Kamis, 31 Maret 2011

PDS H.B Jassin: Ladang Sastra Yang Terlupakan


Oleh Rendy Jean Satria



“Sastra Indonesia akan
Menjadi, warga sastra dunia”
(H.B Jassin)

H.B Jassin
Semenjak tahun 1940an, kritikus H.B Jassin secara serius menekuni dunia dokumentasi sastra, yang menurut penuturannya, sebagai kenikmatan tersendiri. Ia terobsesi untuk menjadikan Indonesia menjadi kiblat sastra dunia. Ia orang yang banyak membaca meneliti, dan juga banyak mengritik. Ia orang yang pendiam. Ia tidak begitu pandai berterorika di depan mahasiswa-mahasiswanya di Universitas Indonesia. Ia mempelajari semua sejarah periodisasi sejarah sastra yang ada di dunia. Ia orang yang menemukan Chairil Anwar, yang menurutnya sebagai pelopor angkatan 45. Ia orang yang apik mendokumentasikan karya-karya sastrawan Indonesia yang sudah terkenal maupun belum terkenal. Ia minta puisinya, ia minta juga tulisan asli dari penyairnya yang masih dalam kertas buram dengan tulisan tinta yang masih amburadul. Yang menurut penuturannya, penting buat keperluan pendokumentasian pribadi. Ia rajin mengipling tulisan puisi-puisi di koran-koran sastra terkemuka saat itu. Ia juga rajin meminta foto sastrawan-sastrawan Indonesia satu persatu, lagi-lagi alasannya, penting buat keperluan pendokumentasian pribadi Terlihat kecil memang di mata orang awam, meminta tulisan tangan calon sastrawan-sastrawan yang belum terkenal. Tapi bagi H.B Jassin itu perlu, itu harus.

Kerja keras H.B Jassin, selama berpuluh-puluh tahun akhirnya mendapatkan apresiasi positif dari Gubernur Jakarta Ali Sadikin saat itu. Yang melihat dokumentasi sastra milik H.B Jassin adalah aset sejarah sastra Indonesia yang harus diolah secara profesional. Ia di beri tempat dan lahan. Yang tidak begitu luas di area Taman Ismail Marzuki, untuk membangun kantor barunya di lantai 2 gedung Galeri Cipta. Yang ia beri nama cukup kharismatik (PDS) Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin. Yang di resmikan oleh pukulan Gong dari Ali Sadikin dan kata sambutan dari Sutan Takdir Alisyabana perwakilan Akedemi Jakarta, pada tanggal 28 Juni 1976. Dan jadilah PDS H.B Jassin, sebuah tempat yang penuh dengan sejarah sastra yang panjang, sebuah tempat di mana menjadi kiblat bagi pengamat sastra, kritikus sastra, para penyair, sastrawan dan pencinta sastra dari seluruh pelosok datang dan duduk berlama-lama di sana untuk mengamati, mempelajari dan mencari hal-hal yang berbau tentang sastra.  Karena di tempat itulah satu-satunya pusat sastra yang terlengkap yang ada di Indonesia. Tempat di mana kita bisa melihat tulisan-tulisan tangan asli dari sastrawan-sastrawan yang melegenda yang kita kenal selama ini. Tempat di mana juga kita bisa melihat hasil kerja keras perintisnya selama berpuluh-puluh tahun. Yang kini PDS, dalam polemik, terancam ditutup, karena permasalahan klasik. Yaitu pendanaan.


 SK Yang Tidak Memihak

Polemik itu sebetulnya, sudah begulir atas adanya surat keputusan Keputusan Gubernur dari Gubernur Fauzi Bowo (SK Gub) DKI Jakarta No. SK IV 215 tertanggal 16 Februari 2011. Yang hanya mengelontorkan dana untuk Yayasan Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin, sebesar Rp 50 juta per/tahun, yang tadi dana awalnya mendapatkan 500 juta per/tahun terhitung dari tahun 2003 untuk pengembangan, kini dipangkas secara signifikan oleh pemprov Jakarta. Sebuah dana, yang sangat sedikit untuk mengurus sebuah pusat dokumentasi terbesar, yang menyimpan lebih dari 50.000 dokumen-dokumen penting. Dana 50 juta itu, pun dimasukkan dalam pos hibah, bantuan sosial dan bantuan untuk program kemasyarakatan. Belum lagi kendala-kendala teknis yang ada di PDS H.B Jassin, seperti tempat penyimpanan dokumen  yang kabarnya kekurangan lahan seiring bertambahnya koleksi, masalah pelayanan dan masalah pendigitalan. Sebuah cerita yang tidak memihak, memang. Tentang cerita panjang dari kerja keras kritikus sastra Indonesia, yang niat awalnya, untuk melestarikan dan mengamankan aset sejarah sastra Indonesia. Tidak terlalu begitu di perhatikan secara jeli oleh pemerintah setempat.  Pemerintah, semakin jelas menggambarkan sebuah prospek pemetaan tentang pengembangan aset sejarah Indonesia, yang kian kabur, samar dan jauh dari harapan. Dan polemik ini, mengundang rasa prihatin yang mendalam dari para penggiat-penggiat sastra, penyair, sastrawan, dan kritikus sastra, di beberapa kota yang ada di tanah air, untuk bergerak dengan menggelar acara amal, untuk PDS H.B Jassin.  Untuk memberi nyawa kembali kepada sebuah pusat sastra, yang kelak kata H.B Jassin, ”Sastra Indonesia akan menjadi warga sastra dunia”. Kalimat itu bukan sabda, tapi sebuah keinginan  dari yang orang ikhlas yang separuh hidupnya hanya untuk melestarikan dan mengamankan aset sejarah sastra Indonesia. PDS H.B Jassin.  

Beberapa tahun ini pun PDS H.B Jassin, memang sepi penghujung,  plus pemasukan dana yang semakin menjadi anjlok, kalau kita lihat buku tamunya, hanya ada satu atau dua nama yang tertera di sana. Hanya ada beberapa pegawai yang acap kali sedang duduk santai, tanpa melakukan sebuah rutinitas, yang sibuk. Foto bohemian Chairil Anwar yang terpajang dekat pintu masuk, juga terlihat agak miring sedikit, dan dilumuri oleh sarang laba-laba, sedikit berdebu, tampak jarang di bersihkan.  Di ruang pengelola pun, komputer keluaran lama tampak masih terus di pakai untuk memindai beberapa database ke komputer. Beberapa bingkai yang terbuat dari kaca keramik yang bertengger di rak kayu dekat ruang duduk pembaca, yang bergambarkan foto-foto penyair terkenal seperti foto Rendra muda, Jose Rizal muda, Sutardji muda dengan tulisan tangan aslinya, juga berdebu dengan posisi agak sembarang, tidak tertata. Jangan sampai itu menjadi sebuah gambaran utuh, tentang sebuah perjalanan yang panjang tentang wajah sejarah sastra Indonesia***  

31 Maret 2011



                                   
                                                    Di Pusat Dokumentasi Sastra H.B Jassin
                                                Jakarta