Jumat, 02 September 2011

Nagreg dan Seribu Kunang-Kunang





Jalan lurus itu kini ditumbuhi beberapa pohon jati
tempat dimana dulu kita pernah berjalan membawa
kitab-kitab kuning menuju langgar yang terbuat dari bambu
lahan kosong yang letaknya tidak jauh dari balong itu
kini telah rampung, di bangun semacam pendopo
untuk pembacaan barjanzi dan muhadarah. Biasanya dulu,
di tempat itu kita sering menghafal imriti, melihat ribuan kunang-
kunang dan menyalakan api unggun untuk membakar ubi-ubian
Cileumbu

Setiap malam, dari dalam kamar kita selalu saja mendengar
bunyi kereta api melintas dengan tergesa-gesa membawa beban
muatan, berbarengan dengan para thaqosus menghafal bait-bait
merdu alfiyah, ketika kabut membisu, bunyi cengkerik dan katak
menafsirkan malam dengan caranya yang santun. Dari arah jendela
kita selalu saja menghitung kunang-kunang yang menghampiri
mungkinkah kunang-kunang itu takdir kita yang masih berwujud
samar-samar?

Di tempatmu yang teduh, sambil bersiul diam-diam, kita semakin
tersendiri, bersama obor yang kunyalakan, tatapanmu membuatku
gemetar, dan jalan setapak ini, kian menjadi epitaf bagi seribu kunang-
kunang yang muncul dan pergi. Ladang-ladang tebu itu pun, kian samar
kiasan dan juga metafor-metaforku direstui kubah masjid
di bawah langit merah dan kunang-kunang itu terus bergerak dari makam
ke makam

2011.