(Puisi, Juara di Universitas Siliwangi, Tasikmalaya)
Pada K.H Zaenal Mustofa
-nama-nama baru terus bermunculan
menggantikan para pendahulu
tapi namamu terpahatkan bersama waktu
bersama kerinduan-
sepanjang jalan menujumu
bukit-bukit bertumpuk di antara
kelokan ke kelokan, udara yang dingin
rumpun bambu dan hamparan sawah
serta wajahmu yang terpahat di pundak
awan. Aku pun, membacakan kalimat-kalimat
yang senantiasa di pahami para penziarah
agar setiap doa-doa menumbuhkan
kekudusan dalam dirimu
adalah waktu yang membuatmu
tertimbun dalam pengasingan yang panjang
dalam hari-hari bisu
dalam tahun-tahun genting
Oktober 1944
ada darah mengalir di situ,
di sana kulihat tubuhmu ditarik
dan diberondong rentetan lengking
peluru
seketika langit menjadi pupus
dan terkoyak, airmata tumpah menjadi
serdadu-serdadu, hatiku meleleh,
bersama nyeri
kunyalakan obor, kubangun surau baru
untukmu yang kunamakan puisi
diam-diam, aku membayangkan
wajahmu yang sedikit tirus
suaramu yang menjadi gema
serta dzikirmu yang berasal dari
langgam malam di Sukamanah
Sebagai pejalan angin yang tangguh
kau tidak mengharapkan apa-apa dari
pengembaraan ini
Sekali lagi, kisahmu
menyimpan oase ke ma’rifatan
dan menyimpan getar pada jalan
kepenyairanku kelak
Sebab kisahmu, bukanlah sebuah metafor
nukilan-nukilan, atau seperti kisah daun-daun
yang kering bertumpuk Lalu di lupakan
2011.