Majalah Pusat Edisi 11 (Memuat 5 Puisi Rendy Jean Satria)
Puisi Rendy Jean
Satria
Setiap Kata
Di jagat raya
yang tak terhingga
Berkilo-kilo
beban sejarah, berkali-kali pena
Habis, tetumbuhan
mati dan hidup
Bertahun-tahun
kuhabiskan
Hanya dengan
menghitung
Setiap kata yang
keluar dari bibirmu
Berbatang-batang
bintang
Telah kuserahkan.
Beribu-ribu tahun
Yang akan tiba.
Bermakmum-makmum
Kebahagiaan deret
panjang antrian doa-doa
Seperti setiap
kata yang keluar dari bibirmu
Bersungai-sungai
kerisauan
Mengalir menuju
laut
Bulan hanya bisa
dipandang
Dari kejauhan.
Seperti menunggu
Setiap kata yang
keluar dari bibirmu
Sebelas Jam yang Lalu
Sebelas jam yang
lalu
Ia datang, membawa
sisa
Gerimis di kantong
bajunya
Lengan yang dingin
Seperti sebuah
isyarat
Tentang rasa dan
putus asa
Paling akhir
Mungkin saja, ia
akan
Menarik selimut
tebal
Dan mendekap
erat-erat
Kenangan-kenangan
Di jalan becek tadi
Tentu tak lupa, ia
Menutup segala suara
Yang datang padanya
Tak ada rindu hari
ini
Mungkin juga lusa
Mungkin tak ada sama
sekali
Sehelai rambut pacar
Yang terselip di buku puisinya
ia letakan
pelan-pelan
di sampingnya
Katanya,
Semua bakal berlalu
Di Jalan Nyengseret, Bandung
Perlahan kudatangi
lagi jalan penuh lubang
Mengitari kata,
membikin hidup tak bimbang
Angin malam
tersungkur di antara gang-gang
Kecil. Penuh coretan
tangan, lorong berlumut
Warna-warna
perasaan, kuurai dalam lamun
Dan kita ada di
dalamnya
Dengan apa lagi aku
harus datang? Kalau
Bukan lewat puisi
dan sujud yang dingin ini
Bahwa setiap
sentuhan kita adalah kehendaknya
Bahkan mendung yang
berkedip dari matamu
Mampu mematahkan
ranting-ranting keresahan
Dalam dadaku
Dulu kesedihan
jangka panjangku, sulit
Kuhancurkan,
hari-hari sunyi merampas
Waktuku dengan ganas
dan dalam kesendirian
Kuhirup wangi asmara
di sini, menyelinap
Diseluruh darahku
Sembahyang
Macapat-macapat
telah berubah menjadi gema
Dan sepasang tebing
di hadapanku meleleh
Kupersembahkan
segala mawar-mawar kesunyian
Sebelum aku mengenal
angin dan waktu
Kelahiran demi
kelahiran menetes dari langit
Arca-arca kulebur
menjadi abu, patung-patung
Telah dijilati air
liur gaib, kaligrafi-kaligrafi telah
Kucoret dengan
sebongkah arang. Sujud-sujud
Atau rukuk- rukuk
sama saja. Sembahyangku
Hanya sampai pada
pertengahan
Sedangkan
pertempuran terus berlangsung
Aku telah lama jatuh
hati pada lekuk barat
Tikungan angan-angan
dan di situ pusat
Seperti payudara
matahari. Bianglala maut
Semakin lama,
semakin kemari, seperti
Pemabuk yang teler
di gang-gang sempit
Kamar-kamar sutra
bertembokan pelangi
Ruang-ruang menjadi
sempit karena airmata
Samar-samar masih
kudalami kitab suci
Hatiku ditumbuhi
bintang-bintang asing
Sajadahku tertutupi
duri dan debu
Nubuat Kebahagiaan
Daun-daun telah
dimatangkan waktu
Di antara kubah
masjid, jalan bebatuan, pohon tua
Barisan kata-kataku
seperti makmum kepadamu
Ketika setiap
perumpamaan berubah menjadi petunjuk
Yang tak bisa
kupahami sebagai peta atau panggilan
Di mataku
terbentanglah mega-mega yang berlayar
Lagi-lagi aku merasa
ruang bukan lagi ruang
Wajahku telah lama
dialiri sungai airmata
Yang lebih asin dari
kemegahan lautan dan terlihat
Sebagai fatamorgana
yang melepaskan kefanaan
Dari kejauhan,
Sa’di, Anwari, Firdausi memanggil-
Manggil gerhana
keheningan, ketika Syams Tabriz
Telah mendirikan
kemahnya di ujung timur
Dan Khaqani telah
menguraikan rahasia-rahasia
Cahaya batin dengan sekuntum diwan
Laut zamzam telah
diminum habis
Dan gunung-gunung
telah ditundukan Al-Bushiri
Aku menerima
rerentuhan bintang- bintang
Dari nubuat-nubuat
para kekasih masa lalu
Yang kujadikan
sajadah pertaubatan yang sunyi
Sampai jarak langit
dan bumi, terlalu dekat dari
Pandanganku, sampai
sujudku tak lagi bisa dibilang
Sebagai penghilang
rasa haus bertahun-tahun
Puisi adalah
jembatan terakhir
Bagiku untuk
menemuimu secara diam-diam
Melemparkan
kerinduan, juga kasih sayang
Karena kau adalah
permulaan dari kebahagiaan
Selagi bulan dan
matahari
Masih bisa dijadikan
rumah doa-doaku