Selasa, 31 Maret 2015

Malam Isbat


Kasmaranku padamu menjadi nisan-nisan kesabaran
Di kejauhan para kekasih menghayati jejak Ibrahim
Menarik diri dari keriuhan, mencari hurup-hurup yang
Ringan di lantai marmar rumahmu, di lampu yang remang-
Remang di antara surau-surau ada yang menceburkan diri
Dalam ayat-ayat kabut yang bergerak sedikit agak lamban
Dan riak air sungai jalan ini semakin dekat kepadamu

Kusentuh bulan isbat itu dengan tangan kananku
Dari malam ke malam, salam-salam terus berdatangan
Dari setiap cakrawala, dari wujud yang tidak terlihat
Sebuah rakaat pertama terjadi dan puisi-puisiku bertawaf
Menjadi bintik-bintik cahaya. Di halaman, tumpukan
Daun-daun kering menyimpan kepunahan waktu
Diam-diam maut bergerak cepat pada hari ini
Di sebuah kampung yang menuntunku bersujud
Yang mengerti bagaimana menyambut tamunya yang jauh

Di kejauhan lapisan cahaya meleleh
Merubah warna langit, merubah arah bintang
Menyelipkan isyarat demi isyarat untuk kita hayati
Jalan yang semakin sepi, udara yang semakin dingin
Dan bunyi putaran tasbih, membuka jalan untukmu
Dan aku tak bisa menolak kedatanganmu

#Salah satu puisi yang dimuat di Koran Indopos (Jakarta) 
Tanggal 29 Maret 2015

Senin, 02 Maret 2015

Malam Itu Saya Mengenal Penyair Agus R Sarjono (I)

Oleh Rendy Jean Satria


Pertemuan terpenting dalam kehidupan jalan kepenyairan saya, salah satunya bertemu dengan penyair Agus R Sarjono. Pertemuan itu terjadi pada tahun 2006,  ketika saya masih kelas 2 Aliyah di pondok pesantren Al-Quran Al-Falah 2 di Nagreg.  Malam hari ketika kami para santri, selesai mengaji pengajian umum tafsir munir karangan Imam Nawawi (Semoga Allah menjaga beliau, di sisi-Nya). Saya masuk ke dalam kobong. Saya sudah sangat ngantuk waktu itu. Tiba-tiba Kakak kelas saya yang bernama Wendy Kusmayadi (kini jadi desainer dan komikus) memberikan buku puisi  berjudul "Suatu Cerita Dari Negeri Angin" cetakan ke dua. (saya terdiam sejenak), karena belum membaca buku puisi itu. "Ini buku puisi aneh, kau harus layak membacanya, Ren" kata Wendy. Saya masih terdiam. Lalu Wendy, yang kemudian saya baptis sebagai guru tak langsung puisi saya. Bercerita banyak tentang buku itu. Lalu saya penasaran. Saya pinjam buku itu. Lantas saya membacanya, larut dan tenggelam dalam puisi-puisi Agus R Sarjono.

Di saat itu entah kenapa saya merasa terhipnotis dengan kalimat-kalimat dari buku puisi itu. Bahasanya jernih, penuh humor dan unik, sekaligus puitik. Satu halaman, dua halaman, tiga halaman, empat halaman dan selanjutnya saya larut dan terbawa ke dalam metafora-metafora Agus R Sarjono. Puisinya penuh perlambang, persona dan citra visual. Dialog-dialog dalam puisinya juga terkesan tak biasa, bagi pembaca seusia saya (15 tahun) waktu itu. Puisi Agus banyak berdialog dengan benda-benda yang Agus hidupkan dengan humor hitam. Benda-benda itu diberi nyawa oleh Agus, dan sesekali benda-benda itu mengeluh, kesakitan dan kesepian. Puisi-puisinya sangat ganjil, ucap saya dalam hati. Di dalam kata pengantar buku puisi itu, Agus R Sarjono, sempat membocorkan  "sebenarnya, saya ingin menulis sajak dengan gaya dan tema yang lain". Dan salah satu puisi Agus R Sarjono, yang sering saya takbirkan dan saya sukai, yang sering saya bacakan untuk para santri-santri putri adalah puisi yang berjudul "Saat Untuk Cinta"  Karena saya mempunyai bakat improv, semasa menjadi santri, saya sering improv membaca sajak indah itu, "Inilah waktu untuk dunia yang halus dan malam syahdu. Rumah yang tentram, teh manis keemasan dan air putih yang bening. Piano gemerincing seperti uang logam berjatuhan dari kantung celana masa kanak-kanak kita. Inilah waktu untuk kicau burung dan kupu-kupu" 

Dan semenjak saya jatuh cinta dengan sajak-sajak Agus R Sarjono, otomatis saya pun memburu tulisan-tulisannya selanjutnya, termasuk yang ada di majalah sastra horison. Waktu itu, saya belum tahu sama sekali, kalau ternyata penyair Agus R Sarjono, berdomisili di Cimanggis, Depok, yang jarak rumahnya hanya berjarak 1 kilo meter dari rumah saya. Saya baru ngeh ketika setelah lulus pesantren, saat saya masuk STSI Bandung (Agus R Sarjono, juga salah satu staf pengajarnya di STSI). Saya baru tahu dari alamat para dosen yang tercantum di buku saku untuk mahasiswa baru waktu itu.  Ini suatu kebetulan. Dan saya bahagia dengan kebetulan itu. Ternyata penyair ini tinggal satu kecamatan sama saya, begitu kira-kira saya bicara dalam hati. Setidaknya dengan peristiwa kebetulan itu, saya bisa lebih dekat melihat aktifitasnya sebagai penyair. Seperti yang pernah diucapkan Jorge Luis Borges, penyair muda yang berbakat, pasti akan bertemu dengan penyair senior yang berbakat. Ia akan diketemukan oleh hal-hal di dalam dan di luar puisi. Semenjak saat itu, saya jadi banyak belajar dari Agus R Sarjono. Perkataan dari beliau yang saya ingat dan saya terapkan betul adalah "Seorang penyair yang baik, adalah ia menulis dengan kejujuran" 

Dan dari sembilan tahun yang lalu, semenjak saya bertemu secara imajiner dengan Agus R Sarjono, sampai saat ini, hampir setiap waktu saya mengunjungi dan mampir ke rumah beliau. Berbicara tentang perkembangan hal-hal yang mengenai puisi. Kesan pertama kali menyambangi ruang kerja puisi penyair Agus R Sarjono adalah suasana puitik kepenyairan terasa sekali. Energi puisi. Saya mempunyai moment saat pertama kali berkunjung ke rumahnya:

Saat empat tahun yang lalu pertama kali berkunjung ke rumah sang penyair. Waktu itu malam, Depok sedang diguyur hujan. Saat masuk ke ruang kerja kepenyairannya. Buku-buku berderet, sebagian dibiarkan menumpuk di lantai, di meja, di sofa, di ruang tamu. Terdengar musik jazz yang agak sendu, dari pojok meja kerja sang penyair. Tiga bungkus rokok filter dan satu bungkus marlboro, tampak berantakan di meja kerjanya. Puntung-puntung rokoknya memenuhi asbak. Beberapa piagam, piala, penghargaan dan poster-poster acara kepenyairan berderet sejajar di atas rak buku. Buku puisi terjemahan dari penyair dunia seperti Derrek Walccot dan Remco Campert, ada di dekat komputernya dan dibiarkan terbuka. Satu rak khusus juga penuh oleh buku-buku puisi dari penyair dunia, seperti buku penyair Sylvia Plath, Breyten Breytenbach, Pablo Neruda, Octavio Pazz, W.B Yeats, Wole Soyinka, Walt Whitman. Tampak dari itu semuanya, Agus R Sarjono adalah pembaca tekun perkembangan puisi dunia. Di sisi kiri depan ada dua buah bingkai foto penyair dunia yang sedikit agak miring terpasang di tembok-tembok.  Sesekali sang penyair itu, melantunkan sajak-sajak cinta Chairil Anwar di depan komputernya. Selebihnya kadang dengan tatapan sendu ia melamun ke luar jendela, yang halamannya dipenuhi rumput-rumput segar. Hujan waktu itu masih bertahan. Dan sang penyair itu, sangat dalam menarik sebatang rokok filternya. Seperti ada yang dipikirkannya. Entah apa. Ruangan itu, bukan ruangan biasa. Ruangan itu, ruangan milik seorang penyair!



2015   


Agus R Sarjono bersama sahabat abadinya
Berthold Damanshauser di Lagenbroich (2001)
*Dokumentasi foto penulis 

Minggu, 01 Maret 2015

JURNAL SAJAK EDISI 11 (Maret 2015)

DUA SAJAK TERBARU RENDY JEAN SATRIA
DI JURNAL SAJAK EDISI 11
MARET 2015
Judul Puisi "Aku Pernah Bersamamu" dan "Dari Luar Pagar"

Sajak-sajak dari penyair Indonesia yang dimuat dalam Jurnal Sajak edisi 11: Sitor Situmorang, Emha Ainun Nadjib, Iman Budi Santosa, Saini KM, Rendy Jean Satria, Mira Antigone (Mira MM Astra), Yehuda Benhur, dan Didik Siswantono.