7 Perasaan yang Berakhir Pada Ranjang Puisi
Oleh: Rendy Jean
Satria
Barulah beberapa
minggu kemudian ketika narasi puisi enerjik Bohdan Ihor Antonych meresap seluruhnya
dan kopi hitam saya mulai tersedia,. Saya kembali menekuni kumpulan Naked Poems
ini dengan hati yang sedikit tenang, lenggang dan fokus. Kadang-kadang membaca
puisi orang lain, dibutuhkan tenaga dan perasaan yang stabil, seperti sebuah
asmara.
Kembali pada
kumpulan Naked Poems yang ditulis oleh Dendy Andhika Ivanasha, Schatzii, Amaasiapa, Rara
Iswahyudi, Amyrhiby dan Dean Arif Pranata. Saat membaca judul
kumpulan puisi ini, saya sudah bisa menduga arah narasi puisi ini akan bermuara
kemana. Saat membaca judul kumpulan puisi ini juga, saya teringat dengan
beberapa penyair dari Kanada, yang pernah menggelorakan semangat Puisi-Puisi
Telanjang (Naked Poems Generation) di eranya, tahun 1960an.
![]() |
Cover Antologi Naked Poems |
Lola Lemire
Tostevin salah satu seorang penyair dan penulis feminis ini adalah bagian dari
generasi penyair Naked Poems, yang 4 tahun lalu baru menerbitkan kumpulan puisi
terbarunya ‘Singed Wings’ yang didalamnya berisi tema-tema internasional dengan
sentuhan imaji ala Naked Poems. Puisi bertemakan seksual ternyata masih
bernafas di Eropa.
Saya tidak tahu,
apakah kumpulan puisi Naked Poems yang ditulis 7 penyair muda yang aktif di
Twitter ini terinspirasi dari sana atau gerakan puisi-puisi bertemakan ketelanjangan
dan selangkangan semacam ini di Twitter sedang trend dan hits, untuk menarik
perhatian publik maya, entahlah. Yang jelas saya cukup senang akan hadirnya
kumpulan Naked Poems yang ditulis oleh 7 penyair muda ini. Karena setidaknya
puisi masih terus dibicarakan, dituliskan, dibacakan di antara gegap gempita
dunia media sosial. Puisi di Indonesia pun harus berbagai tempat duduk dengan
dunia yang serba canggih di era millenial. Walau kadang-kadang tempat duduknya
agak sempit dan berdesakan.
*
Di antara 7
penyair yang ada pada kumpulan Naked Poems ini, ada 2 atau 3 penyair yang sudah
pernah saya baca puisinya sebelumnya, selebihnya saya baru mengenalnya. Perasaan
yang ada di benak saya, saat membaca puisi-puisi semacam ini, apakah mereka
menyadari filosofis dari apa yang mereka tulis. Ruang hasrat yang dileburkan
menjadi moment puitis, keindahan yang suram, dan permainan diksi-diksi seksual
yang bertaburan atau puisi-puisi mereka hanya sekedar angin dikala malam, deru
kendaraan di siang hari, dan selintas burung-burung di udara. Dengan kata lain
hanya sebagai pelengkap pada perjalanan kesusastraan era millenial. Semoga
saja, mereka benar-benar serius dalam gerakan Puisi Telanjang ini.
Karena
bagaimanapun menulis puisi-puisi semacam ini harus penuh kehatian-hatian, sabar
dalam memilih metafor, melebur pada setiap peristiwa, menjaga musikalitas,
menentukan diksi, untuk menghidupkan kata-kata. Karena apabila tidak puisi –
puisi semacam ini akan bias dan tergerus. Tak menjadi apa-apa. Kosong seperti
coretan-coretan tangan di dalam kamar mandi sekolah. Tapi saya percaya 7
penyair muda Naked Poems ini akan memberikan kesegaran yang lain dalam
perjalanan puisi Indonesia di era millennial.
Namun yang perlu
saya sampaikan, tidak semua puisi-puisi dalam antologi ini menunjukan
karakteristik dari gerakan Naked Poems. Tapi ada beberapa puisi-puisi yang
menarik perhatian saya, karena kekuatan bangunan puitiknya, lebih sabar memilih
diksi maupun metafora dan memperlihatkan citra gerakan Naked Poems yang tepat.
Seperti puisi berikut ini:
BASAH
Tak ada yang lebih
indah
dari ciuman berujung
basah.
Tak ada yang lebih
tabah
dari cinta sebatas
kisah.
Dan kita,
halaman satu yang tak
akan ada selanjutnya.
dapp, 2016.
Puisi Dendy di
atas cukup menarik perhatian saya. Karena kekuatan rima akhirnya dan kekuatan
rancang peristiwa di dalam puisi ‘Basah’ itu akan membuat pembaca akan
berimajinasi. Tanpa disadari, Dendy menjaga kedalaman puisinya. Ketimbang puisi-pusi
Dendy lainnya yang terlihat bicara luarannya saja, namun tak mampu menjaga
kedalaman hasrat jiwanya yang liar, seperti puisinya yang berjudul ‘Libido’
yang langsung membuat saya sedikit mengerutkan kening dan langsung menyereput
secangkir kopi Luwak saya sampai habis.
LIBIDO
Di sela-sela selangkang
kita patuh pada nafsu
libido yang terkekang
tak tertahan bak
umpatan peluru
Sementara
lupakanlah waktu
biar setiap detak
yang melewati detik
itu punya kau dan aku.
dapp, 2016.
Lain halnya
dengan Dendy. Puisi-puisi Ivanasha sudah pernah saya baca sebelum ini.
Ivanasha, sebenarnya penyair muda perempuan yang cukup menjanjikan, kalau dia
bisa menjaga konsistensinya dalam urusan menulis puisi. Saya ingin mengutip cuplikan puisinya di bawah
ini:
MEMBISIK NAMAMU
Di atas tubuhmu
Aku mau jadi puisi
Yang basah
menggelinjang
Kau sayang-sayang
Penuh tegang dan
ketegangan.
Aku mau jadi lumat
Di tombakmu
Hingga tamat.
…………………..
Inilah yang saya
maksudkan di atas, menulis puisi gaya Naked Poems perlu kehatian-hatian dalam
menjaga unsur di dalam puisi, yakni metafora. ‘Metafora adalah bagian yang
tak bisa dihilangkan dalam menulis sajak’ ujar Leight Hunt, penyair besar
Inggris Raya, beratus-ratus tahun silam.
Dan Ivanasha, mampu menjaga ritme puisinya tersebut dengan memberikan
sentuhan imaji yang segar, sehat dan bertenaga. ‘Aku mau jadi lumat, di
tombakmu hingga tamat’ adalah sebaris kata-kata yang mempesona saya. Alat
kelamin tidak dia tulis dengan seronok, melainkan diganti dengan kata Tombak
yang sangat identik Tajam, Panjang dan Kuat.
Sungguh keliaran
momen puitis seorang perempuan. Saya
hanya bisa mendoakan, semoga Ivanasha kelak mempunyai seorang kekasih yang
memiliki benda ‘ajaib’ itu seperti halnya tombak. Karena Ivanasha ingin menjadi
puisi yang pasrah dan basah di atas tubuh lelaki.
Kalau Ivanasha
ingin menjadi puisi yang pasrah di atas tubuh. Puisi Schatzii lebih nyinyir. Seseorang
yang dirundung duka dan patah hati yang panjang. Tak berujung. Sebuah
percintaan yang liar. Puisinya lahir dengan menggunakan idiom-idiom yang
sederhana, namun mengena, seperti pada cuplikan puisinya di bawah ini:
Aku ingin menangis
meraung – raung
Di hadapanmu,
Kemudian teriak
Bahwa aku cemburu
Dengan Ia yang
masih saja kau beri hangatmu
Saat menulis puisi,
seorang penyair harus membebaskan rasa jujurnya, termasuk rasa jujur yang
paling intim mengenai apa yang terjadi dengan kejiwaannya. Kedalamanan seorang
penyair dalam merenung peristiwa yang ia alami bisa memberikan efek puisi yang
cukup mempesona, menusuk dan masuk ke relung hati para pembacanya.
Saya melihat
kemungkinan ini pada puisi-puisi yang ditulis Amaasiapa yang baru pertama kali
saya baca puisi dari perempuan asal Sukabumi ini. Amasiapa sangat menjaga ruang
dalam dan ruang luar pada narasi puisinya yang cukup panjang.
Melankolia yang tak bisa disembunyikan dan tak terelakan. Puisinya menjadi
semacam pesta percintaan liar yang sangat terobsesif pada satu objek. Seperti
pada beberapa bait puisinya di bawah ini:
5.
"
Peluklah tubuhku seperti tak ada tubuh lain yang kau inginkan
Dan ciumlah bibirku seperti kau dalam kehausan yang
panjang."
7.
"Di
ruang ini
kudapati
kesepian sebagai cahaya
jalan
menuju ibukota tubuhmu
di sana tumbuh puisi-puisi yang rela merawat kesepianku.
8.
"Kau tak akan mengira di antara tubuh dan
puisi-puisi telanjang,
selalu ada kesedihan dan luka yang dalam."
‘Kesedihan dan
luka yang dalam’, pada puisi Amasiapa di atas akan berakhir
pada kecemasan yang berakhir sedu sedan di ranjang-ranjang puisi. Peleburan ini
menjadi ruang bawah sadar seorang penyair Naked Poems. Membiarkan tubuhnya,
menjadi puisi, menjadi Kata, lalu menjadi Kita yang berakhir pada kenikmatan
tubuh-tubuh yang kerap kali ia temui. Ini yang terlihat jelas pada puisi-puisi
liris Rara Iswahyudi seorang penyair perempuan asal Depok yang jalan
kepenyairannya cukup saya perhatikan selama ini.
Puisi-puisi Rara
umumnya adalah pertemuan ia dengan banyak sosok lelaki, lawan bicara, teman
percintaan. Kendati sesekali merujuk pada seseorang yang benar-benar ia cintai.
Saya kutip satu puisi Rara, seutuhnya di bawah ini:
MELEPAS KECEMASAN
aku
mengikat tubuhku pada kecemasan
menatap haru biru hasratku
di kedalaman resahku
berandai-andai akankah kulepaskan
cemasku mati dinyala liarmu
saat kau magut lembut bibirku
nyentuh syahdu buah dadaku
hingga kudedahkan untukmu
aku seketika buta akan cemas
saat kau tak henti menghujam pukasku
dengan zakarmu yang ngeras
sampai keringat saling menderas
menatap haru biru hasratku
di kedalaman resahku
berandai-andai akankah kulepaskan
cemasku mati dinyala liarmu
saat kau magut lembut bibirku
nyentuh syahdu buah dadaku
hingga kudedahkan untukmu
aku seketika buta akan cemas
saat kau tak henti menghujam pukasku
dengan zakarmu yang ngeras
sampai keringat saling menderas
Jakarta, 2017
Lain Rara, lain
Amyrhiby. Puisi-puisi Amyrhiby cenderung benar-benar telanjang. Ia merasakan
segala sensasi yang memabukan hasratnya untuk dijadikan tema puisinya. Kekuatan
puisinya terletak pada penceritaannya yang begitu feminin. Amy, begitu juga
Rara, saya sudah mengenal puisinya jauh sebelum ini. Amy, mempunyai pola ungkap
naratif-linear yang menggebu-gebu, namun tetap mempunyai daya tarik tersendiri.
Puisi-puisi Amy berada pada fase ambang kesedihan dan kegembiraan yang ia alami
sendiri, seperti cuplikan puisinya di bawah ini:
Masih terngiang
kisah semalam, saat kau merasa mabuk kepayang
Cinta kita tak berkesudahan. Menjelajah
seisi ruang. Sofa kayu, benches put
hingga tebal si hambal permadani telah
kita cicipi satu per satu.
Meski ranjang abu selalu menjadi tempat
favoritmu.
Seakan tiada lelah kita bercumbu.
Kalau di dalam
puisi-puisi Amyrhiby ada momen puitis yang begitu feminin. Lainya halnya pada puisi
– puisi Dean Arif Pranata. Saya menemukan keliaran yang absurd. Puisi Dean
sebenarnya menarik pada pemilihan judul Apartemen Waktu, semua judul puisinya
diberi penanda jam, penanda dimana peristiwa percintaan absurd yang ia alami
dan mungkin tidak ia alami sama sekali berlangsung. Namun pada isi puisi, Dean
harus mencari kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih dalam dan lebih sabar
dalam menentukan setiap kata yang ia tuliskan. Kelak Dean akan menemukan apa
yang saya maksudnya di atas. Saya kutip cuplikan puisinya yang cukup saya
sukai:
20.06
……………………………..
Masuk kekamarku,
buka bajumu
Mendekat,
terserah, perlahan atau terburu-buru
Bantu tanggalkan
baju
Jangan lupa untuk
kecup juga bibirku yang kering namun manis karena nikotin
Tanggalkan juga
dalamanmu
Biarkan jemariku
masuk ke dalam tubuhmu
Saya cukup
berbahagia dengan terbitnya kumpulan Naked Poems ini yang ditulis oleh 7
penyair muda yang dilahirkan oleh perkembangan media sosial. Mereka semua mempunyai energi puitik yang
luar biasa, untuk menghidupkan perpuisian Indonesia lewat jaringan media
sosial. Bagaimanapun, “The Poetry Of The
Earth Is Never Dead” tulis John Keats, penyair besar Inggris, benar kiranya.
Puisi di bumi tidak akan pernah mati. Puisi akan tetap bernapas sampai akhir
zaman!
Bandung, Juli
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar