadi simbol keluarga kota hari ini. Mereka berpenampilan layaknya kaum borjuis. Bergerak, dari satu tempat ke tempat lainnya. Sambil sang papa menggendong sandal Hello Kitty selama perjalanan. Sampai keluarga Kitty akhirnya menemukan jawabannya, pada sebatang pohon di antara pembangunan-pembangunan kota yang semakin tidak merata. Latar alam, sungai dan hutan membuat suasana pertunjukan malam itu semakin mengena dari sudut pandang artistik.

Keluarga Kitty dalam perjalanan untuk menemukan sebatang pohon, banyak melihat kejadian-kejadian yang miris, dari pemilu yang penuh kebohongan, pendakwah yang apatis, lingkungan yang hancur, korupsi dimana-mana, dll. Papa berserta keluarga kecilnya pun resah tapi ia masih berharap akan bisa menemukan pohon untuk tempat mereka berteduh. Aktor-aktor muda berbakat dari TTM & Manteos, bermain dengan lincah sebagai warga, sekaligus sebagai aktor gruping.

Dan di tengah pertunjukan, drama ini menampilkan sosok Presiden Republik Gelo (Gusjur Mahesa), sebagai penguasa daerah yang mereka tempati. Sang Presiden berorasi, dengan penuh banyolan, satire yang hitam. Pahit ditambah getir, orasi tersebut diringi musik penuh hentakan. ‘otakmu bolong, hatimu kosong’ adalah sebait kalimat yang menjadi inti orasi mengenai anti korupsi.

Namun sayangnya, orasi tersebut mungkin disadari atau tidak oleh Presiden Republik Gelo,  yang menjayikan orasi terlalu panjang dan melelahkan pendengaran sebagian penonton, termasuk saya.  Jatuhnya repetisi lisan menenggelamkan kehadiran aktor-aktor lainnya. Lalu pertanyaan dari saya kepada Presiden Republik Gelo (Gusjur Mahesa), layakkah sosok sang Presiden Republik Gelo muncul di tengah pertunjukan Menggendong Sandal Hello Kitty, dengan durasi waktu yang cukup lama?

Menggendong Sandal Hello Kitty, sejauh analisis saya adalah wajah lain dari urbanisasi segelintir masyarakat yang ingin menemukan masa kanak-kanaknya, yang nyaman, aman dan bahagia. Namun dinamika kota berlainan. Banyak kejadian yang begitu memilukan. Yang mereka pun tidak bisa menghentikannya. Tapi harapan itu masih mereka yakini. Harapan tentang masa depan yang cerah. Penemuan sebatang pohon adalah simbol masa depan cerah tersebut masih ada.

Anak-Anak Teater Zaman Now! Dari Manteos

Saya pun tidak berani mengklaim, kalau teater TTM & Manteos dalam pementasan ‘Menggendong Sandal Hello Kitty’ ini mirip gaya longser, dibalut dengan drama musikal. Saya melihat pentas yang dibawakan TTM & Manteos punya style pemanggungan yang mudah diserap oleh semua lapisan masyarakat. Karena mungkin aktor- aktornya kebanyakan lahir pada generasi zaman now. Belajar teater secara otodidak dengan bakat terpendam yang mereka miliki dari referensi teknologi seperti Yotube atau Instagram. Hal inilah yang sedang dilakukan oleh Suyadi ketika mengasuh anak-anak remaja zaman now tersebut di sanggar teater kampung Manteos yang berlokasi di belakang sungai Citarum. Ya saya menyebutnya Teater Zaman Now-lah. Yang kelak kalau Suyadi serius dalam mengasuh mereka, tidak menutup kemungkinan bisa mewarnai perjalanan teater di Bandung. 


Bandung, 2017

Selasa, 28 November 2017

Senin, 06 November 2017

Kata Pengantar Untuk Para Penyair Muda Depok


Bermula Dari Depok


Oleh Rendy Jean Satria

Antologi Puisi Bersama, Para Penyair Muda Depok, 2015
Saat saya sedang menulis catatan pengantar ini, yang saya bayangkan adalah puisi-puisi mereka yang masuk dalam antologi buku Malam Puisi Depok tersebut, dikemudian hari terus berkembang dan berani dalam mengekplorasi bahasa. Berani dalam memainkan metafor, dan bisa menjaga ketukan-ketukan nada di dalam puisi-puisi mereka selanjutnya. Menambah bahan referensi buku puisi yang berkualitas dan tidak serta merta menulis puisi yang terkesan asal, dan begitu adanya. Puisi harus diresapi kehadirannya, keheningannya, kegelisahannya, dan kejujurannya. Kejujuran dalam menulis puisi, adalah hak mutlak bagi seorang penyair muda, khususnya para penyair yang masuk dalam antologi Malam Puisi Depok ini. Tulislah sesuatu dengan jujur, tak muluk-muluk, tak cerewet dan ambigu.

Bermainlah dengan suasana kesunyian, kesepian dan sesekali bergabunglah dengan keriuhan kota. Resapi kedatangan metafora-metafora yang mendadak datang seperti Wahyu dari langit. Tapi sayangnya, sekitar 150 penyair dan puisi karya mereka yang masuk ke meja saya untuk diseleksi banyak ambigunya ketimbang kejujurannya saat menulis puisi dan alhasil tidak kesemua puisi itu harus masuk ke dalam antologi Malam Puisi Depok. Hanya sekitar 48 puisi yang saya pilih dan Selvi untuk dimasukkan dalam antologi bersama Malam Puisi Depok. 48 Puisi yang saya pilih saya rasa cukup berpotensi untuk perkembangan jalan kepenyairan mereka selanjutnya.

Saya selalu terkesan dengan para penyair yang menulis puisinya dengan cinta, kejujuran dan keiklasan, saya selalu mangap kalau melihat puisi yang semacam itu, semisalnya saya beri contoh keindahan puisi yang jujur dan jernih dari penyair garda depan era Romantik, Lord Byron  "Dia berjalan dengan indahnya, laksana malam. Di tengah udara jernih dan langit bertabur bintang. Dan semua yang terbaik dari terang dan kelam. Berpadu dalam sosok dan matanya;Sehingga berpendar lembut di cahaya temaram. Dan awan menghalangi hari kerontang"(Dalam puisi Dia Berjalan Dengan Indahnya).

Penyair harus bisa mengajak intuisinya, hatinya dan pikirannya, menciptakan satu kesatuan puisi yang terjalin, antara tema maupun tubuh puisi itu sendiri. Alhasil, kita akan melihat puisi yang berhasil, adalah puisi yang selalu akan diingat oleh para pembacanya sampai kapanpun, dan sebaliknya puisi yang dengan gizi yang buruk, tidak akan bertahan lama, ia akan ditelan waktu. Dan selanjutnya tak pernah ada.


48 puisi hasil seleksi yang saya pilih dengan Selvi, untuk antologi buku Malam Puisi Depok, masing-masing mempunyai karakternya masing-masing, walaupun di antaranya masih kesulitan dalam menjaga rima, diksi, metrum, ketukan atau bunyi. Dan yang terpenting dari itu, mereka yang telah terpilih mempunyai semangat yang luar biasa untuk menghasilkan puisi, ini yang membuat saya terkesan, karena kebanyakan dari mereka hidup di kota serius seperti Jakarta, Depok, Bekasi, dan Bogor sebagian dari penyair tersebut ada yang bekerja di kantor swasta, menjadi ibu rumah tangga, karyawan, bisnismen, buruh, dan guru. Di tengah kesibukan mereka, mereka masih menulis puisi. Ini sangat dasyat dan luar biasa. Puisi hidup di tengah-tengah aktifitas mereka yang padat.

***

Saya mengamati dengan serius, puisi-puisi yang masuk dan yang terpilih, dengan maksimal. Dan beberapa di antara penyair yang terpilih sebagiannya akan saya bahas di catatan pengantar ini.  Puisi pertama berjudul "Kotak" karya Novia Nathania,adalah salah satu puisi yang menarik hati saya, kalimat-kalimatnya jernih dan mengalir. Kata-kata dibiarkan menemukan ujungnya dan Novia, berhasil menjaga rima puisi ini tetap stabil dan bermakna. Sebagai contoh berikut cuplikan puisinya yang berjudul Kotak "Sebuah kotak biru tertinggal di depan pintu. Gadis kecil bertopi jingga lewat mengadu. Siapa? Siapa yang membawanya? Apa malaikat bersayap hitam? Apa setan bertongkat emas?..............."

Lain halnya dengan Novia, Diyan Lestari dengan judul puisinya "Malam di Kopi Bar"mencoba menghadirkan suasana sang Aku lirik di tengah-tengah kesunyiannya di sebuah kafe, menciptakan letupan-letupan dramatis di dalam bait-bait puisinya, "Kusentuh pipimu yang merah ranum dengan belati. Puisimu tersedu-sedu di kafe ini lalu kugantungkan cahaya. Malam merambat jadi jalan-jalan panjang, tak berpeta, tak bertujuan, tak tentu arah" Sang Aku lirik, dibiarkan melebur dengan kesepiannya yang merajalela, dan tentu saja sang Aku lirik menjelaskan dengan jernih apa yang terjadi pada akhirnya  " Waktuku mungkin sudah habis, menggenggam jarimu kelak"  Diyan Lestari pada puisinya tersebut, bermain visual suasana, yang acap kali dilakukan oleh para penyair-penyair liris terdahulu. Puisi ini cukup mengesankan. Saya sarankan untuk Diyan Lestari, membaca karya-karya puisi dari penyair perempuan Elizabeth Bishop (Amerika) dan puisi-puisi indah dari Anna Akhmatova (Rusia).

Kekuatan judul pada sebuah puisi juga bisa menarik hati pembaca, judul yang sedikit berbau prosais dengan judul panjang-panjang juga terlihat pada puisi Andri K Wahab, berjudul " Malam ini Betapa Ombak Melaut Di dadaku" dan "Tiap Sore Hujan Turun di Kotamu Memakai Baju Baru" puisi Andri K Wahab, sebenarnya biasa-biasa saja. Karena Andri bisa menjaga ketenangan dalam menjaga keseimbangan antar bait, puisi ini berhasil diloloskan.

Selanjutnya, ada puisi berjudul "Tujuh Rima" dari  Rara Iswayudi, penyair perempuan asal Depok yang masih sangat muda ini berhasil membuat saya terkesan pada puisinya. Puisi Tujuh Rima, menggunakan jenis tipograf puisi memanjang ke bawah, tipograf seperti yang dituliskan oleh Rara Iswayudi, pernah dilakukan oleh penyair  W. S Rendra dalam puisi-puisinya yang berjudul, Rumah Andreas, Doa Orang Lapar, dan Amsal Seorang Santu, dengan menyebut beberapa puisi.  Tipograf memanjang kebawah, tanpa ada jeda ditengah-tengahnya harus dilakukan dengan jeli dalam memainkan kata-kata, memainkan isi naratif pada puisinya agar cerita menjadi mengalir. Rara saya kira cukup berhasil memoleskan kejeliannya untuk menghasilkan sebuah puisi yang syahdu ini.  Puisi berjudul "Cie" dari Alra Ramadhan  dan puisi berjudul "Nasi Goreng" dari Sarah CH dan juga puisi berjudul "Pasar Minggu Itu Kamu" karya Andy juga melakukan hal yang sama, dan menciptakan kesan dalam  puisi mereka dengan cara naratif.

Di samping banyaknya penyair dalam buku ini yang menuliskan tema-tema rindu, cinta yang bertepuk sebelah tangan, kehilangan identitas, kesunyian dan juga pencarian diri. Ada beberapa puisi yang menurut saya agak berbeda dan berani dalam mengeksplor bahasanya menjadi telanjang, cuek dan tajam ini terdapat dalam puisi berjudul "Kembung Buntung Bingung" karya Rahmi Budiyanti, penyair perempuan yang enerjik  ini menuliskan kalimat-kalimatnya dengan sangat obsesif erotisme  yang meluap-luap seperti dalam cuplikan puisinya ini "Tersisa raga yang haus ketelanjangan, menikmati satu yang menjepit selangkangan. Main tindih-tindihan. Main kuda-kudaan. Main anjing-anjingan"  Puisi ini cukup menarik, karena satu ditulis oleh perempuan dan kedua ia menulis dengan kejujuran, tanpa muluk-muluk, tanpa simbol-simbol yang gelap. Saya cukup menaruh harapan untuk Rahmi Budiyanti di masa depan, untuk lanjut dalam menulis puisi dan saya sarankan untuknya agar membaca karya penyair Perempuan dunia seperti  karya-karya Sylvia Plath atau penyair perempuan legendaris asal Yunani, yaitu Sappho.

***

Dalam kasus perpuisian dunia, yang paling membingungkan para pembaca atau peneliti adalah ketidakjelasan seorang penyair dalam memainkan simbol-simbol yang ambigu dan tak tentu makna di dalam karya-karya puisi, yang acap kali sering meruntuhkan estetika yang sudah dibangun sedemikian rupa. Puisi berjudul "Tengku Birahi" karya Salman Alkatiri, saya kira hampir terjatuh dalam kerangka yang saya katakan di atas. Salman seperti ingin mengungkapkan sesuatu tapi tak sampai-sampai, karena ia terlalu banyak bermain simbol-simbol yang Salman sendiri kebingungan  coba kita simak-simak cuplikan puisinya tersebut "Aku mendengar akar pohon kehidupan berteriak-teriak dari balik punggung sang durjana. berontak ingin meludahi saripati tanah yang begitu menggoda. Aku mengecap naluri ketaksaan dari sayap-sayap malaikat malang" kata akar, punggung, durjana, sayap-sayap, malaikat menjadi terkesan dipaksakan dan di kalimat selanjutnya Salman, bukannya bertobat malah kedodoran.

Saya memberikan apresiasi untuk puisi "Tengku Birahi" karena Salman seperti berusaha betul, memainkan simbol-simbol dalam puisinya. Sama halnya dengan Salman, puisi dari Muhammad Ridwan berjudul "Perjalanan Sunyi", dan puisi dari "Sejawat Yang Kandas” karya Rena Kharisman juga melakukan hal serupa. Cerewet dalam bermain simbol-simbol. Coba dech, untuk Salman, Ridwan dan Rena saya sarankan untuk membaca puisi-puisi simbolik dari penyair asal Perancis, yaitu Charles Baudelaire. Karena dalam sejarah perpuisian simbolik yang dipimpin oleh Arthur Rimbaud pada paruh pertama abad 20, seperti yang diungkapkan Grimferrer , puisi simbolik muncul sebagai pencarian murni yang estetik.

Selanjutnya saya mencoba berenang ke lautan imajinasi puisi-puisi dari Santy Ruby "Kita", Alra Ramadhan "Ditelepon Tak diangkat-angkat", Imam Permana "Sebatang Lagi" dan Ivanasha Adani Prasetianti "Perlahan" puisi mereka tersebut sangat syahdu dan sedikit mengejutkan, karena kalimat-kalimatnya yang orisinil dan saat membaca puisi tersebut saya tidak seperti diteror seperti puisi Salman, Ridwan, dan Rena  di atas.

Saya menikmati puisi mereka, misalnya pada puisi Shanty Ruby ada satu cuplikan puisi yang berbunyi seperti ini " Aku, si ceroboh yang suka lupa meletakan kata, berceceran di sekitar kakimu, berguguran menempel di rambutmu dan itu jadi alasanku melingkarimu dengan lengan" puisi dari Shanty Ruby ini saya kira cukup berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut oleh Shanty Ruby. Ini puisi yang saya kira menarik. Suasana terbangun, metafora terjaga dan kegelisahan sang penyair juga digambarkan dengan jelas.

Puisi Ivanasha Adani Prasetianti juga cukup melukiskan suasana cinta yang begitu hangat, jelas dan greget seperti dalam cuplikan puisinya ini, "Rindu, jatuhkanlah gerimis pada mataku daripada kau gigilkan aku, kian hebat, ketika aku, tak juga sampai pada lenggannya" jelas dan padat. Saya deg-degan membacanya. 

Tiba-tiba di saat saya sedang membaca karya Shanty, Alra, Imam, dan Ivanasha itu, saya kedatangan satu puisi berjenis klasik, puisi ini berjudul "Cermin Mati" karya Mamaw, jujur saya suka puisi Mamaw ini. Pertama jenis puisi ini harus benar-benar konsentrasi saat menulisnya. Karena kekuatannya pada unsur bunyi dan metrum, lalu yang kedua dari 150 puisi yang ngirim ke saya, hanya puisi Mamaw yang berbeda karakter dari puisi-puisi yang masuk.

Jenis puisi Mamaw, adalah salah satu bentuk jenis puisi pada era zaman Pujangga Baru, jenis puisi yang trend pada tahun 1930 s/d 1940 era dimana penyair Indonesia Amir Hamzah menghasilkan puisi merdunya berjudul "Buah Rindu" dan "Nyanyi Sunyi", era dimana Penyair Sanusi Pane menghasilkan puisi syahdunya berjudul "Puspa Mega" dan "Madah Kelana". Mari kita simak cuplikan puisi "Cermin Mati" karya Mamaw.
.............................................
hinalah raga disadur malam,
gelap gulita larut dalam kelam,
terombang ambing riuh kepala,
jiwa terjaga bernyala-nyala,

tak ada hamba yang murni,
pada dunia berlumpur tirani,
nyali menjadi bisa,
tubuh terlelap lupa rasa,

.........................................

Di saat sedang asyik-asyiknya membaca puisi Mamaw, tiba-tiba saya bertemu satu puisi yang membuat saya greget, yaitu puisi berjudul "Hujan" karya YudithTri Susetio, puisi ini, bisa saya katakan puisi berjenis ganda, bercampur aduk, bertipograf prosais, dalam hati saya bertanya-tanya, si penyair ini, agak cerewet dalam melukiskan suasana puisinya. Pembentukan Tiprografnya juga kurang menarik, unsur puitiknya menjadi cair dan apa adanya. Tapi kekuatan puisi Yudith Tri Susetio, terletak pada nafas puisinya yang panjang seperti seorang pelari yang tak kenal istirahat.  "Kata maaf yang sejatinya sakti sudah tak lagi mengobati luka di hati. Kata cinta yang sejatinya hangat sudah tidak lagi menghangatkan. Alih-alih mencairkan.

Ooh, hati mereka yang sama-sama kosong.
Menunggu diisi hujan.
Hujan kurang ajar" .

        
***
            '
'Sedemikian susah menulis puisi tentang kerinduan yang benar-benar melukiskan rindu pada satu tujuan, satu harapan. Bisa-bisa tercebur pada kalimat -kalimat yang miskin makna", ujar Penyair kenamaan dari United Kingdom, Alfred Tennyson. Tapi sepanjang pengamatan saya, ada juga satu dua buah puisi yang menurut pengamatan saya berhasil dalam melukiskan kerinduan yang sebenarnya, rindu  menggebu-ngebu dan tidak basi.

Puisi karya Rivai Hamzah, berjudul "Rindu, Masih Salahmu" citraan-citraan diksi terjaga dalam rancang bangun suasana, begini bunyi puisinya " Mencintaimu membutuhkan ketabahan, seperti pohon-pohon yang pasrah ditebas tukang kayu. Dibuatnya batang pohon  menjadi apa saja; rumah, puisi serta rindu. Aku ialah pohon di halaman rindumu "

Dan juga terlihat jelas pada  puisi Azizah "Ditubuhmu, Aku Berlindung" Di tubuhmu aku berlindung. Di matamu aku terjatuh. Di bibirmu aku berlabuh. Semua itu karena perkara rindu. Yang tak pernah hilang darimu."  dan diselesaikan dengan baik oleh puisi "Trilogi Kasih Sepanjang Hari" karya Imamoko dengan cuplikan puisinya yang manis " Berbincang denganmu, Kekasih. Seperti air mengalir menuruni dedaunan. Bersenda gurau denganmu, Kekasih seperti semilir angin  membuat ilalang menari" Di dalam puisi Rivai, Azizah dan Imamoko tidak ada hal yang dibuat-buat, mereka seperti menulis dengan hati dan pikiran yang terjaga. Mungkin.

Saya ingin katakan puisi yang bagus, adalah puisi yang benar-benar kita alami dan kita rasakan suasananya. Agar puisi tersebut bisa hidup dan bernyawa. Ini saya rasakan terlihat pada puisi liris berjudul "Kisah Sepi di Stasiun Tugu" karya Astrajingga, saat membaca puisi karya Astra, saya bisa merasakan suasana visual yang dilukiskan oleh Astra, puisi ini menjadi hidup karena Astra menuliskannya sebagai berikut

"Sederetan bangku peron Stasiun Tugu
pasrah menyandarkan rindu dari lelah tunggu.
"kita mau kemana?" tanya tiket di balik jaket.
"terserah laju kereta saja." jawabku sekenanya,
sambil merogoh sabar di saku kemeja."

Puisi karya Astra menjadi hidup  karena saat menuliskan puisi ini tubuh Astra menyatu pada suasana stasiun Tugu. Ia betul-betul merasakan kesepian yang mencekam di sebuah kota yang jauh dari rumah asalnya.  Hal ini juga saya rasakan engahnya pada puisi berjudul "Di bawah Langit Malam Jakarta" karya Gilang. Berbeda dengan Astrajingga yang kesepian di sebuah kota yang jauh.

Puisi Al-Muhtadi berjudul "Hening pada Tanah yang Terluka" adalah kegelisahan Al-Muhtadi. Al-Muhtadi merasakan dengan batinnya,  peperangan yang terjadi di Palestina saat para pasukan Muslim melawan kebengisan zionis-zionis Israel.  Puisi ini, puisi kontekstual, berbicara tentang kekinian yang masih berlaku secara historis sampai kapanpun.  Al-Muhtadi melihat dengan kacamata puisinya, tentang sebuah pembantaian, pembunuhan, dan peperangan di Palestina, dengan kepekaannya sebagai penyair. Ia tidak menuliskan tentang rindu, atau bersunyi-sunyi ria, tapi ia mencoba merasakan apa yang penduduk Palestina rasakan. Al-Muhtadi berucap dalam cuplikan puisinya sebagai berikut" Batu-batu melayang di udara, di atas tanah, di atas perih, di atas segala merah yang memutih".

Dengan kepekaan intuisinya Al-Muhtadi melihat peperangan di Palestina sebagai apa yang ia tuliskan " Walau mungkin Bumi terlalu sempit bagi lapangnya dada kami. Biarlah dari surga kan menetes air yang menyejukkan duka kami" Karena Al-Muhtadi sepertinya tertarik dengan apa yang terjadi di Palestina. Saya sarankan untuk Al-Muhtadi membaca karya-karya puisi kenamaan dari Syria, yaitu Nizar Qabbani. Karakter puisi Nizar Qabbani, sangat indah sekaligus murung dalam menceritakan tentang Yerusalem lewat karyanya, mari sedikit kita simak cuplikan puisi penyair Syria, Nizar Qabbani " Aku bertanya tentang Muhammad dan Kristus Oh Yerusalem, aroma nabi. Jalur terpendek antara bumi dan langit. Oh Yerusalem, benteng hukum. Seorang anak yang indah dengan jari hangus dan mata putus asa" (dalam puisi berjudul Yerusalem). Wow. Walaupun penyair Al-Muhtadi bertubuh kekar, berambut cepak, sering nge-gym dan terlihat maskulin. Tapi sesungguhnya, hatinya sangat melankolis.
      
Sebelum menutup catatan pengantar singkat ini, saya ingin katakan untuk para penggagas Malam Puisi Depok, ini sesuatu yang indah dan puitis, menciptakan buku puisi di kota kita sendiri. Menghadirkan suasana hangat puisi di antara deretan mall-mall, supermarket, restoran, kafe dan toko elektronik yang berjubel tanpa ampun dan puisi hadir di celah-celah bangunan yang kokoh itu. Setidaknya, puisi sampai kapanpun dan dimana pun tetap terus dibaca, didiskusikan dan diamalkan. Dan sekali lagi selamat kepada mereka yang terpilih. Selamat hidup di dalam puisi-puisimu dan sebagai penutup, saya akan akhiri dengan puisi menjelang tidur, satu judul puisi indah dari penyair favorit saya dari Skotlandia,  Robert Burns (1759-1796)

A Red, Red Rose

O my Luve's like the melodie
That's sweetly play'd in tune.

As fair art thou, my bonnie lass,
So deep in luve am I:
And I will luve thee still, my dear,
Till a' the seas gang dry:


Till a' the seas gang dry, my dear,
And the rocks melt wi' the sun:
I will luve thee still, my dear,
While the sands o' life shall run.

And fare thee well, my only Luve
And fare thee well, a while!
And I will come again, my Luve,
Tho' it were ten thousand mile.


Salam hangat!


Cimanggis, Depok
19 Januari 2015
 Malam Hari, 00.56 WIB.