Senin, 19 Januari 2015

HIJAB (Review Film Hijab)

Oleh Rendy Jean Satria


"There are secrets in all families"
(Jane Austin)



Kita perlu film dengan kualitas cerita dan kualitas gambar yang sama-sama mumpuni. Ketika dua hal itu menjadi satu, tak bisa tidak, film tersebut dipastikan akan menarik dan berbobot. Karya-karya film Hanung Bramantyo, selama ini saya rasa ada pada dua hal itu. Dan itu juga terlihat untuk film terbarunya, Hijab (Dapur Film dan Ampuh Entertainment 2015).  

Barangkali film Hijab ini, adalah sesuatu yang selama ini menggelisahkan Hanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca (penggagas cerita). Hijab, di Indonesia sendiri pun, masih ambigu Antara fashion kekinian atau faktor perintah agama.  Hanung, membaca gejala itu dengan cerdas - meskipun dalam arti yang defensif: Hijab sebagai identitas kultural kaum muslim perempuan. Disajikan oleh Hanung dalam bentuk komedi muslim. 

Film Hijab bercerita tentang empat orang perempuan, Sari (Zaskia Adya Mecca), Tata (Tika Bravani)  Bia (Carissa Puteri) dan Anin (Natasha Rizky) dibuka dengan teknik monolog wawancara di depan kamera, mereka bercerita tentang awal mula mereka memakai hijab, merintis karir dan bekerja tanpa sepengetahuan suami.  Ada yang terjebak pada satu peristiwa, ada yang menutupi rambutnya yang botak, dan ada yang tak sengaja bertemu dengan pasangan keturunan arab yang ketat dalam berpandangan.  Sari yang bersuamikan Gamal (Mike Lucock), laki-laki keturunan arab yang apa-apa dikerjakan sang istri harus sesuai perintah agama. Tak boleh bekerja, dan terpenjara dalam kata-kata yang ambisius dari sang suami. Haram, haram, haram. Bia, yang  bersuamikan Matnur (Nino Fernandez) artis sinetron yang terkenal, yang tak rela kalau sang Istri bekerja karena penghasilannya sebagai artis cukup mampu membiayai mereka, Tata, yang bersuamikan Ujul (Ananda Omesh) fotografer jurnalistik yang idealis dan hanya Anin, yang belum menikah dan berpacaran dengan sutradara nyentrik Chaky (Dion Wiyoko).

Kehidupan mereka para istri, melulu ditopang oleh penghasilan sang suami. Suami di sini, saya kira simbol kemakmuran dan istri, sebagai simbol penerima awal dari kemakmuran itu. Tapi, tak sampai di situ saja, kegelisahan para istri, adalah mereka ingin bekerja, tanpa sepengetahuan suami, tanpa modal dari suami. Berawal dari kegelisahan itu. Para istri-istri pun bekerja dengan membuka penjualan online, yang berfokus pada penjualan hijab. Dan dari di sinilah semua konflik parodi ini bermula dan berhasil menciptakan adegan-adegan peta umpet ala arahan Hanung. Saya rasa mengena. Penonton pun diajak untuk cair  dari prolog sampai epilog di dalam film Hijab, karena sajiannya yang lucu dan humor. Film ini bisa dipahami dengan baik oleh penonton. 

Sebagai penggaggas cerita film Hijab, Zaskia Adya Mecca, seperti ingin mewakili para karakter perempuan di Indonesia yang berhijab, mengkritik tentang batasan-batasan seorang perempuan, dan menjawab kegelisahan para istri yang menjalani karirnya. Dengan kerja kreatifnya yang cerdas, berani dan nyeletuk, film ini tersampaikan dengan santai dan tidak tegang. Gambar-gambar diciptakan dengan struktur yang menarik, cerah, berwarna. Sangat estetik dan artistik.

Dan saya yang selama ini mengikuti film-film Hanung Bramantyo, merasa terobati kerinduan saya, mengenai film-film Hanung Bramantyo, yang penuh celetukan komedi satire, menggelitik, kembali ke awal-awal film Hanung, seperti Jomblo (2006) maupun Get Married (2007). Saya meyakini, Hanung dengan segala referensi bacaan-bacaannya yang meluas, yang selama beberapa tahun terakhir film-filmnya bernada serius, nyeleneh, kontroversi dan filosofis. Mampu kembali menghadirkan film komedi cerdas ala Hanung, lewat Film Hijab. Awal Tahun 2015, film Indonesia, dibuka dengan cukup mengesankan.


 2015.

1 komentar: