Minggu, 31 Desember 2017

Epilog Untuk Naked Poems


7 Perasaan yang Berakhir Pada Ranjang Puisi

Oleh: Rendy Jean Satria


Ketika seorang kawan menghubungi saya untuk memberikan epilog pada antologi buku ‘Naked Poems’ yang ditulis 7 penyair muda yang aktif di dunia Twitter. Bandung, sedang dingin, karena baru saja turun hujan dan saya baru saja menikmati kumpulan puisi dari penyair terpenting Ukraina Bohdan Ihor Antonych di kediaman saya, yang terletak di dataran pegunungan. Karena persediaan kopi serius saya sudah habis, saya pun mengurungkan dulu membaca draft naskah Naked Poems. Karena persoalan keresahan yang sering datang mendadak dan baris akhir puisi yang sedang saya tulis, tak kunjung bisa diselesaikan.

Barulah beberapa minggu kemudian ketika narasi puisi enerjik Bohdan Ihor Antonych meresap seluruhnya dan kopi hitam saya mulai tersedia,. Saya kembali menekuni kumpulan Naked Poems ini dengan hati yang sedikit tenang, lenggang dan fokus. Kadang-kadang membaca puisi orang lain, dibutuhkan tenaga dan perasaan yang stabil, seperti sebuah asmara.

Kembali pada kumpulan Naked Poems yang ditulis oleh Dendy Andhika  Ivanasha, Schatzii, Amaasiapa, Rara Iswahyudi, Amyrhiby dan Dean Arif Pranata. Saat membaca judul kumpulan puisi ini, saya sudah bisa menduga arah narasi puisi ini akan bermuara kemana. Saat membaca judul kumpulan puisi ini juga, saya teringat dengan beberapa penyair dari Kanada, yang pernah menggelorakan semangat Puisi-Puisi Telanjang (Naked Poems Generation) di eranya, tahun 1960an.

Cover Antologi Naked Poems
Semangat generasi sastra Naked Poems dari para penyair Kanada cukup populer di masanya dan sampai terdengar gaungnya di negara-negara Eropa lainnya. Mengangkat tema hasrat seksual, ranjang penuh keringat, selangkangkan yang bobol, ceceran sperma di atas sprei, ciuman tanpa henti, mabuk akan tubuh, tentunya kata-kata tersebut sangat akrab pada gerakan Naked Poems di Kanada. Gerakan yang melawan sensor, dan menandingi persona agung puisi-puisi liris.

Lola Lemire Tostevin salah satu seorang penyair dan penulis feminis ini adalah bagian dari generasi penyair Naked Poems, yang 4 tahun lalu baru menerbitkan kumpulan puisi terbarunya ‘Singed Wings’ yang didalamnya berisi tema-tema internasional dengan sentuhan imaji ala Naked Poems. Puisi bertemakan seksual ternyata masih bernafas di Eropa.

Saya tidak tahu, apakah kumpulan puisi Naked Poems yang ditulis 7 penyair muda yang aktif di Twitter ini terinspirasi dari sana atau gerakan puisi-puisi bertemakan ketelanjangan dan selangkangan semacam ini di Twitter sedang trend dan hits, untuk menarik perhatian publik maya, entahlah. Yang jelas saya cukup senang akan hadirnya kumpulan Naked Poems yang ditulis oleh 7 penyair muda ini. Karena setidaknya puisi masih terus dibicarakan, dituliskan, dibacakan di antara gegap gempita dunia media sosial. Puisi di Indonesia pun harus berbagai tempat duduk dengan dunia yang serba canggih di era millenial. Walau kadang-kadang tempat duduknya agak sempit dan berdesakan.

*
Di antara 7 penyair yang ada pada kumpulan Naked Poems ini, ada 2 atau 3 penyair yang sudah pernah saya baca puisinya sebelumnya, selebihnya saya baru mengenalnya. Perasaan yang ada di benak saya, saat membaca puisi-puisi semacam ini, apakah mereka menyadari filosofis dari apa yang mereka tulis. Ruang hasrat yang dileburkan menjadi moment puitis, keindahan yang suram, dan permainan diksi-diksi seksual yang bertaburan atau puisi-puisi mereka hanya sekedar angin dikala malam, deru kendaraan di siang hari, dan selintas burung-burung di udara. Dengan kata lain hanya sebagai pelengkap pada perjalanan kesusastraan era millenial. Semoga saja, mereka benar-benar serius dalam gerakan Puisi Telanjang ini.

Karena bagaimanapun menulis puisi-puisi semacam ini harus penuh kehatian-hatian, sabar dalam memilih metafor, melebur pada setiap peristiwa, menjaga musikalitas, menentukan diksi, untuk menghidupkan kata-kata. Karena apabila tidak puisi – puisi semacam ini akan bias dan tergerus. Tak menjadi apa-apa. Kosong seperti coretan-coretan tangan di dalam kamar mandi sekolah. Tapi saya percaya 7 penyair muda Naked Poems ini akan memberikan kesegaran yang lain dalam perjalanan puisi Indonesia di era millennial.

Namun yang perlu saya sampaikan, tidak semua puisi-puisi dalam antologi ini menunjukan karakteristik dari gerakan Naked Poems. Tapi ada beberapa puisi-puisi yang menarik perhatian saya, karena kekuatan bangunan puitiknya, lebih sabar memilih diksi maupun metafora dan memperlihatkan citra gerakan Naked Poems yang tepat. Seperti puisi berikut ini:

BASAH

Tak ada yang lebih indah
dari ciuman berujung basah.
Tak ada yang lebih tabah
dari cinta sebatas kisah.

Dan kita,
halaman satu yang tak akan ada selanjutnya.

dapp, 2016.

Puisi Dendy di atas cukup menarik perhatian saya. Karena kekuatan rima akhirnya dan kekuatan rancang peristiwa di dalam puisi ‘Basah’ itu akan membuat pembaca akan berimajinasi. Tanpa disadari, Dendy menjaga kedalaman puisinya. Ketimbang puisi-pusi Dendy lainnya yang terlihat bicara luarannya saja, namun tak mampu menjaga kedalaman hasrat jiwanya yang liar, seperti puisinya yang berjudul ‘Libido’ yang langsung membuat saya sedikit mengerutkan kening dan langsung menyereput secangkir kopi Luwak saya sampai habis.

LIBIDO

Di sela-sela selangkang
kita patuh pada nafsu
libido yang terkekang
tak tertahan bak umpatan peluru

Sementara
lupakanlah waktu
biar setiap detak
yang melewati detik
itu punya kau dan aku.

dapp, 2016.

Lain halnya dengan Dendy. Puisi-puisi Ivanasha sudah pernah saya baca sebelum ini. Ivanasha, sebenarnya penyair muda perempuan yang cukup menjanjikan, kalau dia bisa menjaga konsistensinya dalam urusan menulis puisi.  Saya ingin mengutip cuplikan puisinya di bawah ini:

MEMBISIK NAMAMU

Di atas tubuhmu
Aku mau jadi puisi
Yang basah menggelinjang
Kau sayang-sayang
Penuh tegang dan
ketegangan.
Aku mau jadi lumat
Di tombakmu
Hingga tamat.
…………………..

Inilah yang saya maksudkan di atas, menulis puisi gaya Naked Poems perlu kehatian-hatian dalam menjaga unsur di dalam puisi, yakni metafora. ‘Metafora adalah bagian yang tak bisa dihilangkan dalam menulis sajak’ ujar Leight Hunt, penyair besar Inggris Raya, beratus-ratus tahun silam.  Dan Ivanasha, mampu menjaga ritme puisinya tersebut dengan memberikan sentuhan imaji yang segar, sehat dan bertenaga. ‘Aku mau jadi lumat, di tombakmu hingga tamat’ adalah sebaris kata-kata yang mempesona saya. Alat kelamin tidak dia tulis dengan seronok, melainkan diganti dengan kata Tombak yang sangat identik Tajam, Panjang dan Kuat.

Sungguh keliaran momen puitis  seorang perempuan. Saya hanya bisa mendoakan, semoga Ivanasha kelak mempunyai seorang kekasih yang memiliki benda ‘ajaib’ itu seperti halnya tombak. Karena Ivanasha ingin menjadi puisi yang pasrah dan basah di atas tubuh lelaki.

Kalau Ivanasha ingin menjadi puisi yang pasrah di atas tubuh. Puisi Schatzii lebih nyinyir. Seseorang yang dirundung duka dan patah hati yang panjang. Tak berujung. Sebuah percintaan yang liar. Puisinya lahir dengan menggunakan idiom-idiom yang sederhana, namun mengena, seperti pada cuplikan puisinya di bawah ini:

Aku ingin menangis meraung – raung
Di hadapanmu,
Kemudian teriak
Bahwa aku cemburu
Dengan Ia yang masih saja kau beri hangatmu

Saat menulis puisi, seorang penyair harus membebaskan rasa jujurnya, termasuk rasa jujur yang paling intim mengenai apa yang terjadi dengan kejiwaannya. Kedalamanan seorang penyair dalam merenung peristiwa yang ia alami bisa memberikan efek puisi yang cukup mempesona, menusuk dan masuk ke relung hati para pembacanya.

Saya melihat kemungkinan ini pada puisi-puisi yang ditulis Amaasiapa yang baru pertama kali saya baca puisi dari perempuan asal Sukabumi ini. Amasiapa sangat menjaga ruang dalam dan ruang luar pada narasi puisinya yang cukup panjang. Melankolia yang tak bisa disembunyikan dan tak terelakan. Puisinya menjadi semacam pesta percintaan liar yang sangat terobsesif pada satu objek. Seperti pada beberapa bait puisinya di bawah ini:

5.

" Peluklah tubuhku seperti tak ada tubuh lain yang kau inginkan
Dan ciumlah bibirku seperti kau dalam kehausan yang panjang."

7.

"Di ruang ini
kudapati kesepian sebagai cahaya
jalan menuju ibukota tubuhmu
di sana tumbuh puisi-puisi yang rela merawat kesepianku.

8.

"Kau tak akan mengira di antara tubuh dan puisi-puisi telanjang,
selalu ada kesedihan dan luka yang dalam."


‘Kesedihan dan luka yang dalam’, pada puisi Amasiapa di atas akan berakhir pada kecemasan yang berakhir sedu sedan di ranjang-ranjang puisi. Peleburan ini menjadi ruang bawah sadar seorang penyair Naked Poems. Membiarkan tubuhnya, menjadi puisi, menjadi Kata, lalu menjadi Kita yang berakhir pada kenikmatan tubuh-tubuh yang kerap kali ia temui. Ini yang terlihat jelas pada puisi-puisi liris Rara Iswahyudi seorang penyair perempuan asal Depok yang jalan kepenyairannya cukup saya perhatikan selama ini.  
Puisi-puisi Rara umumnya adalah pertemuan ia dengan banyak sosok lelaki, lawan bicara, teman percintaan. Kendati sesekali merujuk pada seseorang yang benar-benar ia cintai. Saya kutip satu puisi Rara, seutuhnya di bawah ini:

MELEPAS KECEMASAN

aku mengikat tubuhku pada kecemasan
menatap haru biru hasratku
di kedalaman resahku
berandai-andai akankah kulepaskan

cemasku mati dinyala liarmu
saat kau magut lembut bibirku
nyentuh syahdu buah dadaku
hingga kudedahkan untukmu

aku seketika buta akan cemas
saat kau tak henti menghujam pukasku
dengan zakarmu yang ngeras
sampai keringat saling menderas

Jakarta, 2017

Lain Rara, lain Amyrhiby. Puisi-puisi Amyrhiby cenderung benar-benar telanjang. Ia merasakan segala sensasi yang memabukan hasratnya untuk dijadikan tema puisinya. Kekuatan puisinya terletak pada penceritaannya yang begitu feminin. Amy, begitu juga Rara, saya sudah mengenal puisinya jauh sebelum ini. Amy, mempunyai pola ungkap naratif-linear yang menggebu-gebu, namun tetap mempunyai daya tarik tersendiri. Puisi-puisi Amy berada pada fase ambang kesedihan dan kegembiraan yang ia alami sendiri, seperti cuplikan puisinya di bawah ini:

Masih terngiang kisah semalam, saat kau merasa mabuk kepayang
Cinta kita tak berkesudahan. Menjelajah seisi ruang. Sofa kayu, benches put
hingga tebal si hambal permadani telah kita cicipi satu per satu.
Meski ranjang abu selalu menjadi tempat favoritmu.
Seakan tiada lelah kita bercumbu.

Kalau di dalam puisi-puisi Amyrhiby ada momen puitis yang begitu feminin. Lainya halnya pada puisi – puisi Dean Arif Pranata. Saya menemukan keliaran yang absurd. Puisi Dean sebenarnya menarik pada pemilihan judul Apartemen Waktu, semua judul puisinya diberi penanda jam, penanda dimana peristiwa percintaan absurd yang ia alami dan mungkin tidak ia alami sama sekali berlangsung. Namun pada isi puisi, Dean harus mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih dalam dan lebih sabar dalam menentukan setiap kata yang ia tuliskan. Kelak Dean akan menemukan apa yang saya maksudnya di atas. Saya kutip cuplikan puisinya yang cukup saya sukai:

20.06
……………………………..
Masuk kekamarku, buka bajumu
Mendekat, terserah, perlahan atau terburu-buru
Bantu tanggalkan baju
Jangan lupa untuk kecup juga bibirku yang kering namun manis karena nikotin
Tanggalkan juga dalamanmu
Biarkan jemariku masuk ke dalam tubuhmu

Saya cukup berbahagia dengan terbitnya kumpulan Naked Poems ini yang ditulis oleh 7 penyair muda yang dilahirkan oleh perkembangan media sosial.  Mereka semua mempunyai energi puitik yang luar biasa, untuk menghidupkan perpuisian Indonesia lewat jaringan media sosial. Bagaimanapun, “The Poetry  Of The Earth Is Never Dead” tulis John Keats, penyair besar Inggris, benar kiranya. Puisi di bumi tidak akan pernah mati. Puisi akan tetap bernapas sampai akhir zaman!


Bandung, Juli 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar