Jumat, 30 November 2018

Puisi Rendy Jean Satria (Media Indonesia, 11 November 2018)



Kepada Lenganku

Sudah berapa tahun kau membantuku
Menciptakan bahasa dari airmata ibuku
Menggeledah ribuan senja menjadi tubuh
Untuk dinikmati seperti lanskap di jauhan
Kuambil taring langit, lolongan srigala hutan
Lumpur sawah, debar gunung, retakan-retakan
Di jembatan, lumut yang menempel, dan lain-lain

Sudah berapa tahun kau membantuku
Untuk membuat kata-kata menjadi mawar
Di hati seorang perempuan. Hingga aku
Terbangun di kamar yang disusun olehmu
Dan jendela itu telah lama ditinggalkan
Burung-burung. Aku ingin tetap bersamamu
Memperpanjang hari-hari menjadi bahasa

2018.


 Langit Menjadi Pendiam



Dua ekor kucing. Tirai jendela yang tertutup
Tisu basah, pembakaran daun-daun, pohon rambutan
Sebaris tajuk berita online, Trump bertemu Kim-Jong Un
Langit menjadi pendiam, dan aku sibuk menghitung
Kesunyian yang masuk ke dalam tubuhku. Komputer
Berjalan dan di gudang persediaan kata-kata remuk
Seseorang dari dinding pembatas muncul. Di meja kerja
Terjadi peperangan antara masa lalu dan masa depan

Langit menjadi pendiam, instagram yang semu, matahari
Dengan rambut blonde muncul dari pantai jauh. Ribuan
Visual menganggu pandanganku untuk melihatmu lebih
Dekat. Aku tak bertanya, mengapa ribuan kupu-kupu
Bersembunyi di perpustakaanku, dan seperti sore
Aku ingin menarik tubuhku ke dalam garis-garis bibirmu
Barisan truk-truk melintas, membawa muatan cinta
Kenapa senja akhir-akhir ini menjadi lebih kontemporer
Melebihi bunyi sepatu kematian dan getar sajak-sajak
Sergei Yessenin. Pintu ditutup dengan keras seperti
Menghadang segerombolan cahaya masuk

Aku jatuh dan naik, sama saja. Langit tetap pendiam
Tubuh-tubuhku di masa lalu berdemo, menuntut
Kenaikan volume keresahan yang dilalui burung-burung
Ingatanku pingsan dan menjadi bangkai. Kata-kata
Mendarat di gerbang kota. Au Revoir, menjauhlah
Dariku 250 km dan biarkan mataku terpejam

2018.


 Aku Ingin Sajak Ini Melampaui Usiaku

1/
Jika aku harus berlayar tanpa peta di tanganku
Tempat inilah yang kujadikan pelabuhan untuk
Kuistirahatkan tubuhku, sampai semak-semak
Keresahan kubabat habis, tak tersisa. Jika aku
Harus menenggak setiap kata, di sinilah
Kujadikan nisan bagi kata-kataku. Dan kau,
Adalah napas bagi hari-hari remajaku
Yang terbentang di bawah langit kasturi
Juga cekikan yang terlampau putus asa
Aku hanya ingin berlindung dari serangan
Kedua lengan fajar yang mencekikku


2/
Kutulis kalimat-kalimat ini yang kupinjam
Dari tubuhku, terlampau tegang menulis
Di atas matahari berangin dan gemetar ranting
Aku ingin sajak ini melampaui usiaku
Dan letakanlah ia dalam matamu
Yang lembut dan bercahaya. Di sisi selatan
Nanti kau akan menemukan kata ini menyebar
Membawa kabar paling debar. Antara sajak
Novalis dan Burns, kudambakan malam
Berjilbab keharuman dan rumah bagi
Bunga-bunga yang kupetik di lembah alif

3/
Jika aku harus memilih kota-kota beratap bismillah
Maka di sinilah akan kulafadzkan segala iktiar
Kau dan aku, tanpa beban masa lalu. Surah-
Surah melayang, kitab-kitab kuning menyala
Di dalam masjid tua itu, barjanzi di dendangkan
Jari-jariku memutar tasbih dari kayu gaharu
Aku semakin dekat dengan kiblat yang kutuju
Jalan tanpa tiang-tiang beton, dan dinaungi
Daun-daun sebesar kuping gajah
Sampai ingatanku jadi tua dan busuk
Aku tetap menjaga kenangan padamu kekal
Sekekal nama-nama agung dalam kitab suci

2018.

Taman Tegalega, Shubuh Hari

                               
Berjalanlah aku, ke situ
Tempat kata-kata berhamburan
Bagai kabut. Lilitan akar-akar tua,
Pohon-pohon berlumut, ranting-
Ranting yang meranggas, tumpukan
Batu-batu, orang-orang bergerak
Dari satu taman ke taman. Aku
Menujumu dengan beban resah
Sebesar matahari

Burung-burung memanjat langit
Empat patung macan di kelokan itu
Tampak berembun, kuhirup
Segala bau-bauan,  termasuk
Bau kematian. Kelak di taman ini
Orang-orang akan mengingatku
Sebagai penyair dengan jaket
Tebal yang berjalan di antara
Daun-daun luruh dan pikiran
Yang meluap. Jangan mudah
Melupakanku, Karena aku tidak
Akan melupakanmu

Aku telat bangun, melihat
Wanita-wanita di jalan Ciateul
Pulang dengan tubuh yang berlendir
Dan bulan terusir oleh kicau kata-kata
Aku ingin di sini dulu, ucapku
Pada tiang-tiang penyangga
Menatap binar di mata anak-anak
Yang belum mengerti apa itu
Kesedihan

2018.


 
6 Puisi Rendy Jean Satria, di H.U Media Indonesia, 11 November 2018




Rabu, 03 Oktober 2018

Launching Buku Puisi Rendy Jean Satria 'Pada Debar Akhir Pekan'



Dalam rangka Seni Bandung #2 Ruang. Respon. Urban
Buku puisi 'Pada Debar Akhir Pekan' karya Rendy Jean Satria
akan dilaunching di Restoran Butterfield Kitchen, 
Jalan Dipatiukur No, 5 Bandung
Pada hari Jumat, tanggal 5 Oktober 2018

#SeniBandung2 #PadaDebarAkhirPekan 

Seni Bandung #2 Ruang. Respon Urban


Seni Bandung #2
Respons. Ruang. Urban.
29 September - 14 Oktober 2018

Lebih dari 2363 seniman
dari 45 kelompok kesenian
yang tampil di 11 titik
dan berasal dari 5 bidang seni.

Seni Bandung adalah festival kota tahunan yang mentransformasikan ruang-ruang kota menjadi panggung kesenian. Di Seni Bandung #2, selama enam belas hari, sebelas titik di Kota Bandung akan secara kolaboratif menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan lima bidang seni yaitu sastra, teater, seni rupa, tari, dan musik. Seni Bandung #2 mengambil tema Respons. Ruang. Urban. yang menantang para seniman untuk membuat karya yang tidak hanya estetis, tapi juga mampu secara persuasif mengajak warga kota untuk sama-sama menyadari serta memecahkan kompleksitas persoalan urban. 

Pembukaan Seni Bandung #2 akan dilakukan di Jalan Asia Afrika dan Cikapundung Riverspot pada tanggal 29 September 2018 mulai pukul 18 (Car Free Night) dan akan dibuka oleh Walikota Bandung, Oded M. Danial. 

Setelah itu, Seni Bandung #2 akan dilaksanakan di sejumlah titik "panggung satelit" yang detailnya adalah sebagai berikut: 

Terminal Leuwipanjang - 3 Oktober 
Taman Budaya Jawa Barat - 4 Oktober 
Butterfield Kitchen - 5 Oktober 
Kebun Seni Tamansari - 5 Oktober
Lapangan Cijerah - 6 Oktober
IFI - Bandung - 6 - 14 Oktober
Spasial - 8 Oktober
Celah Celah Langit - 13 Oktober
Ruang Putih - 14 Oktober
Cikapundung Riverspot - 14 Oktober

Untuk susunan dan pengisi acara bisa dilihat di instagram @senibandung.

Seluruh acara gratis dan terbuka untuk umum.

 Ars Longa Vita Brevis.

 Marhaban, minggu suci kesenian

Minggu, 26 Agustus 2018

Keinginan yang Ditahan dan Resah yang Remuk Karena Cinta Selebihnya Atasi yang Mengetahuinya

Oleh: Rendy Jean Satria


’Setiap puisi adalah potret dari penyairnya
Yang di ujung jalan, ia akan menyerahkan takdirnya
Pada langit dan angan-angan. Kadang ada rasa takut
Untuk menuliskan sebuah perasaan yang benar”
(Percy Bysshe Shelley, English Romantic Poet)

*

Penulis: Atasi Amin
Penerbit: Trubadur Bandung
Sampul: Rifky Syharani Fachri
Terbit: 2017


Penyair itu selalu duduk dipojok saat berlangsungnya perhelatan acara sastra yang dihadirinya. Ia tampak khusyuk menatap sesuatu. Ia terlihat tidak begitu suka keramaian. Sesekali berdiri, sesekali duduk kembali. Sesekali juga ia merokok dan di malam harinya, ia biasa meminum wine untuk menghangatkan tubuhnya. Kadang kalau persediaan wine nya habis, sang anak sering membawakan sebotol wine untuknya. Biasanya, di setiap sedang melamun dan dada yang sering diamuk keresahan, ia menulis puisi lewat gadgetnya. Saya menyukai kerendahan hatinya ketika ada kesempatan berbincang dengannya. Kebetulan pada beberapa waktu lalu saya satu kamar dengan sang penyair ketika ada acara Temu Sastrawan Provinsi MPU 2017  dan sempat satu acara juga pada Temu Sastrawan Jawa Barat Terkini tahun 2013.  

Saya senang melihat penyair yang tidak dibuat-buat dalam tingkah lakunya. Karena dari sikap itu saya jadi belajar tentang jalan kepenyairan yang tulus dan ikhlas “Di dalam kegamangan seorang penyair melihat hari esok, berharaplah puisi di suatu waktu yang jauh akan menyelamatkan hidupmu. Bersahabatlah dengan puisimu dengan ketulusan yang ajaib” Ujar Ivan Kotliarevsky (lahir 1769) salah seorang penyair Ukraina. 

Kepenyairannya terus berproses di dalam lubuk hati, tanpa ada orang yang mengusiknya. Penyair Atasi Amin adalah penyair yang saya maksudkan di atas. Saya mengenalnya untuk pertama kali lewat acara-acara sastra yang diadakan Majelis Sastra Bandung yang digawangi oleh penyair Matdon (lahir 1966).  Dan sekilas pernah membaca beberapa puisi Atasi pada kumpulan puisi bersama penyair lain, pada antologi Muktamar (2003). Awal mula setiap bertemu dengan Atasi kami hanya saling menggangukan kepala. Entah kenapa, tapi anggukan kepala saya selalu dibalas Atasi dengan anggukan kepala juga. Membuat kami dekat secara batin lewat anggukan kepala masing-masing.



*

Sebagai salah seorang penyair senior di Jawa Barat. Atasi adalah penanda yang harus dicatat dalam perjalanan kesusastraan modern Jawa Barat. Yang jalan kepenyairannya sudah ditempa sejak masih SD. Atasi lahir pada 21 Juni 1966. Sekitar pertengahan tahun 1970an, ketika ia masih berusia 10 tahun, Atasi kerap kali bertemu dengan beberapa sastrawan ternama di rumahnya di Cicadas yang sengaja bertandang untuk bertemu pelukis Jeihan (lahir 1938), sebut saja Remy Sylado (lahir 1945), Sapardi Djoko Damono (lahir 1940), Abdul Hadi WM (lahir 1946), dan Sutardji Calzoum Bahri (lahir 1941), dengan menyebut beberapa nama. Yang kini sumbangsih mereka terhadap kesusastraan Indonesia modern sangatlah berarti.

Beruntung bagi Atasi yang sering bertemu dengan mereka dan melihat para sastrawan tersebut berbincang-bincang tentang sastra atau seni di teras depan rumah Jeihan sampai larut malam, yang di kemudian hari membentuk jalan kepenyairannya. Kadang, Atasi kecil juga sering membacakan puisi-puisi terbaru Abdul Hadi WM, maupun Sutardji Calzoum Bahri di hadapan mereka. Melihat Atasi kecil suka puisi, Jeihan pun mulai melihat bakat sastra pada diri Atasi kecil.  Yang setelahnya Atasi  pun sering mengirimkan puisi-puisinya ke beberapa media cetak yang ada di Bandung dan Jakarta. Salah satunya majalah Hai dan Pikiran Rakyat. Di masa Atasi kecil suka puisi, gerakan puisi Mbeling sangatlah populer di Bandung.

Saya tidak ingin mengambil kesimpulan impulsif kalau Atasi terpengaruh pada gerakan tradisi puisi Mbeling yang Jeihan adalah bagian penting dari gerakan itu. Dan saya rasa tidak ada pengaruh yang begitu kuat dari style puisi Jeihan, sang Ayah. Puisi Atasi dikemudian hari memiliki karakter yang berbeda dari Jeihan. Karakter ini bisa kita lihat pada puisi Atasi yang memanfaatkan tradisi puisi Haiku dan sesekali puisi Liris.

Jadi ketika Prof. Jakob Sumardjo (lahir 1939) menulis pengantar pada buku puisi tunggal Atasi yang berjudul Ke Pintu (Prive, 2004)  kalau puisi awal Atasi ada keterpengaruhan pada puisi-puisi Jeihan dalam ironi maupun parodi. Saya melihat itu hanya romantisme sementara.  Tinggal satu atap selama belasan tahun bersama Jeihan. Tidak lantas, membuat Atasi harus seperti sang Ayah. Pengaruhnya hanya terletak pada kemiripan wajah antara anak dan ayah, juga pada cara menggangukan kepala. Selebihnya Atasi yang mengetahuinya.







*

Atasi mencari. Pencarian itu terus diolah, diendapkan dan dimatangkan pada beberapa puisi-puisinya. Dan menemukan napasnya pada puisi bertemakan cinta yang sedu sedan, peristiwa keseharian, flora fauna dan sosial-politik, menjadi berkelindan.  Kadang begitu sublim, kadang begitu melankolik, kadang begitu humor.  Khusus pada tema sosial-politik di dalam puisi Atasi. Penyair Ahda Imran pernah menulis begini “terasa ada pemaksaan pada kata untuk melayani hasrat-hasrat tematik yang dibebankan padanya. Kata dianggap hadir sebagai objek yang diperintah, kendaraan untuk sampai pada gagasan” tulis Ahda, pada epilog buku puisi Atasi Amin, Ke Pintu.


Peristiwa sosial-politik pada puisi Atasi adalah wajah yang acak, penuh kemungkaran, arus kelam politik, gemuruh slogan, ada keperihan yang begitu kompleks. Agaknya inilah yang membuat penyair Atasi begitu inferior pada kekuasaan dalam bahasa pemikir Jerman Walter Benyamin (lahir 1892) bisa disebut sebagai ‘Inferior yang kolektif’.  Sehingga Aku Lirik pada puisi Atasi begitu kental dengan ironi, yang ia tarik untuk merespon realitas yang begitu gamang

Kalau Atasi menulis puisi bertemakan sosial-politik, puisinya santai, terkekeh, dan terlihat main-main tapi serius pada koridor yang tidak jatuh pada puisi dangdut murahan yang riuh namun tak ada lirik yang berarti hanya menonjolkan tubuh luaran, payudara yang bergelayut dan pantat besar yang bopeng-bopeng. Logika bahasa, diksi dan bunyi pada sebagian puisi Atasi yang bertemakan sosial-politik, masih diperhitungkan oleh penyair. Seperti puisi di bawah ini.

Garam

Laut kita
Tiba—tiba kering
Dan debu garamnya
Menghambur ke barat

Kita bingung
Kita import garam
Dan kita export pelayan

Menulis puisi yang lucu, satire, sedikit ngebokep  dan bisa membuat orang tertawa, tidaklah mudah. Apalagi bagi mereka para penyair yang menulis puisi dengan konsepsi keberaksaraan yang kukuh, bukan keberlisanan. Nah, puisi-puisi Atasi, di bawah ini ada konsepsi keberlisanan. Jika dibacakan akan membuat orang tertawa dan mesem-mesem sendiri. Tentu sudut pandang penyair menjadi fondasi dalam mengungkapkan setiap kalimat. Agar puisinya tidak menjadi humor kering, melainkan menjadi satu renungan dalam melihat sesuatu. 

Nasehat

Mau hidup sehat?
Jangan isap rokok,
Susu saja


Celana

Celana bocormu
Menggugah aku
Berkembang biak

Cinta 3

Cintaku
Di balik pintu
Cintaku padamu neng geulis
Cintaku padamu nani,
O cinta,o nani

O, nani
Onani

Cinta 2

Ada cinta dengan apa?
Dengan hati
Dengan bibir
Dengan tangan
Dengan sabun

Saya kutip penjelasan Acep Zamzam Noor saat membahas sebagian puisi-puisi Atasi bernada humor, layaknya seperti puisi di atas:

“Rasa humor, barangkali ini juga harus selalu dipelihara oleh Atasi Amin jika ingin terus melaju di jalur yang dipilihnya ini. Bukan berarti harus menulis puisi-puisi lucu, atau menulis hal-hal aneh yang akan membuat orang tertawa. Melucu bukanlah satu-satunya cara dalam menulis puisi mbeling. Rasa humor yang saya maksud adalah sikap atau cara pandang seseorang dalam mengungkapkan sesuatu. Tidak kaku, tidak formal dan selalu di luar dugaan. Rasa humor tidak selalu berhubungan dengan keinginan melawak, tapi justru dengan kecerdasan dan kecanggihan memainkan kata-kata. Seseorang yang mempunyai rasa humor itu santai, tidak tegang, cuek, main-main, nakal tapi juga cerdas dan religius” tulis Acep Zamzam Noor pada antologi puisi bersama berjudul Laut Merah, ketika Acep membahas bagian puisi Atasi  Amin.

Walaupun secara pribadi, saya lebih suka ketika Atasi berbicara tentang cinta, Seperti puisi cintanya di bawah ini. Mencerminkan kalau Atasi, salah seorang penyair liris yang patut diperhitungkan.

Kekasih

Datanglah padaku, Kekasih
Biarkan buih belah rambut
Dan bukit tempat aku menepi

Membilang debur ombak
Nyanyian laut yang menang
Antara karang dan buritan

Berharap datang dari sumber
Dan hidup dalam
Sebab camar yang jaga

Di sepanjang pantai
Penyair memunguti senja
Bermil-mil perjalanan air mata

Akankah jadi cerita roman
Tertuang indah oleh bibir yang basah
Ataukah rasa salah
Datanglah kekasih
Temukan

Dan kekalutan Atasi, juga kita bisa lihat pada puisinya yang berjudul ‘Luka’ seperti ada resah yang remuk karena cinta.

Luka

Hujan sungguh deras
Disertai muntahan es
Taman-taman seperti terluka

Kami terbenam
Di kehangatan yang rakus
Tubuh-tubuh sunyi

Hasrat cinta
Tak ingin beku
Kami gemetar

Hujan sewaktu waktu berhenti
Menemu hati yang ngambang

Kemudian Atasi juga masih resah karena keinginan yang kuat untuk mencintai seseorang yang mungkin, sangat jauh di hadapannya. Seseorang yang pernah membuat Atasi melakukan perjalanan bermil-mil jauhnya sambil meneteskan air mata. Mencari seseorang yang kini entah berada di mana.

Dago

Jam 9 malam di simpang Dago,
Kau ada di mana,
Lampu-lampu berkelabatan dan dingin
Memasuki jalan terjal bukit pakar

Ta, mari kutemani,
Suara itu muncul
Mungkin suaramu, mungkin
Hujan yang buru-buru

‘Ta mari kutemani’ adalah frasa yang membuat nyinyir siapapun yang membaca puisi ini. Ruang bawah alam sadar Atasi pada puisi ‘Dago’, terbawa arus romantisme yang begitu teguh namun gaduh pada masa di mana, Simpang Dago menjadi salah satu ruang dalam kota Bandung, yang sangat personal bagi Atasi.

Relasi antara batas biografi Atasi di masa sekarang dan di masa lalu menjadi batasan yang lebur. Saya membayangkan Atasi berjalan menggunakan jaket tebal dan syal yang dilitkan di leher, di antara hujan dan derai air mata di dalam hati yang berkecamuk, ketika ‘Memasuki jalan terjal bukit pakar’ namun yang Atasi temukan adalah sedu sedan dalam hujan. Sosok pemilik suara itu, tidak pernah bisa menemui Atasi. Atasi pun pulang, membawa beban muatan rindu tak berbalas, tentu tanpa anggukan kepala.

Tidak hanya pada puisi Dago saja, Atasi bersuara sendu. Dalam puisi Still Alive, juga Kau adalah mimpi burukku/dengan tangan kau tutupi wajah/di selanya aku mengintip/debu-debu bergegas.  Juga terlihat jelas pada puisi Ni,  ni kau begitu malu malu/kutunggu lama hadirmu/ni, kini aku yang sedih/mereka siapa yang kau rindu/. 

Rupanya, pada puisi Atasi objek perempuan tidak ia jadikan perlambang atau simbol. Kita tidak dituntut mencari makna yang terkandung di dalamnya. Ia melihat perempuan secara realis, tidak abstraksi melainkan digambarkan dengan jelas.. Kejelasannya ini bisa kita baca pada puisinya di atas. Nama-nama perempuan seperti Yanti, Yuni, Ni, Ar, Rin menjadi sebuah potret eksistensi Atasi dalam merekam peristiwa-peristiwa empirisnya. Penyingkatan pada 3 nama perempuan Ni, Ar, Rin (kecuali Yanti dan Yuni) sebenarnya mengindikasikan kalau pertemuan mereka dengan Atasi begitu singkat namun membekas.

Khusus puisi buat Rin, saya melihat ada indikasi momen kesedihan yang sangat dalam. Saya kutip puisinya yang berjudul Epitaph 1 dan Epitaph 2:

Epitaph 1

                      :Rin

Sekilas bintang atas pualam
Mencetak nama dengan berkas
Perak

Kerudung satinmu
Sambut  syair epitaph
Melambai bulan saga

O,ranting ranting yang bergetaran

Malam kian ngambang
Di pelupuk mata
Yang pernah terbaca
Sebagai ambang

Epitaph 2

Dari utara membujur ke selatan
Awan mengejar bentangan langit
Aku memanjat

Kemboja meluruh
Bergabung menunggang angin
Yang membisiki ke telinganmu

Bahwa senja membeku di batu

Dan pada puisi inilah sesungguhnya saya masuk melihat potret diri Atasi Amin. Epitaph 1 adalah salah satu puisi terkuat di dalam buku puisi Potret Diri. Merekam pergolakan batin Atasi saat ditinggalkan seseorang. Puisi ini juga menggambarkan sisi melankolis dari Atasi, dalam cinta.  Suasana yang dihadirkan pada Epitaph 1, menyiratkan kalau Atasi tidak mampu menyimpan rasa harunya. Sehingga mampu melahirkan puisi yang begitu indah dan menjanjikan bagi kesusastraan Jawa Barat.

Di mana setiap kata,  Atasi seleksi begitu ketat. Menjaga unsur rima dan bunyi. Selain itu kita juga didekatkan pada renungan religius pada puisi di atas. Ada kotemplatif yang dikristalisasikan oleh Atasi. Suasana yang dihadirkan bukan hanya suasana luar fisik saja, melainkan suasana di dalam batin Atasi Amin. Antara rela dan tidak rela, seperti ranting-ranting yang bergetaran.

Hampir sebagian besar, ketika Atasi mencantumkan nama-nama perempuan di bawah judul puisinya, ada suara yang lain, raut wajah kesedihan, berakhir dengan ending duka lara berkepanjangan. Dengan kata lain hasrat seorang Atasi berada pada keinginan yang ia tahan selama mungkin. Sungguh inilah penantian yang paling menyakitkan. Penantian seorang penyair.

*

95 Puisi Atasi Amin yang kini terbit dalam sebuah antologi tunggal Potret Diri (Trubadur, 2017) di atas memiliki daya tarik lain yang cukup membius saya. Terutama pada puisi-puisi cintanya.   Terbitnya buku puisi Potret Diri  di usianya yang ke 51 tahun menandakan kalau Atasi sangat menjaga intensitas kepenyairannya. Tanggung jawabnya sebagai penyair masih kita bisa rasakan dengan hadirnya buku puisi Potret Diri. Beberapa di antara puisi yang ada di Potret Diri sebagian besar pernah muncul dibeberapa antologi bersama, koran dan buku puisi tunggal Atasi sebelumnya. Semua puisi pada buku puisi Potret Diri tidak bertahun.

Saya sebagai penyair muda Jawa Barat cukup senang ketika penyair-penyair senior saya di Jawa Barat, masih memiliki tanggung jawab kepenyairan untuk menerbitkan buku puisi terbarunya di usia senjanya. Seperti halnya Acep Zamzam Noor (lahir 1960), ketika menerbitkan buku puisi “Berguru Pada Rindu” (Basabasi, 2017) di usianya yang ke 57 tahun, Agus R Sarjono (lahir 1962) menerbitkan buku puisi “Surat-Surat Kesunyian” (Komodo Books, 2016), di usianya yang ke 54 tahun, Ahda Imran (lahir 1966), menerbitkan buku puisi “Rusa Berbulu Merah” (Pustaka Jaya, 2014) di usianya yang ke 52 tahun dan Soni Farid Maulana (lahir 1962) yang menerbitkan buku puisi “Endapan Kabut” (KKK, 2017) di usianya yang ke 55 tahun. Sangat penting dalam menjaga napas kesusatraan Jawa Barat agar tidak terserang asma dan sakit jantung.


Bandung, 24 November 2017
Esai saat bedah buku penyair Bandung Atasi Amin