Oleh: Rendy Jean Satria
Adegan-adegan yang menegangkan itu berlalu sudah
Panggung kembali kosong. Hidup di dunia sekedar jeda”
(Ziarah Ke Bukit Borgo, hal. 75)
(Ziarah Ke Bukit Borgo, hal. 75)
![]() |
Penulis: Acep
Zamzam Noor
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Terbit: Oktober,
2018
Ilustrasi sampul
dan isi: Suku Tangan
96 hlm
|
Hanya penyair yang memiliki kepekaanlah yang mampu menuliskan nama-nama tempat yang jauh bahkan muskil dikenali dari biografis pembaca menjadi sangat dekat dan seakan-akan kita diajak mengembara dalam marwah kata-kata sang penyair. Dari Walennae, Pettae, Bedugul, Pineleng, Londa, Gorontalo, Toraja, Paotere Singkawang, Kusumba, Senggarang, Bintan, Penyengat, Riau, Celukan Bawang, Tapulaga, Gunung Lokon, Besakih, Mahawu, Selat Malaka, bergerak ke Kyoto, Ayabe, Nagoya, dan marwah ini berujung ketika penyair ke Bokori, sebuah nama pulau eksotis di Sulawesi Tenggara “Aku menyebrang ke batas territorial rindu” (Menyebrang ke Bokori, hal 93.). Batas ini pada akhirnya membuat perjalanan sang penyair hanya “Dimana aku membayangkan semuanya sebagai orkestra sunyi” (Menyebrang Ke Bokori, hal.93).
*
Style romantik pada
nama-nama tempat dengan modus akan maut itulah yang saya tangkap coba dihadirkan
penyair Acep Zamzam Noor dalam buku puisi terbarunya Membaca Lambang
(Gramedia Pustaka Utama, 2018). Beberapa
nama agung dalam dunia kepenyairan kerap menggunakan siasat serupa seperti
Dylan Thomas, Ted Hughes, Sergei Yessenin, Percy Bysshe Shelley, dan Sitor
Situmorang, Salah satu bait puisi Ziarah
Ke Bukit Borgo (hal.75) yang sengaja saya kutip di awal menjadi kunci masuk
dalam membaca keseluruhan 68 puisi Acep yang termaktub pada buku puisi Membaca
Lambang. “ Undakan batu itu membaca takdirnya sendiri. Pada setiap
langkah kaki pengiring jenazah” katanya. Kemudian, “Bunga kemboja yang
gugur itu mencatatkan umurnya pada tanah basah” dan suasana murung itu kembali dipertegas
Acep “Hanya dentang lonceng sepi” Borgo sendiri adalah nama sebuah suku dari
bagian Minahasa, suku ini berdiam di Sulawesi Utara.
Lalu terasalah
frasa nada-nada akan maut yang serupa Acep gunakan dalam konteks dan nama tempat
yang berbeda dalam beberapa puisi-puisinya. Di sinilah atmosfer melankolia sang
penyair dibangun. Hanya dentang lonceng sepi. Dari bukit yang jauh,
Borgo di Sulawesi Utara, ia juga pernah mampir di Pantai Kusamba yang terletak
di Bali“ Jika ombak semakin menggali laut, kesepian akan bergerak ke langit beku”
tambahnya, (Kusumba hal. 30). Lantas kesepiannya juga bergema di Dodoku Ali,
sebuah tempat di Ternate, Maluku Utara “Darahku yang beku kembali mencair,
ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi” pada puisi (Dodoku Ali hal. 47). Hanya
dentang lonceng sepi. Yang terus bergema dan hilang “ Sunyi sesaat
lampus” (Riau, hal.61) dan “Bergegas mencari sumber cahaya, untuk
menaklukan sunyi di rongga dada” (Mencari Perigi, hal. 48).
*
Saya pun
sebenarnya tak ingin sesumbar, tapi harus juga saya katakan kalau dominasi tema
akan kematian, kepergian, kehilangan dan sedu sedan sangat terasa dari awal
sampai akhir. Walaupun dalam beberapa buku kumpulan puisi Acep sebelum ini ada
juga yang bercerita tentang maut. Tapi pada buku puisi Membaca Lambang,
menjadi tumpah ruah. “Tapi kenangan lewat dari pikiran penat dan perasaan
letih. Waktu seakan mengendap. Ingatan tak ada lagi dan doa yang kuseret
tersangkut pada baris-baris nubuat. Lalu aku membayangkan surga yang penuh
parodi” (Mendaki Bukit Doa, hal.73). Juga “Kematian bukan terminal akhir
bagi penempuhan batin” (Natal Di Sintesa Peninsula, hal. 76). Atau “Kematian
yang seksi menyelinap ke balik sunyi” (Pelabuhan Paotere, hal. 23). Dan “Diam-diam
kau tarik sisa kain kafanku. Hingga telanjang seperti bayi” (Danau Lamboto,
hal. 41). Tambahnya lagi dengan puitis
ketika berziarah di kawasan Toraja Utara, di desa Sendan Uai, Londa, “Kematian adalah pesta. Kepergian adalah
tarian. Sedang kehilangan adalah tembang” (Ziarah Ke Londa, hal.19). Kadang
filosofis tentang imaji maut hadir dengan cara mengejutkan “Terpejam adalah
jalan panjang menuju pulang” (Di
Makam Hubulo, hal.40). Sangat terasa dan diperkuat ketika penyair berkunjung ke puncak Mahawu,
sebuah gunung yang indah di Sulawesi Utara, yang harus melewati 160 anak tangga
jika ingin ke puncak Mahawu “Aku hanya membilang bulan dan tahun pada jadwal
kematianku” (Tangga Ke Mahawu, hal. 74)
*
Buku puisi Membaca
Lambang dibagi oleh Acep dua bagian: Mencari Perigi (42 puisi) dan Membaca
Lambang (26 puisi) dipublikasikan Acep saat usianya kini 58 tahun dan
didedikasikan untuk sang Istri. Seperti
kekhasannya yang melulu terasa pada puisi-puisi Acep sebelum ini. Puisi-puisi
perjalanan, pastoral dan alam masih menjadi tema sentral sang penyair untuk
menemukan “Dunia baru yang tumbuh dalam kata-kata” (Di Makam Hubulo,
hal.40) “Pada Acep, alam dicerap bukan
sekedar sebagai latar fisik, melainkan pula latar batin” tulis Joko Pinurbo,
pada Kalam beberapa tahun lalu.
Tentu kekuatan personifikasi
citra puitika Acep pada buku puisi ini ada pada hal-ihwal pelukisan suasana dan
kepiawaianya memainkan imaji dengan cara yang cerkas dan lembut. Dalam namun
kita pahami. Acep tidak berjarak dengan situasi alam dan benda-benda di
sekitarnya. Ia sadar, ia adalah bagian dari alam itu sendiri. Membaca
Lambang, kita bukan hanya diajak untuk mengenali segala nama-nama tempat
yang pernah Acep ‘ziarahi’ dengan segala metafor-metafor yang mengejutkan, seperti
yang pernah dikatakan penyair Joko Pinurbo, pembaca diajak membaca latar batin
penyair Acep. Yakni pengalaman spiritualistik.. Acep sangat jelas memvisualkan
hal tersebut pada beberapa puisinya. Salah satunya terdapat pada bait ke 4 puisi
Mendaki Bukit Doa:
“Dawat telah
kering pena sudah patah
Dan doa yang
kugelindingkan
Tersandung
bongkahan-bongkahan batu
Yang tengah
ditatah seorang rahib
Menyerupai
anatomiku”
(Mendaki bukit Doa, hal. 73)
Mungkin baru pada
buku puisi inilah Acep kerap kali menuliskan tentang sosok Kembaran dirinya
pada beberapa puisinya. Dan kata-kata yang memiliki konotasi Kembaran gaib dari
sang penyair juga sangat terasa pada puisi Pelabunan Ampenan. Sebuah pelabuhan
tua, di Mataram, NTB.
“Kesanalah aku
berjalan.
Berjalan sambil
melepaskan Pakaian satu demi satu
Membuang lembar
demi lembar keyakinanku ke laut
Ke sanalah aku
berjalan sendiri menemui kembaranku
Yang merana.
Menjumpai kesepianku yang sempurna”
(Pelabunan
Ampenan , hal 37.)
*
Puisi sebagaimana
juga yang pernah dikatakan pemikir dan penyair romantik, Charles Brown kepada
karibnya, John Keats “Mampu
merekontruksi pengalaman filosifis menjadi citra visual yang tidak berjarak.
Sepenuhnya terserap dalam puisi” sepenuhnya
terserap dalam puisi. Inilah kekuatan vitalitas kata-kata penyair Acep
Zamzam Noor dalam buku puisinya kali ini, Membaca Lambang. Penggunaannya dengan skema sajak suasana dan citra yang terkompresi dengan baik
untuk membangkitkan dunia yang menggairahkan secara romantik. Untuk menarik kekuatan gambar puitis dalam
membuat pemandangan-pemandangan yang menakjubkan, hal itu bisa kita rasakan
jika kita secara serius memanjat bukit lambang dalam keseluruhan puisi-puisi
Acep Zamzam Noor. Sebagai pembaca puisi
Acep Zamzam Noor sejak masih remaja saya pun sangat mengapresiasi
hadirinya buku puisi Membaca Lambang ini, penanda penting bagi
perkembangan perpuisian di Republik ini.
Takjub aku membaca catatanmu atas bukit lambang azn. Terutama tntng kembaran itu
BalasHapusAgus Sahaja. Pekerja puisi baru
BalasHapusAgus Sahaja. Pekerja puisi baru
BalasHapusAgus Sahaja. Pekerja puisi baru
BalasHapuscacatan yang asik, membuka pintu-pitu dari bukit lambangnya azn dan luar biasa. Sehat terus kang acep..panjang umur.
BalasHapusmatur suwun mas Rendy. Sungkem.
BalasHapus