TAMASYA BATIN DI AKHIR PEKAN
oleh: Doni Muhamad Nur*
 |
Karya Rendy Jean Satria, Penerbit Basabasi |
Konon katanya, menulis puisi itu
mudah, tapi untuk memuisi itu sulit. Jadi, secara hakikat bahwa sebuah puisi
ditulis tidak bisa sembarang jadi, sebab; menulis sebuah puisi harus melewati
banyak rambu yang sudah disepakati, menjadi sebuah teori—begitulah menurut
aturan yang ada, yang dipelajari di bangku akademisi sastra. Apakah sebuah
puisi yang terlahir ditulis oleh seorang mampu menuangkan aturan baku itu
semua? Atau hanya sebagian aturan bakunya saja? Ataukah tidak ada sama sekali
menggunakan aturan baku yang sudah disepakati menjadi sebuah teori tersebut?
Teori lahir berdasarkan pengalaman yang kemudian dispakati atau diamini mayor.
Jadi, bisa dikata bahwa sebuah teori itu benar, ketika Anda sepakat.
Saya bukanlah lulusan sastra,
terlebih ahli sastra; khususnya sastra puisi. Jadi, dalam tulisan yang hendak
saya tuliskan di bawah ini mohon maaf jika Anda tidak mendapatkan apa yang
digambarkan di paragraf awal, sebagai ilustrasi dalam hakikat menulis puisi
yang sudah ada aturan bakunya berdasarkan teori akademisi. Lantas apa yang
ingin saya tawarkan dalam tulisan ini? Saya sendiri tidak tahu. Ya, tidak tahu.
Memang benar tidak tahu dan serius tidak tahu; hanya yang saya rasakan
pengalaman dari jejak baca, itu saja. Ya, itu saja; tidak lebih.
Jejak baca selalu meninggalkan
kesan yang berlainan bagi semua pembaca pada satu objek yang sama. Konon
katanya hal ini pun dipengaruhi oleh suasana batin tiap para pembaca yang
berbeda-beda dengan objek yang dibacanya. Ada juga pengalaman batin yang sama
atau mirip dengan objek batin yang dibacanya sehingga objek batin yang sudah
dibacanya oleh seorang pembaca itu seolah-olah mewakili pengalaman empiriknya
si seorang pembaca tersebut. Ada juga ketika seorang pembaca, membaca sebuah
objek berusaha netral dan tidak mengkaitkan dengan teori yang berlaku; hanya
membaca saja sifatnya, tidak lebih. Ada juga seorang pembaca yang ketika
membaca sebuah objek langsung mengkaitkannya dengan teori yang tentu saja sudah
dikuasai dan dibacanya terlebih dulu sehingga membaca sebuah objek menjadi
sebuah pekerjaan dalam projek penelitiannya.
Lantas, saya termasuk pembaca yang
mana? Saya sendiri pun tidak tahu termasuk yang mana; ini serius. Terang dan
jelas, saya hanya menikmati antrean kata-kata yang menjadi rangkaian frasa,
klausa dan kalimat pada sebuah bait puisi yang menjadi utuh sebuah tubuh puisi.
Lamat-lamat saya rampung membaca utuh sebuah antologi puisi yang diberi judul
Pada Debar Akhir Pekan karya penyair muda Rendy Jean Satria (RJS) dengan tiga
sub judul; puisi masih bekerja untukmu, puisi masih bisa kutulis, ditegur
kata-kata, dan kesemua sub judul itu jika dicermati selintas-pintas menjadi
sebuah isyarat yang kembali pada judul utama antologi puisi; Pada Debar Akhir
Pekan yang dicetak-terbitkan oleh Penerbit Basabasi, Februari 2018 dengan
penyunting Tia Setiadi.
Ada apa dengan debar akhir pekan
yang dirasakan oleh penyair muda RJS dalam perjalanan batinya tersebut,
jika dikaitkan konon katanya pondasi sebuah puisi bisa lahir berdasarkan dari
pengalaman empirik; baik empirik murni mau pun empirik terapan. Benarkah itu?
Lamat-lamat pada hasil jejak baca, saya menemukan hal itu dalam kumpulan
antologi tunggalnya: di antara gang-gang/ Kecil penuh coretan tangan, lorong
berlumut/ Warna-warna perasaan, … (Di Jalan Nyengsret, Bandung; 2016).
Lalu: “Temani aku, dengan resiko apa pun/ Jangan biarkan aku tergerus sedu sedan.”, (Padamu yang Sabar Mendengar; 2016). Kemudian:
Bagai sebatang pohon segar di depan halaman/ Yang tumbuh dalam ketidakpastian/
Dalam cuaca yang samar-samar (Sajak yang Ditulis pada Usia 26 Tahun; 2015).
Dan: Di kamar belakang/ Paling
Pedih itu, kakrus-kaktus mati diusapi/ Waktu dan kehilangan kesakitannya
(Kami Mencintaimu, Kami Juga Membencimu; 2016), dan larik lainnya. Rangkaian
kalimat dalam beberapa larik puisinya ini, bagi saya serupa (boleh dikatakan:
merupakan: ya) gambaran murni yang dialami olehnya yang menjadi debar hingga
terbawa ke akhir pekan dalam alur hidup dan kehidupan di kesehariannya.
Adakah rangkaian kalimat tersebut jika disatukan menjadi sebuah kunci
kegelisahan batinnya RJS selama ini? Entahlah, sebab hakikatnya dari hasil
jejak membaca hanya mampu menduga dalam arti simpulan dari hasil jejak membaca
itu hanya melahirkan: mampu mendekati pada kenyataan yang sudah dialami, atau
tengah (boleh jadi) menjadi kecemasannya sampai kini.
Terang dan jelas, ketika saya
mencoba memahami makna kandungan napas Pada Debar Akhir Pekan, ada banyak
endapan waktu yang kembali dikeruk, sepertihalnya belalai bulldozer yang mampu
menguras habis endapan tersebut dari sebuah kubangan sisa penggalian pasir
besi, semisal; hingga kubangan itu kembali bisa bersih dari segala rupa sampah
waktu yang dihanyutkan oleh banjir kenangan, yang menderas datang dari batinnya
RJS yang tertampung di sana. Kemudian kubangan itu didatangi lagi oleh RJS yang
kini menjelma bulldozer; tentu saja, kedatangannya itu untuk mengeruknya sampai
bersih, supaya mampu menampung air hujan yang datang dari musim yang lain
dengan jernih, tentunya. Tetapi endapan-endapan ragam sampah waktu yang
dikeruk-kurasnya itu menjelma ikan-ikan yang berloncatan dan kembali berenang
di kubangan tersebut yang berubah menjadi kolam batin dengan diberi papan nama
Pada Debar Akhir Pekan yang memuat ragam perjalanan RJS dengan segudang
kenangannya. Kenangan-kenangan tersebut selayaknya sebuah objek wisata yang
meninggalkan kesan hingga sulit untuk dilupakan.
Ya, sebuah kenangan apa pun
itu kenangannya, memang sulit untuk dilupakan dalam satu tarikan napas panjang,
meski kini, katakanlah dengan seiringnya waktu berjalan, bahwa debit air yang
mengisi kubangan tersebut dari curah hujan yang turun di musim lain. Maka sangatlah wajar jika RJS
berkata: puisiku masih bekerja untukmu, artinya; ruang luas batin RJS
yang terpetak-petak masih menyimpan kamar-kamar kenangan untuk kembali
didatangi, dihisap sari patinya dan jadilah tubuh-tubuh puisi utuh, sehingga
RJS berkata lagi; puisi masih bisa kutulis. Kemudian puisi-puisi yang
ditulisnya dibaca lagi oleh dirinya, sehingga RJS kembali berkata; ditegur
kata-kata yang menandakan bahwa hakikat sebuah puisi adalah perenungan,
baik untuk kembali direnungkan oleh dirinya sendiri pun publik pembacanya. Di
mana sebuah puisi tidak bisa lepas dari alur napas hidup itu sendiri, sehingga
bisa dikata, bahwa hidup adalah rangkaian perjalanan yang harus dihayati untuk
dimengerti.
Hemat saya, pada dasarnya
puisi-puisi yang terkandung di dalam antologi ini, sesungguhnya hasil dari
endapan-endapan sampah waktu di masa lalunya yang bermetamorfosis jadi
ikan-ikan dengan rasa masa lalu yang dikemas menjadi rasa masa kini (baca:
jejak terbit, 2018) sehingga samar dalam jejak baca pada pengalaman empirik
murni batinnya; hal ini terjadi, sebab adanya perkawinkan dengan pengalaman
empirik terapan, baik dari hasil asupan yang didapatnya dari segudang bacaanya
pun dari mendengar curhatan, dan lainnya yang dekemas dengan cukup apik dan
intens dalam pemilihan kata dalam bahasa sehari-hari.
Akhirnya satu kesatuan dari ragam
perjalanan empiriknya menjadi samar dalam jejak murni rasanya itu, ketika sudah
menjadi tubuh-tubuh utuh puisi yang dibingkainya dengan judul Pada Debar Akhir
Pekan, dikitabkan oleh Basabasi dengan di dalamnya menawarkan ragam rasa yang
bukan sekedar basa-basi semata; ada rasa sendu, melankolis, religi, riang dan
gembira yang beraduk menjadi satu—bergemuruh di sebalik dadanya (antpologi
puisi tunggal) RJS tersebut—selayaknya seorang remaja yang tengah dimabuk ragam
rasa. Ragam rasa itu terlahir tentu saja tidak bisa dilepaskan dari hakikat
cinta itu sendiri pada jejak kenangan dalam alur perjalanan hidup dan kehidupan
yang sudah dan tengah dijalankannya tersebut.
Sehingga bisa dikata, bahwa sebuah
karya apa pun itu bentuknya (baik itu puisi), terlahir dari pecahnya konvensi
di masyarakat yang menjadi penanda bagi si penulisnya sendiri yang subjektif
sifatnya, tetapi kesubjektifan itu terkadang masih bisa disepakati publik
pembacanya; sebagaimana satu buah puisinya ini:
Pada kamu yang sedang tertidur
Baik-baiklah di dalam mimpimu
Ajaklah aku menemuimu di dalamnya
Walau di dunia nyata kita tak sering
Bertemu. Barangkali di mimpimu
Kita bisa saling mengucapkan
Cinta, berciuman dan pura-pura
Menjadi satu keluarga
Di dalam mimpi tak ada dosa
Kita bisa melebur dalam ranjang
Tak ada yang kehilangan
Tak ada air mata yang jatuh
Tak ada yang tersakiti
Jangan terlalu cepat terbangun
Sebab diam-diam aku ingin
Menjadi abadi di dalam mimpimu
Menggali kuburku di sana
Agar senantiasa kamu bisa
Mendoakanmu, tanpa pernah kehilangan
Puisi itu diberi judul Pada
Mimpi Tidurmu yang ditulis pada tahun 2015. Terlepas dari teori dalam
menulis utuh sebuah puisi yang saya kemukakan di paragraf awal; saya pikir,
antologi puisi tunggalnya RJS ini layak untuk diapresiasi publik, mengapa?
Seperti Sutardji bilang atau lebih tegasnya, menurut Sutardji; sebuah
tulisan bisa disebut puisi kalau diniatkan penulisnya sebagai puisi. Saya
kira kumpulan puisi ini juga demikian, kalau RJS meniatkannya selesai menjadi
sebuah antologi puisi berarti sudah selesai menjadi utuh sebuah antologi puisi.
Selamat tamasya batin di akhir pekan. Salam sastra. []
*penulis adalah penyair, tinggal di Tasikmalaya