Oleh Rendy
Jean Satria
“Puisi tak sesederhana buang ingus di
trotoar
Menulis puisi butuh kekhusyuan,
penghayatan
Pengendapan dan pendalaman”
(Acep
Zamzam Noor, hal 206)
Bagaimana seharusnya menulis puisi yang
baik? bagaimana kiat-kiatnya menjadi seorang penyair yang baik, yang tidak
bernafsu mengejar popularitas saja melainkan harus butuh kesabaran dan
intensitas kekhusyuan untuk mendapat gelar mulia itu? bagaimana menghadirkan semangat
pemicu kreatifas untuk menulis puisi? bagaimana ukuran seseorang seharusnya menilai
puisi yang baik? apa yang mendasari Acep Zamzam Noor (AZN) pada akhirnya secara
guyon menemukan sebuah teori “bulu kuduk” dalam percaturan sastra puisi
Indonesia, yang banyak “diamini” para pengamat sastra? apa juga yang mendasari
Acep Zamzam Noor, banyak menganti nama penyair-penyair muda yang datang
kepadanya? Acep Zamzam Noor, seperti
menemukan jawabannya sendiri yang ia tuangkan, di dalam sebuah buku barunya
yang berjudul “Puisi Dan Bulu Kuduk” sebuah buku yang menghimpun 26 esai yang
renyah, ringan, padat dan menggoda. Perihal apresiasi sastra dan proses kreatif.
Acep, dengan kaca mata pisau “bulu kuduknya” menangkap, menganalisis dan
mengungkapkan pikirannya dengan gaya khasnya mengenai puisi dan tentang
moment-moment tertentu tentang makna kepenyairan, pertemuan dan teman-teman
sebayanya, dalam satu kesatuan tulisan yang gurih untuk di baca. “Cep, teori
bulu kudukmu itu perlu diterbitkan biar akedemisi mendapat pencerahan” kata
kritikus sastra, Maman S.Mahayana, suatu ketika. Yang menjadi awal buku ini di
terbitkan
Acep Zamzam Noor, di dalam buku esainya
tersebut menegasikan dengan tegas mengenai pokok permasalahan yang sangat
sakramen tentang puisi dan beberapa masalahnya. Puisi, sebagai media maupun
puisi sebagai ruang sakral baginya, selama ini menjadi satu permasalahan yang
sangat penting untuk di bicarakan olehnya. Ia masih percaya pada kekuatan
puisi, masih terus setia mendalami, menyelami “kekharismatikan” puisi yang pernah
ia sebut “sebagai mahluk aneh” itu. 26 esai, tersebut kebanyakan adalah
tulisan-tulisannya sewaktu memberi kata pengantar pada antologi puisi, paper
pada sebuah seminar kesusastraan nasional maupun internasional dan ada juga
beberapa esai yang pernah di muat di beberapa media.
Teori “bulu kuduknya”, tidak terlalu
cendekia, malah terlihat guyon. Tidak terlalu ilmiah, tapi butuh perenungan.
Dengan begitu, teori “bulu kuduknya” meruang
ke dalam ruang-ruang sastra yang selalu terlihat serius, ia mencoba membuat
kegairahan yang baru yang piramidal, melebur dengan teori-teori kesusastraan barat
yang senantiasa membuat kita terpesona. “puisi yang baik, adalah puisi yang
membuat bulu kuduk saya merinding” cetus Acep Zamzam Noor, suatu ketika. Orang
bisa saja, menolak gagasan Acep, tentang teori bulu kuduknya. Dengan begitu,
ada semacam dialektika yang di bangun, ada penyanggahan. Karena Acep Zamzam
Noor, bukanlah seorang kritikus sastra. Ia seorang penyair dan pemikir
kesusastraan, yang ingin menyampaikan sesuatu yang segar, tidak muluk-muluk.
“penyair tak lain adalah pemikir, karena dia penanya” kata Prof. Jakob
Sumardjo, dalam kata pengantar buku tersebut
Acep Zamzam Noor, memang tidak pernah sama
sekali menerbitkan tulisan-tulisan esainya dalam bentuk buku yang menurut
pengakuannya sendiri di dalam kata pengantar, ia seperti tak punya keinginan kuat atau niat menulis sesuatu di luar puisi. Jadi
dengan kata lain, selain merindukan puisi-puisi Acep Zamzam Noor, kita juga
menantikan esai-esai yang di tulis olehnya. Secara pas dan gamblang dengan
tidak memihak kepada golongan tertentu. Ia dengan kepekaan intuitifnya sebagai
seorang penyair, mampu menghadirkan esai-esai yang objektif dan riil. Dimana,
di dalam esainya ia dengan berani mengkritik, sekaligus memuji puisi-puisi Goenawan Mohamad, yang pernah
muncul pada edisi bulan juli 1990, (sepuluh
puisi Goenawan Mohamad, hal 42) yang menurutnya, kemunculan puisi Goenawan
kali ini, tidaklah terlalu istimewa karena kita terlalu berharap mengenai
sesuatu yang baru darinya. Ia juga
mengambarkan, sosok Saini K.M (Posisi Saini, hal 32) yang ia kupas panjang lebar adalah
ahlak dari Saini sebagai kiblat untuk calon penyair dan ia juga membahas secara
detail puisi-puisi Saini seperti Nyanyian
Tanah Air, Kepada Penyair Muda
dan Kota Kelahiran, yang membuat bulu kuduknya sampai berdiri
AZN dan “teori bulu kuduknya” juga
merambah ke persoalan mengenai bagaimana menumbuh kembangkan semangat
kreatifitas (kreatifitas dan pemicunya,
hal 210) salah satunya yang pernah di lakukan kelompoknya yaitu SST di
Tasikmalaya pada tahun 2004 sebuah upaya merespon pemilu raya di Tasikmalaya. SST
meresponnya dengan cara kreatif dengan mengadakan konvoi menggelar pembacaan
puisi dan workshop, yang di beri nama “penyair memilih puisi dalam pemilu
2004”. Di dalam sebagian esai-esai Acep, kita juga di ajak olehnya. Mengembara
ke dalam romantisme pengalaman yang menggoda tentang teman dan sahabatnya. Ia
pernah sangat kehilangan sangat mendalam, ketika sahabat karibnya, penyair Beni
R. Budiman meninggal dunia 2002 silam, (BRB,
hal 103). Ia juga tersentak kaget, saat seseorang meminta kepadanya memberi
pengantar dalam buku puisi Irzadi Mirwan (in
memoriam Irzadi Mirwan hal 110), mahasiswa ITB dan aktivis yang meninggal
dunia di sebuah gunung di Jawa Barat pada tahun 1981 silam, yang ternyata di
masa mudanya juga menulis puisi.
Esai-esai dari Acep Zamzam Noor, memang
menghadirkan sebuah sisi keintelektualan dari penulisnya sendiri yang memang sudah
di kenal terlebih dulu sebagai penyair dan pelukis. Puisi-puisinya dan karya
lukisannya, seperti juga esai-esainya, selalu menghadirkan sebuah kejujuran,
kesederhanaan dan juga kekayaan pengalaman darinya. Tulisan esainya seperti
pemandangan lanskap yang sejuk, angin sepoi-sepoi yang mampu membuat bulu kuduk
pembacanya berdiri. Kumpulan esai, “puisi dan bulu kuduknya” adalah sebuah
tawaran darinya, perihal kesusastraan dan konsep dasar perihal puisi yang baik
yang mampu membuat bulu kuduk pembacanya berdiri. Teori bulu kuduknya, tidak
sampai menjelimetkan pikiran, tidak perlu catatan kaki saat memikirkan teori bulu
kuduknya. Acep Zamzam Noor, sudah melebihi pada tahapan itu. Esai-esainya
semacam sebuah pembuktian darinya. Bahwa diam-diam, ia juga penemu teori kesusastraan
yang nantinya pasti banyak diamini orang. ***
Bandung, 7 Juli 2011