Kamis, 07 Juli 2011

Teori Bulu Kuduk AZN

                                                              Oleh Rendy Jean Satria


“Puisi tak sesederhana buang ingus di trotoar
Menulis puisi butuh kekhusyuan, penghayatan
Pengendapan dan pendalaman”
(Acep Zamzam Noor, hal 206)


Bagaimana seharusnya menulis puisi yang baik? bagaimana kiat-kiatnya menjadi seorang penyair yang baik, yang tidak bernafsu mengejar popularitas saja melainkan harus butuh kesabaran dan intensitas kekhusyuan untuk mendapat gelar mulia itu? bagaimana menghadirkan semangat pemicu kreatifas untuk menulis puisi? bagaimana ukuran seseorang seharusnya menilai puisi yang baik? apa yang mendasari Acep Zamzam Noor (AZN) pada akhirnya secara guyon menemukan sebuah teori “bulu kuduk” dalam percaturan sastra puisi Indonesia, yang banyak “diamini” para pengamat sastra? apa juga yang mendasari Acep Zamzam Noor, banyak menganti nama penyair-penyair muda yang datang kepadanya? Acep Zamzam Noor, seperti menemukan jawabannya sendiri yang ia tuangkan, di dalam sebuah buku barunya yang berjudul “Puisi Dan Bulu Kuduk” sebuah buku yang menghimpun 26 esai yang renyah, ringan, padat dan menggoda. Perihal apresiasi sastra dan proses kreatif. Acep, dengan kaca mata pisau “bulu kuduknya” menangkap, menganalisis dan mengungkapkan pikirannya dengan gaya khasnya mengenai puisi dan tentang moment-moment tertentu tentang makna kepenyairan, pertemuan dan teman-teman sebayanya, dalam satu kesatuan tulisan yang gurih untuk di baca. “Cep, teori bulu kudukmu itu perlu diterbitkan biar akedemisi mendapat pencerahan” kata kritikus sastra, Maman S.Mahayana, suatu ketika. Yang menjadi awal buku ini di terbitkan

Acep Zamzam Noor, di dalam buku esainya tersebut menegasikan dengan tegas mengenai pokok permasalahan yang sangat sakramen tentang puisi dan beberapa masalahnya. Puisi, sebagai media maupun puisi sebagai ruang sakral baginya, selama ini menjadi satu permasalahan yang sangat penting untuk di bicarakan olehnya. Ia masih percaya pada kekuatan puisi, masih terus setia mendalami, menyelami “kekharismatikan” puisi yang pernah ia sebut “sebagai mahluk aneh” itu. 26 esai, tersebut kebanyakan adalah tulisan-tulisannya sewaktu memberi kata pengantar pada antologi puisi, paper pada sebuah seminar kesusastraan nasional maupun internasional dan ada juga beberapa esai yang pernah di muat di beberapa media.

Teori “bulu kuduknya”, tidak terlalu cendekia, malah terlihat guyon. Tidak terlalu ilmiah, tapi butuh perenungan. Dengan begitu,  teori “bulu kuduknya” meruang ke dalam ruang-ruang sastra yang selalu terlihat serius, ia mencoba membuat kegairahan yang baru yang piramidal, melebur dengan teori-teori kesusastraan barat yang senantiasa membuat kita terpesona. “puisi yang baik, adalah puisi yang membuat bulu kuduk saya merinding” cetus Acep Zamzam Noor, suatu ketika. Orang bisa saja, menolak gagasan Acep, tentang teori bulu kuduknya. Dengan begitu, ada semacam dialektika yang di bangun, ada penyanggahan. Karena Acep Zamzam Noor, bukanlah seorang kritikus sastra. Ia seorang penyair dan pemikir kesusastraan, yang ingin menyampaikan sesuatu yang segar, tidak muluk-muluk. “penyair tak lain adalah pemikir, karena dia penanya” kata Prof. Jakob Sumardjo, dalam kata pengantar buku tersebut      

Acep Zamzam Noor, memang tidak pernah sama sekali menerbitkan tulisan-tulisan esainya dalam bentuk buku yang menurut pengakuannya sendiri di dalam kata pengantar, ia seperti tak punya keinginan kuat atau niat menulis sesuatu di luar puisi. Jadi dengan kata lain, selain merindukan puisi-puisi Acep Zamzam Noor, kita juga menantikan esai-esai yang di tulis olehnya. Secara pas dan gamblang dengan tidak memihak kepada golongan tertentu. Ia dengan kepekaan intuitifnya sebagai seorang penyair, mampu menghadirkan esai-esai yang objektif dan riil. Dimana, di dalam esainya ia dengan berani mengkritik, sekaligus memuji  puisi-puisi Goenawan Mohamad, yang pernah muncul pada edisi bulan juli 1990, (sepuluh puisi Goenawan Mohamad, hal 42) yang menurutnya, kemunculan puisi Goenawan kali ini, tidaklah terlalu istimewa karena kita terlalu berharap mengenai sesuatu yang baru darinya.  Ia juga mengambarkan, sosok Saini K.M (Posisi Saini,  hal 32) yang ia kupas panjang lebar adalah ahlak dari Saini sebagai kiblat untuk calon penyair dan ia juga membahas secara detail puisi-puisi Saini seperti Nyanyian Tanah Air, Kepada Penyair Muda dan Kota Kelahiran,  yang membuat bulu kuduknya sampai berdiri

AZN dan “teori bulu kuduknya” juga merambah ke persoalan mengenai bagaimana menumbuh kembangkan semangat kreatifitas (kreatifitas dan pemicunya, hal 210) salah satunya yang pernah di lakukan kelompoknya yaitu SST di Tasikmalaya pada tahun 2004 sebuah upaya merespon pemilu raya di Tasikmalaya. SST meresponnya dengan cara kreatif dengan mengadakan konvoi menggelar pembacaan puisi dan workshop, yang di beri nama “penyair memilih puisi dalam pemilu 2004”. Di dalam sebagian esai-esai Acep, kita juga di ajak olehnya. Mengembara ke dalam romantisme pengalaman yang menggoda tentang teman dan sahabatnya. Ia pernah sangat kehilangan sangat mendalam, ketika sahabat karibnya, penyair Beni R. Budiman meninggal dunia 2002 silam, (BRB, hal 103). Ia juga tersentak kaget, saat seseorang meminta kepadanya memberi pengantar dalam buku puisi Irzadi Mirwan (in memoriam Irzadi Mirwan hal 110), mahasiswa ITB dan aktivis yang meninggal dunia di sebuah gunung di Jawa Barat pada tahun 1981 silam, yang ternyata di masa mudanya juga menulis puisi.


Esai-esai dari Acep Zamzam Noor, memang menghadirkan sebuah sisi keintelektualan dari penulisnya sendiri yang memang sudah di kenal terlebih dulu sebagai penyair dan pelukis. Puisi-puisinya dan karya lukisannya, seperti juga esai-esainya, selalu menghadirkan sebuah kejujuran, kesederhanaan dan juga kekayaan pengalaman darinya. Tulisan esainya seperti pemandangan lanskap yang sejuk, angin sepoi-sepoi yang mampu membuat bulu kuduk pembacanya berdiri. Kumpulan esai, “puisi dan bulu kuduknya” adalah sebuah tawaran darinya, perihal kesusastraan dan konsep dasar perihal puisi yang baik yang mampu membuat bulu kuduk pembacanya berdiri. Teori bulu kuduknya, tidak sampai menjelimetkan pikiran, tidak perlu catatan kaki saat memikirkan teori bulu kuduknya. Acep Zamzam Noor, sudah melebihi pada tahapan itu. Esai-esainya semacam sebuah pembuktian darinya. Bahwa diam-diam, ia juga penemu teori kesusastraan yang nantinya pasti banyak diamini orang. ***


Bandung, 7 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar