Jalan
lurus itu kini ditumbuhi beberapa pohon jati
tempat
dimana dulu kita pernah berjalan membawa
kitab-kitab
kuning menuju langgar yang terbuat dari bambu
lahan
kosong yang letaknya tidak jauh dari balong itu
kini
telah rampung, di bangun semacam pendopo
untuk
pembacaan barjanzi dan muhadarah. Biasanya dulu,
di
tempat itu kita sering menghafal imriti, melihat ribuan kunang-
kunang
dan menyalakan api unggun untuk membakar ubi-ubian
Cileumbu
Setiap
malam, dari dalam kamar kita selalu saja mendengar
bunyi
kereta api melintas dengan tergesa-gesa membawa beban
muatan,
berbarengan dengan para thaqosus menghafal
bait-bait
merdu
alfiyah, ketika kabut membisu, bunyi cengkerik dan katak
menafsirkan
malam dengan caranya yang santun. Dari arah jendela
kita
selalu saja menghitung kunang-kunang yang menghampiri
mungkinkah
kunang-kunang itu takdir kita yang masih berwujud
samar-samar?
Di
tempatmu yang teduh, sambil bersiul diam-diam, kita semakin
tersendiri,
bersama obor yang kunyalakan, tatapanmu membuatku
gemetar,
dan jalan setapak ini, kian menjadi epitaf bagi seribu kunang-
kunang
yang muncul dan pergi. Ladang-ladang tebu itu pun, kian samar
kiasan
dan juga metafor-metaforku direstui kubah masjid
di
bawah langit merah dan kunang-kunang itu terus bergerak dari makam
ke
makam
2011.