Minggu, 10 Maret 2019

Menikmati Puisi Rendy Jean Satria (suluk cinta dari profan ke transendental)



Oleh: Yuyun Wahyudin

(Guru MA Al-Falah dan Penulis Buku Biografi Best Seller KH. Ahmad Syahid)



lautan rindu
debar di akhir pekan
suluk pujangga

Haiku Yuyun Wahyudin buat RJS

Sejatinya. pagi ini saya hadir bersama dengan RJS (Rendy Jean Satria) di halaqah ini untuk saling menyapa,  membesarkan anak-anak yang lahir dari pikiran dan rasa yang kami miliki, anak-anak yang kami sebut dengan puisi. namun kehendak Tuhan berkata lain,  saat ini kami tidak bisa bersua. salam silaturahmi selalu

Rendy Jean Satria adalah santri khowariqul adat, santri yang berbeda dengan style santri di zamannya, ia nyeleneh,  mungkin banyak orang yang tidak permisif dengan prilakunya,  itu kesan pertama yang dapat saya baca (sebagai guru)  mengenai dia. Hal itu tercermin dari kesukaanya untuk membaca karya sastra bahkan filsafat yang tidak lazim bagi santri pada waktu itu,  namun justru hal inilah yang telah mendorongnya aktif menulis puisi sehingga namanya pantas untuk disebut sebagai penyair.

Diawali dengan karyanya yang pertama yaitu kumpulan puisi dari "kota lama" yang secara umum memotret tempat-tempat yang pernah ia singgahi,  sehingga karya yang satu ini lebih bernuansa sebagai puisi lawatan. alhamdulillah, tahap berikutnya lahir lagi anak puisinya yang baru yaitu Pada Debar Akhir Pekan,  sebagai pembaca saya menikmati puisi-puisinya, yang ada di buku ini.

Sekarang, pada kebanyakan atau setiap puisinya RJS mencoba memberikan magnit profetis transendental semacam nilai nilai ukhrowy dan ilahiyah, tidak profan semata seperti tercermin dalam beberapa puisi berikut ini

Cipicung Malam Hari,  Putaran Tasbih,  Keiklasan Tak Berwaktu, Sembahyang, Malam Isbat, dan Tujuh Mata Air , terasa sekali nilai spiritualnya,  bahkan sebagai penikmat puisi saya menangkap aroma yang sama ada pada puisi Pada Debar Akhir Pekan itu sendiri. meskipun setiap pembaca punya kebebasan untuk menafsir apa yang ada di balik puisi ini; 

".....Katakanlah,  tidak ada yang bisa melindungi
Kesepian sepasang kekasih,  selain bertemunya
Dua wajah yang saling mencintai
Di ambang debar dan tubuh yang dingin

Mungkin banyak orang menduga RJS sedang menceritakan pengalamannya, hatinya selalu berdebar diakhir pekan manakala janjian untuk bertemu kekasih pujaannya,  ada semacam dag dig dug di jantungnya. Intinya obat kesepian adalah pertemuan dengan sang kekasih,  dan selalu ada debar disampingnya.  Namun demikian pembaca lainnya bisa saja memberikan tafsiran yang berbeda

RJS telah sukses menjadi penyair,  tapi tidak dengan urusan cintanya, ia banyak menemukan gelombang bahkan karang,  hingga cintanya terkapar di tepi pantai kesepian.... maka satu satunya jalan adalah menyandarkan cintanya pada sumber Cinta yaitu tuhan, dengan cara mendekat-Nya setiap saat berbisik munajat pada-Nya untuk menghilangkan  segala ketakutan ia alihkan cintanya yang profan menjadi transendental,  seperti terasa pada bait bait puisi berikutnya

"Pertemuan menjadi alasan terbaik
Untuk menampung ketakutan
Sebelum langit menjadi hambar
Dan jarak kian lebar
Kuletakan harapanku di bibirmu
Menggali ruang,  membukakan jendela
Meresap dalam menit dan jam"

terakhir,  saya sampaikan selamat menikmati sajian kata kata,  semoga penuh kebermaknaan dan semoga sang penyair segera menemukan pelabuhan cintanya.

Nagreg, 03 Maret 2019

Rabu, 06 Februari 2019

MEMANJAT BUKIT LAMBANG PENYAIR ACEP ZAMZAM NOOR


Oleh: Rendy Jean Satria





“Kematian telah usai dimainkan sepasang burung
Adegan-adegan yang menegangkan itu berlalu sudah
Panggung kembali kosong. Hidup di dunia sekedar jeda”
(Ziarah Ke Bukit Borgo, hal. 75)



Penulis: Acep Zamzam Noor
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Oktober, 2018
Ilustrasi sampul dan isi: Suku Tangan
96 hlm
Puisi kerap kali mampu mengabadikan nama-nama tempat yang pernah begitu berarti bagi penyairnya. Nama-nama tempat itu kadang dihadirkan oleh penyair dengan sentuhan-sentuhan imaji dan frasa yang mengejutkan. Tentu untuk merumuskan kembali pengalaman di tempat tersebut perlu dibutuhkan persoalan rasa dan ketakjuban pada benda-benda sekitar yang mendorong perangkat puitika sang penyair baik secara intuitif maupun estetik bekerja menciptakan konstruksi puisi yang utuh. 

Hanya penyair yang memiliki kepekaanlah yang mampu menuliskan nama-nama tempat yang jauh bahkan muskil dikenali dari biografis pembaca menjadi sangat dekat dan seakan-akan kita diajak mengembara dalam marwah kata-kata sang penyair. Dari Walennae, Pettae, Bedugul, Pineleng, Londa, Gorontalo, Toraja, Paotere Singkawang, Kusumba, Senggarang, Bintan,  Penyengat, Riau, Celukan Bawang, Tapulaga, Gunung Lokon, Besakih, Mahawu, Selat Malaka, bergerak ke Kyoto, Ayabe, Nagoya, dan  marwah ini berujung  ketika penyair ke Bokori, sebuah nama pulau eksotis di Sulawesi Tenggara “Aku menyebrang ke batas territorial rindu”  (Menyebrang ke Bokori, hal 93.). Batas ini pada akhirnya membuat perjalanan sang penyair hanya “Dimana aku membayangkan semuanya sebagai orkestra sunyi”  (Menyebrang Ke Bokori, hal.93).


*

Style romantik pada nama-nama tempat dengan modus akan maut itulah yang saya tangkap coba dihadirkan penyair Acep Zamzam Noor dalam buku puisi terbarunya Membaca Lambang (Gramedia Pustaka Utama, 2018).  Beberapa nama agung dalam dunia kepenyairan kerap menggunakan siasat serupa seperti Dylan Thomas, Ted Hughes, Sergei Yessenin, Percy Bysshe Shelley, dan Sitor Situmorang,  Salah satu bait puisi Ziarah Ke Bukit Borgo (hal.75) yang sengaja saya kutip di awal menjadi kunci masuk dalam membaca keseluruhan 68 puisi Acep yang termaktub pada buku puisi Membaca Lambang. “ Undakan batu itu membaca takdirnya sendiri. Pada setiap langkah kaki pengiring jenazah” katanya. Kemudian, “Bunga kemboja yang gugur itu mencatatkan umurnya pada tanah basah”  dan suasana murung itu kembali dipertegas Acep  “Hanya dentang lonceng sepi”  Borgo sendiri adalah nama sebuah suku dari bagian Minahasa, suku ini berdiam di Sulawesi Utara.

Lalu terasalah frasa nada-nada akan maut yang serupa Acep gunakan dalam konteks dan nama tempat yang berbeda dalam beberapa puisi-puisinya. Di sinilah atmosfer melankolia sang penyair dibangun. Hanya dentang lonceng sepi. Dari bukit yang jauh, Borgo di Sulawesi Utara, ia juga pernah mampir di Pantai Kusamba yang terletak di Bali“ Jika ombak semakin menggali laut,  kesepian akan bergerak ke langit beku” tambahnya, (Kusumba hal. 30). Lantas kesepiannya juga bergema di Dodoku Ali, sebuah tempat di Ternate, Maluku Utara “Darahku yang beku kembali mencair, ketika ruap kopi meluruhkan kabut sepi”  pada puisi (Dodoku Ali hal. 47). Hanya dentang lonceng sepi. Yang terus bergema dan hilang “ Sunyi sesaat lampus” (Riau, hal.61) dan “Bergegas mencari sumber cahaya, untuk menaklukan sunyi di rongga dada” (Mencari Perigi, hal. 48).

*

Saya pun sebenarnya tak ingin sesumbar, tapi harus juga saya katakan kalau dominasi tema akan kematian, kepergian, kehilangan dan sedu sedan sangat terasa dari awal sampai akhir. Walaupun dalam beberapa buku kumpulan puisi Acep sebelum ini ada juga yang bercerita tentang maut. Tapi pada buku puisi Membaca Lambang, menjadi tumpah ruah. “Tapi kenangan lewat dari pikiran penat dan perasaan letih. Waktu seakan mengendap. Ingatan tak ada lagi dan doa yang kuseret tersangkut pada baris-baris nubuat. Lalu aku membayangkan surga yang penuh parodi” (Mendaki Bukit Doa, hal.73). Juga “Kematian bukan terminal akhir bagi penempuhan batin” (Natal Di Sintesa Peninsula, hal. 76). Atau “Kematian yang seksi menyelinap ke balik sunyi” (Pelabuhan Paotere, hal. 23). Dan “Diam-diam kau tarik sisa kain kafanku. Hingga telanjang seperti bayi” (Danau Lamboto, hal. 41).  Tambahnya lagi dengan puitis ketika berziarah di kawasan Toraja Utara, di desa Sendan Uai, Londa,  Kematian adalah pesta. Kepergian adalah tarian. Sedang kehilangan adalah tembang” (Ziarah Ke Londa, hal.19). Kadang filosofis tentang imaji maut hadir dengan cara mengejutkan “Terpejam adalah jalan panjang menuju pulang  (Di Makam Hubulo, hal.40). Sangat terasa dan diperkuat  ketika penyair berkunjung ke puncak Mahawu, sebuah gunung yang indah di Sulawesi Utara, yang harus melewati 160 anak tangga jika ingin ke puncak Mahawu “Aku hanya membilang bulan dan tahun pada jadwal kematianku” (Tangga Ke Mahawu, hal. 74)

*

Buku puisi Membaca Lambang dibagi oleh Acep dua bagian: Mencari Perigi (42 puisi) dan Membaca Lambang (26 puisi) dipublikasikan Acep saat usianya kini 58 tahun dan didedikasikan untuk sang Istri.  Seperti kekhasannya yang melulu terasa pada puisi-puisi Acep sebelum ini. Puisi-puisi perjalanan, pastoral dan alam masih menjadi tema sentral sang penyair untuk menemukan “Dunia baru yang tumbuh dalam kata-kata” (Di Makam Hubulo, hal.40)  “Pada Acep, alam dicerap bukan sekedar sebagai latar fisik, melainkan pula latar batin” tulis Joko Pinurbo, pada  Kalam beberapa tahun lalu.

Tentu kekuatan personifikasi citra puitika Acep pada buku puisi ini ada pada hal-ihwal pelukisan suasana dan kepiawaianya memainkan imaji dengan cara yang cerkas dan lembut. Dalam namun kita pahami. Acep tidak berjarak dengan situasi alam dan benda-benda di sekitarnya. Ia sadar, ia adalah bagian dari alam itu sendiri. Membaca Lambang, kita bukan hanya diajak untuk mengenali segala nama-nama tempat yang pernah Acep ‘ziarahi’ dengan segala metafor-metafor yang mengejutkan, seperti yang pernah dikatakan penyair Joko Pinurbo, pembaca diajak membaca latar batin penyair Acep. Yakni pengalaman spiritualistik.. Acep sangat jelas memvisualkan hal tersebut pada beberapa puisinya. Salah satunya terdapat pada bait ke 4 puisi Mendaki Bukit Doa:

“Dawat telah kering pena sudah patah
Dan doa yang kugelindingkan
Tersandung bongkahan-bongkahan batu
Yang tengah ditatah seorang rahib
Menyerupai anatomiku
 (Mendaki bukit Doa, hal. 73)

Mungkin baru pada buku puisi inilah Acep kerap kali menuliskan tentang sosok Kembaran dirinya pada beberapa puisinya. Dan kata-kata yang memiliki konotasi Kembaran gaib dari sang penyair juga sangat terasa pada puisi Pelabunan Ampenan. Sebuah pelabuhan tua, di Mataram, NTB.

“Kesanalah aku berjalan.
Berjalan sambil melepaskan Pakaian satu demi satu
Membuang lembar demi lembar keyakinanku ke laut
Ke sanalah aku berjalan sendiri menemui kembaranku
Yang merana. Menjumpai kesepianku yang sempurna”
(Pelabunan Ampenan , hal 37.)

*

Puisi sebagaimana juga yang pernah dikatakan pemikir dan penyair romantik, Charles Brown kepada karibnya, John Keats  “Mampu merekontruksi pengalaman filosifis menjadi citra visual yang tidak berjarak. Sepenuhnya terserap dalam puisi” sepenuhnya terserap dalam puisi.  Inilah kekuatan vitalitas kata-kata penyair Acep Zamzam Noor dalam buku puisinya kali ini, Membaca Lambang. Penggunaannya dengan skema sajak suasana dan citra yang terkompresi dengan baik untuk membangkitkan dunia yang menggairahkan secara romantik. Untuk menarik kekuatan gambar puitis dalam membuat pemandangan-pemandangan yang menakjubkan, hal itu bisa kita rasakan jika kita secara serius memanjat bukit lambang dalam keseluruhan puisi-puisi Acep Zamzam Noor.  Sebagai pembaca puisi Acep Zamzam Noor sejak masih remaja saya pun sangat mengapresiasi hadirinya buku puisi Membaca Lambang ini, penanda penting bagi perkembangan perpuisian di Republik ini.