Oleh: Rendy Jean Satria
’Setiap puisi
adalah potret dari penyairnya
Yang di ujung
jalan, ia akan menyerahkan takdirnya
Pada langit dan
angan-angan. Kadang ada rasa takut
Untuk menuliskan
sebuah perasaan yang benar”
(Percy Bysshe
Shelley, English Romantic Poet)
*
Penyair itu selalu
duduk dipojok saat berlangsungnya perhelatan acara sastra yang dihadirinya. Ia
tampak khusyuk menatap sesuatu. Ia terlihat tidak begitu suka keramaian.
Sesekali berdiri, sesekali duduk kembali. Sesekali juga ia merokok dan di malam
harinya, ia biasa meminum wine untuk menghangatkan tubuhnya. Kadang kalau
persediaan wine nya habis, sang anak sering membawakan sebotol wine untuknya. Biasanya,
di setiap sedang melamun dan dada yang sering diamuk keresahan, ia menulis
puisi lewat gadgetnya. Saya menyukai kerendahan hatinya ketika ada kesempatan
berbincang dengannya. Kebetulan pada beberapa waktu lalu saya satu kamar dengan
sang penyair ketika ada acara Temu Sastrawan Provinsi MPU 2017 dan sempat satu acara juga pada Temu
Sastrawan Jawa Barat Terkini tahun 2013.
Saya senang
melihat penyair yang tidak dibuat-buat dalam tingkah lakunya. Karena dari sikap
itu saya jadi belajar tentang jalan kepenyairan yang tulus dan ikhlas “Di
dalam kegamangan seorang penyair melihat hari esok, berharaplah puisi di suatu
waktu yang jauh akan menyelamatkan hidupmu. Bersahabatlah dengan puisimu dengan
ketulusan yang ajaib” Ujar Ivan Kotliarevsky (lahir 1769) salah seorang
penyair Ukraina.
Kepenyairannya terus
berproses di dalam lubuk hati, tanpa ada orang yang mengusiknya. Penyair Atasi
Amin adalah penyair yang saya maksudkan di atas. Saya mengenalnya untuk pertama
kali lewat acara-acara sastra yang diadakan Majelis Sastra Bandung yang
digawangi oleh penyair Matdon (lahir 1966). Dan sekilas pernah membaca beberapa puisi
Atasi pada kumpulan puisi bersama penyair lain, pada antologi Muktamar (2003).
Awal mula setiap bertemu dengan Atasi kami hanya saling menggangukan kepala.
Entah kenapa, tapi anggukan kepala saya selalu dibalas Atasi dengan anggukan
kepala juga. Membuat kami dekat secara batin lewat anggukan kepala
masing-masing.
*
Sebagai salah
seorang penyair senior di Jawa Barat. Atasi adalah penanda yang harus dicatat
dalam perjalanan kesusastraan modern Jawa Barat. Yang jalan kepenyairannya
sudah ditempa sejak masih SD. Atasi lahir pada 21 Juni 1966. Sekitar
pertengahan tahun 1970an, ketika ia masih berusia 10 tahun, Atasi kerap kali
bertemu dengan beberapa sastrawan ternama di rumahnya di Cicadas yang sengaja
bertandang untuk bertemu pelukis Jeihan (lahir 1938), sebut saja Remy Sylado (lahir
1945), Sapardi Djoko Damono (lahir 1940), Abdul Hadi WM (lahir 1946), dan
Sutardji Calzoum Bahri (lahir 1941), dengan menyebut beberapa nama. Yang kini
sumbangsih mereka terhadap kesusastraan Indonesia modern sangatlah berarti.
Beruntung bagi Atasi
yang sering bertemu dengan mereka dan melihat para sastrawan tersebut
berbincang-bincang tentang sastra atau seni di teras depan rumah Jeihan sampai
larut malam, yang di kemudian hari membentuk jalan kepenyairannya. Kadang,
Atasi kecil juga sering membacakan puisi-puisi terbaru Abdul Hadi WM, maupun
Sutardji Calzoum Bahri di hadapan mereka. Melihat Atasi kecil suka puisi,
Jeihan pun mulai melihat bakat sastra pada diri Atasi kecil. Yang setelahnya Atasi pun sering mengirimkan puisi-puisinya ke
beberapa media cetak yang ada di Bandung dan Jakarta. Salah satunya majalah Hai
dan Pikiran Rakyat. Di masa Atasi kecil suka puisi, gerakan puisi Mbeling
sangatlah populer di Bandung.
Saya tidak ingin
mengambil kesimpulan impulsif kalau Atasi terpengaruh pada gerakan tradisi puisi
Mbeling yang Jeihan adalah bagian penting dari gerakan itu. Dan saya rasa tidak
ada pengaruh yang begitu kuat dari style puisi Jeihan, sang Ayah. Puisi
Atasi dikemudian hari memiliki karakter yang berbeda dari Jeihan. Karakter ini
bisa kita lihat pada puisi Atasi yang memanfaatkan tradisi puisi Haiku dan
sesekali puisi Liris.
Jadi ketika Prof.
Jakob Sumardjo (lahir 1939) menulis pengantar pada buku puisi tunggal Atasi
yang berjudul Ke Pintu (Prive, 2004) kalau
puisi awal Atasi ada keterpengaruhan pada puisi-puisi Jeihan dalam ironi maupun
parodi. Saya melihat itu hanya romantisme sementara. Tinggal satu atap selama belasan tahun
bersama Jeihan. Tidak lantas, membuat Atasi harus seperti sang Ayah. Pengaruhnya
hanya terletak pada kemiripan wajah antara anak dan ayah, juga pada cara
menggangukan kepala. Selebihnya Atasi yang mengetahuinya.
*
Atasi mencari.
Pencarian itu terus diolah, diendapkan dan dimatangkan pada beberapa puisi-puisinya.
Dan menemukan napasnya pada puisi bertemakan cinta yang sedu sedan, peristiwa
keseharian, flora fauna dan sosial-politik, menjadi berkelindan. Kadang begitu sublim, kadang begitu melankolik,
kadang begitu humor. Khusus pada tema
sosial-politik di dalam puisi Atasi. Penyair Ahda Imran pernah menulis begini “terasa
ada pemaksaan pada kata untuk melayani hasrat-hasrat tematik yang dibebankan
padanya. Kata dianggap hadir sebagai objek yang diperintah, kendaraan untuk
sampai pada gagasan” tulis Ahda, pada epilog buku puisi Atasi Amin, Ke
Pintu.
Peristiwa sosial-politik
pada puisi Atasi adalah wajah yang acak, penuh kemungkaran, arus kelam politik,
gemuruh slogan, ada keperihan yang begitu kompleks. Agaknya inilah yang membuat
penyair Atasi begitu inferior pada kekuasaan dalam bahasa pemikir Jerman Walter
Benyamin (lahir 1892) bisa disebut sebagai ‘Inferior yang kolektif’. Sehingga Aku Lirik pada puisi Atasi begitu
kental dengan ironi, yang ia tarik untuk merespon realitas yang begitu gamang
Kalau Atasi
menulis puisi bertemakan sosial-politik, puisinya santai, terkekeh, dan terlihat
main-main tapi serius pada koridor yang tidak jatuh pada puisi dangdut murahan
yang riuh namun tak ada lirik yang berarti hanya menonjolkan tubuh luaran,
payudara yang bergelayut dan pantat besar yang bopeng-bopeng. Logika bahasa,
diksi dan bunyi pada sebagian puisi Atasi yang bertemakan sosial-politik, masih
diperhitungkan oleh penyair. Seperti puisi di bawah ini.
Garam
Laut kita
Tiba—tiba kering
Dan debu garamnya
Menghambur ke barat
Kita bingung
Kita import garam
Dan kita export pelayan
Menulis puisi
yang lucu, satire, sedikit ngebokep
dan bisa membuat orang tertawa, tidaklah mudah. Apalagi bagi mereka para
penyair yang menulis puisi dengan konsepsi keberaksaraan yang kukuh, bukan
keberlisanan. Nah, puisi-puisi Atasi, di bawah ini ada konsepsi keberlisanan.
Jika dibacakan akan membuat orang tertawa dan mesem-mesem sendiri. Tentu sudut
pandang penyair menjadi fondasi dalam mengungkapkan setiap kalimat. Agar
puisinya tidak menjadi humor kering, melainkan menjadi satu renungan dalam
melihat sesuatu.
Nasehat
Mau hidup sehat?
Jangan isap rokok,
Susu saja
Celana
Celana bocormu
Menggugah aku
Berkembang biak
Cinta 3
Cintaku
Di balik pintu
Cintaku padamu neng geulis
Cintaku padamu nani,
O cinta,o nani
O, nani
Onani
Cinta 2
Ada cinta dengan apa?
Dengan hati
Dengan bibir
Dengan tangan
Dengan sabun
Saya kutip
penjelasan Acep Zamzam Noor saat membahas sebagian puisi-puisi Atasi bernada
humor, layaknya seperti puisi di atas:
“Rasa humor,
barangkali ini juga harus selalu dipelihara oleh Atasi Amin jika ingin terus
melaju di jalur yang dipilihnya ini. Bukan berarti harus menulis puisi-puisi
lucu, atau menulis hal-hal aneh yang akan membuat orang tertawa. Melucu
bukanlah satu-satunya cara dalam menulis puisi mbeling. Rasa humor yang saya
maksud adalah sikap atau cara pandang seseorang dalam mengungkapkan sesuatu.
Tidak kaku, tidak formal dan selalu di luar dugaan. Rasa humor tidak selalu
berhubungan dengan keinginan melawak, tapi justru dengan kecerdasan dan
kecanggihan memainkan kata-kata. Seseorang yang mempunyai rasa humor itu
santai, tidak tegang, cuek, main-main, nakal tapi juga cerdas dan religius” tulis Acep
Zamzam Noor pada antologi puisi bersama berjudul Laut Merah, ketika Acep
membahas bagian puisi Atasi Amin.
Walaupun secara pribadi,
saya lebih suka ketika Atasi berbicara tentang cinta, Seperti puisi cintanya di
bawah ini. Mencerminkan kalau Atasi, salah seorang penyair liris yang patut
diperhitungkan.
Kekasih
Datanglah padaku, Kekasih
Biarkan buih belah rambut
Dan bukit tempat aku menepi
Membilang debur ombak
Nyanyian laut yang menang
Antara karang dan buritan
Berharap datang dari sumber
Dan hidup dalam
Sebab camar yang jaga
Di sepanjang pantai
Penyair memunguti senja
Bermil-mil perjalanan air mata
Akankah jadi cerita roman
Tertuang indah oleh bibir yang basah
Ataukah rasa salah
Datanglah kekasih
Temukan
Dan kekalutan
Atasi, juga kita bisa lihat pada puisinya yang berjudul ‘Luka’ seperti
ada resah yang remuk karena cinta.
Luka
Hujan sungguh deras
Disertai muntahan es
Taman-taman seperti terluka
Kami terbenam
Di kehangatan yang rakus
Tubuh-tubuh sunyi
Hasrat cinta
Tak ingin beku
Kami gemetar
Hujan sewaktu waktu berhenti
Menemu hati yang ngambang
Kemudian Atasi
juga masih resah karena keinginan yang kuat untuk mencintai seseorang yang
mungkin, sangat jauh di hadapannya. Seseorang yang pernah membuat Atasi
melakukan perjalanan bermil-mil jauhnya sambil meneteskan air mata. Mencari
seseorang yang kini entah berada di mana.
Dago
Jam 9 malam di simpang Dago,
Kau ada di mana,
Lampu-lampu berkelabatan dan dingin
Memasuki jalan terjal bukit pakar
Ta, mari kutemani,
Suara itu muncul
Mungkin suaramu, mungkin
Hujan yang buru-buru
‘Ta mari
kutemani’ adalah frasa yang membuat nyinyir siapapun yang
membaca puisi ini. Ruang bawah alam sadar Atasi pada puisi ‘Dago’,
terbawa arus romantisme yang begitu teguh namun gaduh pada masa di mana,
Simpang Dago menjadi salah satu ruang dalam kota Bandung, yang sangat personal
bagi Atasi.
Relasi antara
batas biografi Atasi di masa sekarang dan di masa lalu menjadi batasan yang
lebur. Saya membayangkan Atasi berjalan menggunakan jaket tebal dan syal yang
dilitkan di leher, di antara hujan dan derai air mata di dalam hati yang
berkecamuk, ketika ‘Memasuki jalan terjal bukit pakar’ namun yang Atasi
temukan adalah sedu sedan dalam hujan. Sosok pemilik suara itu, tidak pernah
bisa menemui Atasi. Atasi pun pulang, membawa beban muatan rindu tak berbalas,
tentu tanpa anggukan kepala.
Tidak hanya pada
puisi Dago saja, Atasi bersuara sendu. Dalam puisi Still Alive, juga Kau
adalah mimpi burukku/dengan tangan kau tutupi wajah/di selanya aku
mengintip/debu-debu bergegas. Juga
terlihat jelas pada puisi Ni, ni kau
begitu malu malu/kutunggu lama hadirmu/ni, kini aku yang sedih/mereka siapa
yang kau rindu/.
Rupanya, pada
puisi Atasi objek perempuan tidak ia jadikan perlambang atau simbol. Kita tidak
dituntut mencari makna yang terkandung di dalamnya. Ia melihat perempuan secara
realis, tidak abstraksi melainkan digambarkan dengan jelas.. Kejelasannya ini
bisa kita baca pada puisinya di atas. Nama-nama perempuan seperti Yanti, Yuni, Ni,
Ar, Rin menjadi sebuah potret eksistensi Atasi dalam merekam peristiwa-peristiwa
empirisnya. Penyingkatan pada 3 nama perempuan Ni, Ar, Rin (kecuali Yanti dan
Yuni) sebenarnya mengindikasikan kalau pertemuan mereka dengan Atasi begitu
singkat namun membekas.
Khusus puisi buat
Rin, saya melihat ada indikasi momen kesedihan yang sangat dalam. Saya kutip
puisinya yang berjudul Epitaph 1 dan Epitaph 2:
Epitaph 1
:Rin
Sekilas bintang atas pualam
Mencetak nama dengan berkas
Perak
Kerudung satinmu
Sambut
syair epitaph
Melambai bulan saga
O,ranting ranting yang bergetaran
Malam kian ngambang
Di pelupuk mata
Yang pernah terbaca
Sebagai ambang
Epitaph 2
Dari utara membujur ke selatan
Awan mengejar bentangan langit
Aku memanjat
Kemboja meluruh
Bergabung menunggang angin
Yang membisiki ke telinganmu
Bahwa senja membeku di batu
Dan pada puisi
inilah sesungguhnya saya masuk melihat potret diri Atasi Amin. Epitaph 1 adalah
salah satu puisi terkuat di dalam buku puisi Potret Diri. Merekam pergolakan
batin Atasi saat ditinggalkan seseorang. Puisi ini juga menggambarkan sisi
melankolis dari Atasi, dalam cinta. Suasana
yang dihadirkan pada Epitaph 1, menyiratkan kalau Atasi tidak mampu menyimpan
rasa harunya. Sehingga mampu melahirkan puisi yang begitu indah dan menjanjikan
bagi kesusastraan Jawa Barat.
Di mana setiap
kata, Atasi seleksi begitu ketat.
Menjaga unsur rima dan bunyi. Selain itu kita juga didekatkan pada renungan
religius pada puisi di atas. Ada kotemplatif yang dikristalisasikan oleh Atasi.
Suasana yang dihadirkan bukan hanya suasana luar fisik saja, melainkan suasana
di dalam batin Atasi Amin. Antara rela dan tidak rela, seperti ranting-ranting
yang bergetaran.
Hampir sebagian
besar, ketika Atasi mencantumkan nama-nama perempuan di bawah judul puisinya,
ada suara yang lain, raut wajah kesedihan, berakhir dengan ending duka lara
berkepanjangan. Dengan kata lain hasrat seorang Atasi berada pada keinginan
yang ia tahan selama mungkin. Sungguh inilah penantian yang paling menyakitkan.
Penantian seorang penyair.
*
95 Puisi Atasi
Amin yang kini terbit dalam sebuah antologi tunggal Potret Diri (Trubadur,
2017) di atas memiliki daya tarik lain yang cukup membius saya. Terutama
pada puisi-puisi cintanya. Terbitnya
buku puisi Potret Diri di usianya yang
ke 51 tahun menandakan kalau Atasi sangat menjaga intensitas kepenyairannya. Tanggung
jawabnya sebagai penyair masih kita bisa rasakan dengan hadirnya buku puisi Potret
Diri. Beberapa di antara puisi yang ada di Potret Diri sebagian besar
pernah muncul dibeberapa antologi bersama, koran dan buku puisi tunggal Atasi
sebelumnya. Semua puisi pada buku puisi Potret Diri tidak bertahun.
Saya sebagai
penyair muda Jawa Barat cukup senang ketika penyair-penyair senior saya di Jawa
Barat, masih memiliki tanggung jawab kepenyairan untuk menerbitkan buku puisi
terbarunya di usia senjanya. Seperti halnya Acep Zamzam Noor (lahir 1960),
ketika menerbitkan buku puisi “Berguru Pada Rindu” (Basabasi, 2017) di
usianya yang ke 57 tahun, Agus R Sarjono (lahir 1962) menerbitkan buku puisi “Surat-Surat
Kesunyian” (Komodo Books, 2016), di usianya yang ke 54 tahun, Ahda Imran
(lahir 1966), menerbitkan buku puisi “Rusa Berbulu Merah” (Pustaka Jaya,
2014) di usianya yang ke 52 tahun dan Soni Farid Maulana (lahir 1962) yang
menerbitkan buku puisi “Endapan Kabut” (KKK, 2017) di usianya yang ke 55
tahun. Sangat penting dalam menjaga napas kesusatraan Jawa Barat agar tidak
terserang asma dan sakit jantung.
Bandung, 24 November
2017
Esai saat bedah buku penyair Bandung Atasi Amin
Jackpotcity Casino and Hotel | JtmHub
BalasHapusDiscover the thrill 경기도 출장샵 of jackpotcity in our 김포 출장마사지 casino! 부산광역 출장마사지 The 과천 출장샵 excitement of 제주도 출장샵 playing at one of the leading gambling cities in the world. Jackpotcity Casino Hotel - Jackpot City.