Perjalanan Cinta Ke Verona
Oleh Rendy Jean Satria
Oleh Rendy Jean Satria
"Yang terindah adalah ketika menemukan
pengalaman
luar biasa di tempat-tempat
yang baru,
itu mukjizat"
Paul Verlaine, penyair klasik Perancis

Dua karakter yang berbeda. Dua pandang yang
berbeda. Dua ambisi yang berbeda. Yang satu mempunyai sifat puitis (Laura) dan
yang satu mempunyai sifat emosional yang tak stabil, lagi kusut (Marsha). Film
ini sulit ditebak alur ceritanya dan banyak kemungkinan-kemungkinan penonton
menebak-nebak peta cerita di film ini. Laura adalah biro agen perjalanan yang
hidupnya lurus dan disiplin. Hari-harinya diisi dengan kerja dan mengasuh anak
semata wayangnya Luna. Marsha adalah seorang penulis travelling yang laku
hidupnya nyentrik, perokok dan cuek. Di suatu waktu Marsha mengajak Laura untuk
jalan-jalan ke eropa. Bukan tanpa alasan, Marsha mengajak Laura berlibur ke
eropa. Inilah fase dimana mereka berdua,
menjadi diri mereka sesungguhnya. Lepas dan bebas dari rutinitas kaum
urban. Laura yang baru saja ditinggal pergi
oleh suaminya dan Marsha yang mau merayakan tahun ke dua ibunya yang meninggal
dunia, dengan cara berlibur ke eropa. Laura akhinya mengiyakan untuk berlibur
ke eropa bersama Marsha. Tapi dengan satu syarat, yaitu semua biaya ditanggung
masing-masing. Amsterdam, Innsbruck, Bruhl, Verona, Venice adalah kota-kota
puitis sekaligus legendaris yang mereka kunjungi. Tapi Marsha melanggar syarat
itu. Laura seketika menjadi pengasuh "biaya dadakan" buat Marsha.
Marsa tersenyum. Laura cemberut.
Di tengah perjalanan kekacauan terjadi.
Inilah bagian penting dalam film ini. Estetika dalam film ini mulai tersirat.
Tanpa harus diduga-duga siapa yang salah, siapa yang benar. Semua menjadi
jelas, ketika mereka saling jelek menjelekan satu sama lain karena tidak adanya
keterbukaan diri di antara mereka tentang maksud dan tujuan ke eropa. Laura
ternyata punya maksud tersendiri untuk pergi ke eropa, tanpa Marsha tahu. Laura
ternyata masih menyimpan perasaan setia dan cinta kepada suaminya yang ternyata
menetap di Verona. Semua menjadi terbaca pada adegan itu. Perjalanan mereka ke
eropa pada akhirnya terbuka yaitu satu menuju suami Laura untuk meminta
penjelasan tentang kepergiannya meninggalkan Laura dan Luna. Marsha adalah
simbol sahabat sejati di saat genting. Laura adalah subjek dari maksud dan
tujuan mereka ke eropa. Dua silang yang bertemu atas nama filsafat cinta. Cinta
pada kesetiaan. Cinta pada suatu waktu yang lampau. Pelukan dan ciuman, dari
pasangan kekasih menjadi sesuatu yang sulit dilupakan. Pada akhirnya Laura
harus berani mengetuk pintu rumah sang suami di Verona. Uh......sesuatu yang
tidak diinginkan terjadi dibalik pintu itu.
Kegilaan-kegilaan mereka saat perjalanan,
dan menetap di kota-kota kecil di eropa, mereka lalui dengan tidak cuma-cuma. Kadang
mereka berdua menjadi maling untuk mengganjal perut, kadang mereka
dikejar-kejar polisi rahasia pemeriksa visa dan passpord bagi warga asing yang
tidak mempunyai passpord. Dialog-dialog puitis yang penuh suspense, rupanya
juga menambah film Laura dan Marsha menjadi bermutu dan kuat. Penulis skenario
Titien Watimena sadar betul sebagai penulis ia harus pandai-pandai membuat
dialog di film perjalanan ini, agar dialog-dialog imajinernya tidak menjadi
kering dan hambar. Titien Watimena, mempunyai nyawa di film ini, naskahnya di
film ini adalah naskah hidup. Naskah yang dihidupi oleh suasana legendaris
kota-kota klasik di eropa. Sekali lagi, film Laura dan Marsa berlangsung
dramatis, hingar bingar, ssekaligus unyi, sepi dan romantis. Romantsinya
kota-kota di eropa seperti Verona, tergambarkan dengan puitis oleh
sinematografi Roy Lolang yang mumpuni dan handal.
Ranting untuk film Laura dan Marsha:
8 Bintang (dari 1 sampai 10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar